Loading...
Logo TinLit
Read Story - Finding the Star
MENU
About Us  

Seperti ditekan tombol freeze, Nilam membeku. Dia pikir Kak Orion tak menyadari kehadirannya karena sibuk berceloteh. Membasahi bibir, ia merangkai kata-kata untuk menyingkirkan rasa canggung.

"Anu, maaf, Kak Orion … tadi saya lagi lewat terus lihat ada Kakak, tapi saya lihat Kakak lagi sibuk jadi saya mau balik karena takut ganggu Kakak," cerocosnya beralasan. 

"Saya udah tau, kok, kamu datang." Kak Orion bangkit dari posisinya yang telentang, membalikkan badan menatap Nilam. "Tapi saya nggak tau kalau kamu mau pergi lagi."

"Ah, bukan gitu maksud saya," sergah Nilam salah tingkah. "Saya bukannya mau pergi lagi, sih. Cuma mau memberikan waktu untuk Kakak yang sedang menikmati waktu," ocehnya tak jelas.

"Waktu itu relatif, Alnilam. Kalau kamu menggunakannya untuk memaksakan diri bersama dengan orang yang tidak membuatmu nyaman, pasti akan terasa seperti siput yang bergerak lambat. Tapi … kalau kamu bersama dengan orang yang kamu suka, setahun pun pasti akan terasa cepat."

Dahi Nilam mengernyit, mencerna kata demi kata yang meluncur tanpa hambatan dari mulut Kak Orion. Menggaruk kepala yang tak gatal, ia mencoba mengalihkan pembicaraan, sesuatu yang dipahami oleh bahasa sebagian besar orang.

"I–iya, Kak," ucapnya bingung menanggapi pernyataan panjang lebar kakak kelasnya itu tentang waktu. "Ehm, saya datang ke sini mau ngembaliin topi Kakak yang waktu itu saya pinjam."

"Oh …," desahnya mengangguk-angguk. 

Nilam memberanikan diri maju dan duduk berlutut tepat di depan Kak Orion. Ia mengeluarkan bungkusan yang sudah dipersiapkan dari jauh hari, kemudian memberikan pada cowok berambut ikal itu. Kak Orion hendak membuka, tetapi Nilam menahan tangannya.

“Tunggu, Kak!” pekiknya tiba-tiba, membuat Kak Orion terkesiap. “Bukanya nanti aja kalau saya udah pergi!”

“Loh, kenapa?” tanyanya memiringkan kepala, seperti anak kucing yang menirukan orang di depannya. Matanya yang hitam pekat di tengah kulit sawo matang seperti memerangkap Nilam.

“Ehm, itu … nggak apa-apa, sih. Cuma saya taruh sesuatu juga di dalamnya. Jadi bukanya nanti aja!”

Kak Orion menggaruk dagu. “Bagaimana saya tau kalau di dalamnya nggak ada kalajengking merah india atau ular derik mojave?”

“Hah?” Lagi-lagi Nilam ternganga. “Memangnya Kakak pikir saya orang yang bakal berani pegang hewan-hewan itu?” pekiknya bergidik. Mendengar namanya yang asing saja sudah merinding, apalagi memberikannya pada orang lain?

Gelak tawa Kak Orion menggema di udara yang menguarkan aroma bunga gardenia samar. “Terus kenapa?”

“Yah … soalnya ada sesuatu yang nggak penting di dalamnya selain topi,” desis Nilam seraya mengusap tengkuk dan mengalihkan pandangan. Angin membelai rambutnya hingga berkibar-kibar.

“Kalau dibilang nggak penting berarti penting,” tukasnya menyimpulkan. Ia tak menggubris permintaan Nilam dan merogohkan tangannya ke dalam bungkusan. Tangannya keluar dan menarik topi miliknya, yang langsung dikenakan. Kedua kalinya, ia mengeluarkan gambar buatan Nilam dan menatapnya lama.

“Ini bikinan kamu?” tanya Kak Orion dengan mulut terbuka. Matanya mengamati gambar anak laki-laki yang mengenakan topi yang diwarnai dengan pensil warna itu.

“I–iya,” pekik Nilam dengan pipi merona. “Kalau nggak suka boleh dibuang aja, Kak.”

“Bagus, kok. Kenapa malu?” Dia kembali bertanya, masih mengamati gambar itu dengan saksama.

“Karena … ini pertama kali saya kasih gambar ke orang lain!” seru Nilam sambil menutup wajah yang hampir meledak karena panasnya. 

“Oh …,” Suara Kak Orion terdengar lembut. “Ini juga pertama kalinya ada orang yang kasih hadiah ke saya.”

