Seperti ditekan tombol freeze, Nilam membeku. Dia pikir Kak Orion tak menyadari kehadirannya karena sibuk berceloteh. Membasahi bibir, ia merangkai kata-kata untuk menyingkirkan rasa canggung.
"Anu, maaf, Kak Orion … tadi saya lagi lewat terus lihat ada Kakak, tapi saya lihat Kakak lagi sibuk jadi saya mau balik karena takut ganggu Kakak," cerocosnya beralasan.
"Saya udah tau, kok, kamu datang." Kak Orion bangkit dari posisinya yang telentang, membalikkan badan menatap Nilam. "Tapi saya nggak tau kalau kamu mau pergi lagi."
"Ah, bukan gitu maksud saya," sergah Nilam salah tingkah. "Saya bukannya mau pergi lagi, sih. Cuma mau memberikan waktu untuk Kakak yang sedang menikmati waktu," ocehnya tak jelas.
"Waktu itu relatif, Alnilam. Kalau kamu menggunakannya untuk memaksakan diri bersama dengan orang yang tidak membuatmu nyaman, pasti akan terasa seperti siput yang bergerak lambat. Tapi … kalau kamu bersama dengan orang yang kamu suka, setahun pun pasti akan terasa cepat."
Dahi Nilam mengernyit, mencerna kata demi kata yang meluncur tanpa hambatan dari mulut Kak Orion. Menggaruk kepala yang tak gatal, ia mencoba mengalihkan pembicaraan, sesuatu yang dipahami oleh bahasa sebagian besar orang.
"I–iya, Kak," ucapnya bingung menanggapi pernyataan panjang lebar kakak kelasnya itu tentang waktu. "Ehm, saya datang ke sini mau ngembaliin topi Kakak yang waktu itu saya pinjam."
"Oh …," desahnya mengangguk-angguk.
Nilam memberanikan diri maju dan duduk berlutut tepat di depan Kak Orion. Ia mengeluarkan bungkusan yang sudah dipersiapkan dari jauh hari, kemudian memberikan pada cowok berambut ikal itu. Kak Orion hendak membuka, tetapi Nilam menahan tangannya.
“Tunggu, Kak!” pekiknya tiba-tiba, membuat Kak Orion terkesiap. “Bukanya nanti aja kalau saya udah pergi!”
“Loh, kenapa?” tanyanya memiringkan kepala, seperti anak kucing yang menirukan orang di depannya. Matanya yang hitam pekat di tengah kulit sawo matang seperti memerangkap Nilam.
“Ehm, itu … nggak apa-apa, sih. Cuma saya taruh sesuatu juga di dalamnya. Jadi bukanya nanti aja!”
Kak Orion menggaruk dagu. “Bagaimana saya tau kalau di dalamnya nggak ada kalajengking merah india atau ular derik mojave?”
“Hah?” Lagi-lagi Nilam ternganga. “Memangnya Kakak pikir saya orang yang bakal berani pegang hewan-hewan itu?” pekiknya bergidik. Mendengar namanya yang asing saja sudah merinding, apalagi memberikannya pada orang lain?
Gelak tawa Kak Orion menggema di udara yang menguarkan aroma bunga gardenia samar. “Terus kenapa?”
“Yah … soalnya ada sesuatu yang nggak penting di dalamnya selain topi,” desis Nilam seraya mengusap tengkuk dan mengalihkan pandangan. Angin membelai rambutnya hingga berkibar-kibar.
“Kalau dibilang nggak penting berarti penting,” tukasnya menyimpulkan. Ia tak menggubris permintaan Nilam dan merogohkan tangannya ke dalam bungkusan. Tangannya keluar dan menarik topi miliknya, yang langsung dikenakan. Kedua kalinya, ia mengeluarkan gambar buatan Nilam dan menatapnya lama.
“Ini bikinan kamu?” tanya Kak Orion dengan mulut terbuka. Matanya mengamati gambar anak laki-laki yang mengenakan topi yang diwarnai dengan pensil warna itu.
“I–iya,” pekik Nilam dengan pipi merona. “Kalau nggak suka boleh dibuang aja, Kak.”
“Bagus, kok. Kenapa malu?” Dia kembali bertanya, masih mengamati gambar itu dengan saksama.
“Karena … ini pertama kali saya kasih gambar ke orang lain!” seru Nilam sambil menutup wajah yang hampir meledak karena panasnya.
“Oh …,” Suara Kak Orion terdengar lembut. “Ini juga pertama kalinya ada orang yang kasih hadiah ke saya.”
Nilam melepaskan tangan dari wajah dan terlihat bibir cowok itu tersenyum tipis. Netranya masih berfokus pada kertas berisi gambar buatannya yang ditatap seolah itu mahakarya Leonardo da Vinci atau Picasso. Hati Nilam terenyuh melihat ada orang yang begitu menghargai gambar buatan tangannya.
“Kalau begitu, nanti kapan-kapan saya kasih hadiah lagi ke Kakak!” ujar Nilam bersemangat.