Nilam melepaskan tangan dari wajah dan terlihat bibir cowok itu tersenyum tipis. Netranya masih berfokus pada kertas berisi gambar buatannya yang ditatap seolah itu mahakarya Leonardo da Vinci atau Picasso. Hati Nilam terenyuh melihat ada orang yang begitu menghargai gambar buatan tangannya.

“Kalau begitu, nanti kapan-kapan saya kasih hadiah lagi ke Kakak!” ujar Nilam bersemangat.

“Nggak usah, Alnilam. Ini aja, akan saya simpan dan jaga baik-baik!” ucap Kak Orion sambil melipat kertas dengan hati-hati dan memasukkannya di dalam saku baju. Ia menatap Nilam tersenyum sambil menepuk-nepuk saku, kemudian melingkarkan ibu jari dan telunjuk dan tangan kanannya mengisyaratkan ‘oke’.

Untuk pertama kalinya, Nilam tak dapat menahan tawa di depan orang yang belum lama dikenal. Keberanian yang dulu selalu tersimpan di sudut hati perlahan muncul ke permukaan. “Oh, iya, Kak, nama saya Nilam, bukan Alnilam!” ralatnya.

Bola mata Kak Orion tampak bercahaya. “Tapi … saya lebih suka alnilam.”

“Maksudnya?” Nilam mengernyitkan dahi.

“Alnilam itu satu-satunya bintang tunggal di sabuk Orion. Bintang super raksasa biru, jaraknya dua ribu tahun cahaya di konstelasi Orion. Letaknya di sabuk Orion ada di tengah, di antara Alnitak dan Mintaka.”

Kali ini mulut Nilam benar-benar terbuka lebar. “Hah? Bintang?”

“Iya. Bintang Alnilam yang paling terang. Bagus, kan? Namanya diambil dari Bahasa Arab, yang artinya batu safir atau permata berwarna biru.”

Pancaran cahaya bintang seolah merasuk ke dalam diri Nilam, membangkitkan energi yang tersimpan rapat dalam hatinya. “Wah, saya baru tau! Pantas saya suka banget gambar bintang di langit malam. Sampai pernah ngebayangin, gimana caranya bisa sentuh bintang-bintang itu dan ambil satu cahayanya,” pekiknya meracau sendiri. Menyadari Kak Orion menatapnya tanpa berkedip, ia berdehem salah tingkah. “Ehm, tapi kata Papa, nama saya artinya burung ketilang,” ujarnya cemberut.

Kak Orion tertegun, senyum tipisnya menimbulkan efek yang aneh di dada Nilam. “Kamu nggak perlu ambil cahaya bintang, kok. Kamu sendiri, sudah bercahaya, Alnilam,” ucapnya serius.

Nilam terbius, pipinya terasa panas seolah sinar bintang itu terpancar di depan wajahnya. Sepertinya Kak Orion tak menyadari kalau efek kata-katanya bisa membuat orang berdebar. Berpura-pura tetap cool walaupun jantungnya seperti melompat-lompat, Nilam mengambil ponsel yang bergetar di tasnya. Ternyata pesan dari Naura yang mengatakan bahwa briefing akan segera dimulai. Benar saja! Waktu sudah menunjukkan pukul 15.05.

“Ya ampun! Kak, saya harus ikut rapat persiapan LDKS!” teriak Nilam buru-buru memasukkan ponsel kembali ke tas. “Duh, kok, nggak berasa ya, perasaan tadi baru jam setengah tiga!”

“Oh, oke,” sahut Kak Orion pelan. “Saya senang udah jadi orang yang bikin kamu nyaman.”

Lagi-lagi Nilam tak paham maksud perkataan Kak Orion. Kali ini mata Nilam benar-benar terbelalak.

“Hah? Maksudnya? Ke–kenapa gitu?” tanyanya pada cowok yang seperti makhluk dari dunia lain ini. Ia tak habis pikir kenapa Kak Orion suka sekali meledakkan apa yang ada di pikirannya, tak peduli lawan bicara mengerti atau tidak. Parahnya lagi, ia tak sadar kalau kata-katanya bisa membuat orang lain salah paham.

Senyum Kak Orion terasa seperti bintang yang paling terang di angkasa. “Seperti yang saya bilang tadi: Waktu itu relatif, Alnilam. Kalau kamu menggunakannya untuk memaksakan diri bersama dengan orang yang tidak membuatmu nyaman, pasti akan terasa seperti siput yang bergerak lambat. Tapi … kalau kamu bersama dengan orang yang kamu suka, setahun pun pasti akan terasa cepat."

Nilam meneguk ludah demi mendengar pengulangan kata-kata yang diucapkan Kak Orion tadi lengkap tanpa terlewat satu huruf pun. Ia tak dapat menyangkal, toh, benar apa yang diucapannya. Berbeda dengan saat bersama Naura, Gisel dan yang lain, mengobrol berdua dengan cowok bermata hitam itu seolah membuatnya melintasi ruang dan waktu hingga melupakan dunia sesungguhnya dia berada.

“Terima kasih, ya, Kak. Untuk topinya, untuk waktunya udah nemenin saya nunggu, dan untuk ilmu barunya tentang nama saya,” pamitnya seraya bangkit. “Dan terima kasih sudah buat saya nyaman!” ucapnya tersapu angin yang mengibarkan rambut serta dedaunan kering dari atas pohon mahoni.

“Nanti kita ketemu lagi!” Suara Kak Orion terdengar samar. 

Nilam berbalik, membalas senyumannya dan melambaikan tangan. “Semoga,” bisiknya dalam hati.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • edfasal

    Makin lama makin seru, Kak. Semangat 💪

    Comment on chapter Chapter 10
  • edfasal

    Aku hadir Kak, semangat 💪

    Comment on chapter Chapter 6
Similar Tags
The Unbreakable Love
117      110     0     
Inspirational
Ribuan purnama sudah terlewati dengan banyak perasaan yang lebih berwarna gelap. Dunia berwarna sangat kontras dengan pemandangan di balik kacamataku. Aneh. Satu kalimat yang lebih sering terdengar di telinga ini. Pada akhirnya seringkali lebih sering mengecat jiwa dengan warna berbeda sesuai dengan 'besok akan bertemu siapa'. Di titik tidak lagi tahu warna asli diri, apakah warna hijau atau ...
She Is Mine
403      274     0     
Romance
"Dengerin ya, lo bukan pacar gue tapi lo milik gue Shalsa Senja Arunika." Tatapan Feren makin membuat Shalsa takut. "Feren please...," pinta Shalsa. "Apa sayang?" suara Feren menurun, tapi malah membuat Shalsa bergidik ketakutan. "Jauhin wajah kamu," ucapnya. Shalsa menutup kedua matanya, takut harus menatap mata tajam milik Feren. "Lo pe...
Perahu Waktu
469      322     1     
Short Story
Ketika waktu mengajari tentang bagaimana hidup diantara kubangan sebuah rindu. Maka perahu kehidupanku akan mengajari akan sabar untuk menghempas sebuah kata yang bernama rindu
RUANGKASA
56      51     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...
Merayakan Apa Adanya
1212      909     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
Aku Benci Hujan
8158      2384     1     
Romance
“Sebuah novel tentang scleroderma, salah satu penyakit autoimun yang menyerang lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki.” Penyakit yang dialami Kanaya bukan hanya mengubah fisiknya, tetapi juga hati dan pikirannya, serta pandangan orang-orang di sekitarnya. Dia dijauhi teman-temannya karena merasa jijik dan takut tertular. Dia kehilangan cinta pertamanya karena tak cantik lagi. Dia harus...
The First 6, 810 Day
2185      1277     2     
Fantasy
Sejak kecelakaan tragis yang merenggut pendengarannya, dunia Tiara seakan runtuh dalam sekejap. Musik—yang dulu menjadi napas hidupnya—tiba-tiba menjelma menjadi kenangan yang menyakitkan. Mimpi besarnya untuk menjadi seorang pianis hancur, menyisakan kehampaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Dalam upaya untuk menyembuhkan luka yang belum sempat pulih, Tiara justru harus menghadapi ke...
Unlosing You
554      399     4     
Romance
... Naas nya, Kiran harus menerima keputusan guru untuk duduk sebangku dengan Aldo--cowok dingin itu. Lambat laun menjalin persahabatan, membuat Kiran sadar bahwa dia terus penasaran dengan cerita tentang Aldo dan tercebur ke dalam lubang perasaan di antara mereka. Bisakah Kiran melepaskannya?
Yu & Way
329      253     5     
Science Fiction
Pemuda itu bernama Alvin. Pendiam, terpinggirkan, dan terbebani oleh kemiskinan yang membentuk masa mudanya. Ia tak pernah menyangka bahwa selembar brosur misterius di malam hari akan menuntunnya pada sebuah tempat yang tak terpetakan—tempat sunyi yang menawarkan kerahasiaan, pengakuan, dan mungkin jawaban. Di antara warna-warna glitch dan suara-suara tanpa wajah, Alvin harus memilih: tet...
Jalan Menuju Braga
1239      803     4     
Romance
Berly rasa, kehidupannya baik-baik saja saat itu. Tentunya itu sebelum ia harus merasakan pahitnya kehilangan dan membuat hidupnya berubah. Hal-hal yang selalu ia dapatkan, tak bisa lagi ia genggam. Hal-hal yang sejalan dengannya, bahkan menyakitinya tanpa ragu. Segala hal yang terjadi dalam hidupnya, membuat Berly menutup mata akan perasaannya, termasuk pada Jhagad Braga Utama--Kakak kelasnya...