“Nggak usah, Alnilam. Ini aja, akan saya simpan dan jaga baik-baik!” ucap Kak Orion sambil melipat kertas dengan hati-hati dan memasukkannya di dalam saku baju. Ia menatap Nilam tersenyum sambil menepuk-nepuk saku, kemudian melingkarkan ibu jari dan telunjuk dan tangan kanannya mengisyaratkan ‘oke’.
Untuk pertama kalinya, Nilam tak dapat menahan tawa di depan orang yang belum lama dikenal. Keberanian yang dulu selalu tersimpan di sudut hati perlahan muncul ke permukaan. “Oh, iya, Kak, nama saya Nilam, bukan Alnilam!” ralatnya.
Bola mata Kak Orion tampak bercahaya. “Tapi … saya lebih suka alnilam.”
“Maksudnya?” Nilam mengernyitkan dahi.
“Alnilam itu satu-satunya bintang tunggal di sabuk Orion. Bintang super raksasa biru, jaraknya dua ribu tahun cahaya di konstelasi Orion. Letaknya di sabuk Orion ada di tengah, di antara Alnitak dan Mintaka.”
Kali ini mulut Nilam benar-benar terbuka lebar. “Hah? Bintang?”
“Iya. Bintang Alnilam yang paling terang. Bagus, kan? Namanya diambil dari Bahasa Arab, yang artinya batu safir atau permata berwarna biru.”
Pancaran cahaya bintang seolah merasuk ke dalam diri Nilam, membangkitkan energi yang tersimpan rapat dalam hatinya. “Wah, saya baru tau! Pantas saya suka banget gambar bintang di langit malam. Sampai pernah ngebayangin, gimana caranya bisa sentuh bintang-bintang itu dan ambil satu cahayanya,” pekiknya meracau sendiri. Menyadari Kak Orion menatapnya tanpa berkedip, ia berdehem salah tingkah. “Ehm, tapi kata Papa, nama saya artinya burung ketilang,” ujarnya cemberut.
Kak Orion tertegun, senyum tipisnya menimbulkan efek yang aneh di dada Nilam. “Kamu nggak perlu ambil cahaya bintang, kok. Kamu sendiri, sudah bercahaya, Alnilam,” ucapnya serius.
Nilam terbius, pipinya terasa panas seolah sinar bintang itu terpancar di depan wajahnya. Sepertinya Kak Orion tak menyadari kalau efek kata-katanya bisa membuat orang berdebar. Berpura-pura tetap cool walaupun jantungnya seperti melompat-lompat, Nilam mengambil ponsel yang bergetar di tasnya. Ternyata pesan dari Naura yang mengatakan bahwa briefing akan segera dimulai. Benar saja! Waktu sudah menunjukkan pukul 15.05.
“Ya ampun! Kak, saya harus ikut rapat persiapan LDKS!” teriak Nilam buru-buru memasukkan ponsel kembali ke tas. “Duh, kok, nggak berasa ya, perasaan tadi baru jam setengah tiga!”
“Oh, oke,” sahut Kak Orion pelan. “Saya senang udah jadi orang yang bikin kamu nyaman.”
Lagi-lagi Nilam tak paham maksud perkataan Kak Orion. Kali ini mata Nilam benar-benar terbelalak.
“Hah? Maksudnya? Ke–kenapa gitu?” tanyanya pada cowok yang seperti makhluk dari dunia lain ini. Ia tak habis pikir kenapa Kak Orion suka sekali meledakkan apa yang ada di pikirannya, tak peduli lawan bicara mengerti atau tidak. Parahnya lagi, ia tak sadar kalau kata-katanya bisa membuat orang lain salah paham.
Senyum Kak Orion terasa seperti bintang yang paling terang di angkasa. “Seperti yang saya bilang tadi: Waktu itu relatif, Alnilam. Kalau kamu menggunakannya untuk memaksakan diri bersama dengan orang yang tidak membuatmu nyaman, pasti akan terasa seperti siput yang bergerak lambat. Tapi … kalau kamu bersama dengan orang yang kamu suka, setahun pun pasti akan terasa cepat."
Nilam meneguk ludah demi mendengar pengulangan kata-kata yang diucapkan Kak Orion tadi lengkap tanpa terlewat satu huruf pun. Ia tak dapat menyangkal, toh, benar apa yang diucapannya. Berbeda dengan saat bersama Naura, Gisel dan yang lain, mengobrol berdua dengan cowok bermata hitam itu seolah membuatnya melintasi ruang dan waktu hingga melupakan dunia sesungguhnya dia berada.
“Terima kasih, ya, Kak. Untuk topinya, untuk waktunya udah nemenin saya nunggu, dan untuk ilmu barunya tentang nama saya,” pamitnya seraya bangkit. “Dan terima kasih sudah buat saya nyaman!” ucapnya tersapu angin yang mengibarkan rambut serta dedaunan kering dari atas pohon mahoni.
“Nanti kita ketemu lagi!” Suara Kak Orion terdengar samar.
Nilam berbalik, membalas senyumannya dan melambaikan tangan. “Semoga,” bisiknya dalam hati.
Makin lama makin seru, Kak. Semangat 💪
Comment on chapter Chapter 10