“Maaf, Kak. Tadi saya buru-buru ngerjainnya,” pekik Nilam cepat. Ia tak mau membuat Kak Daniel marah-marah lagi. Akhirnya ia memilih untuk jujur—seperti siang tadi—daripada timbul lebih banyak masalah. Yah, walaupun kejujurannya saat wawancara juga menjadi bencana untuknya.
"Tadi kami sudah kasih waktu satu jam untuk jawab dua puluh soal. Apa itu kurang? Yang lain bisa jawab,” desak Kak Daniel.
Nilam menggeleng. Ia benar-benar tak berani mengangkat wajahnya untuk menatap sang ketua OSIS.
“Coba jujur sama saya, Talitha. Saya akan mendengarkan tanpa menghakimi.”
Menghela napas, Nilam mulai berbicara terbata. “Ta–tadi saya bengong, Kak,” ucapnya ragu.
“Kenapa?”
“Karena … jawabannya nggak ada yang cocok sama saya,” tambahnya seraya menunduk dalam.
“Ya?” Kak Daniel mendengkan telinga. “Nggak cocok sama kamu? Kenapa?”
Nilam membasahi bibir yang terasa seperti kanebo kering. Situasi ini membuatnya deja vu dengan wawancara tadi siang. “Saya bingung, Kak. Mau jawab pertanyaan itu jujur atau yang diharapkan untuk menjadi benar.”
“Maksudnya?”
Memberanikan diri, Nilam mengangkat kepala. Tatapan Kak Daniel dan Kak Rendra sekarang terfokus padanya, tetapi ia harus menjelaskan semua agar tidak terlalu larut.
“Saya merasa jawaban pertanyaan itu tidak ada yang benar atau salah. Mungkin ada jawaban yang menurut Kakak itu benar, karena seharusnya seperti itu. Tapi, bagaimana kalau orang yang menjawab itu tidak jujur? Hanya demi nilai yang bagus, padahal tidak sesuai dengan kondisi dia sebenarnya,” ungkap Nilam panjang lebar. Mulutnya seolah tak mau berhenti menyuarakan pikiran. “Misalnya, pertanyaan, ‘Apa niat Anda menjadi pengurus OSIS,’ yang tadi ada? Semua jawaban saya rasa benar, tapi ada satu yang mungkin akan dianggap ‘melenceng’ dari moral: yaitu agar terlihat keren dan populer. Mungkin saja sebenarnya ada niat orang yang ikut OSIS agar keren dan populer, tapi karena dia merasa itu jawaban yang ‘salah’, dia nggak jujur dan memilih jawaban lain. Jadi sebenarnya, yang harus dipilih itu jawaban yang jujur atau yang benar?”
Kak Daniel terperangah, begitu pula Kak Rendra. Nilam mengutuk diri karena sudah terlalu banyak berbicara. Apa ia terlalu berbelit-belit sampai mereka tak mengerti maksudnya? Melihat tatapan mereka, ingin rasanya ia menyumpal mulut agar tidak semakin banyak bersuara. Berani-beraninya dia membalikkan pertanyaan pada sang ketua OSIS yang terhormat?
“Pikiran kamu benar-benar unik,” komentar Kak Daniel setelah terdiam beberapa saat.
Ah, gawat! Jawaban jujurnya menggali lubang untuk kedua kali. Sudahlah, paling tidak, ia sudah berpengalaman siang tadi. Ia tak perlu menangis lagi.
“Maaf kalau perkataan saya lancang, Kak,” ujarnya seperti berkumur.
“Nggak, nggak!” sangkal Kak Daniel cepat. “Justru saya tertarik sama kamu, Talitha. Kamu benar-benar beda dari yang lain. OSIS pasti akan menyesal kalau kehilangan orang sejujur kamu.”
Mata Nilam mengerjap. Barusan itu pujian atau ia salah mendengar?
“Kamu udah baca buku yang tadi saya kasih?” sambung ketua OSIS itu.
“Sudah di bagian yang Kakak tandai dan beberapa bab sebelumnya.” Kini Nilam sedikit mendapat kepercayaan diri untuk berkata jujur. Ia menyodorkan buku yang sejak tadi menghuni genggamannya. “Ini, Kak.”
“Bukunya pegang dulu, saya mau kamu baca semuanya,” ujar Kak Daniel. “Sekarang, coba kamu ceritain, pesan apa yang kamu dapat dari bagian yang sudah kamu baca.”
Nilam menerawang. Setengah bergumam, ia berkata pelan. “Pesannya … kalau kita berharga.”
“Terus?”
“Intinya, menurut buku itu, semua orang itu punya keistimewaan masing-masing. Tapi, kadang orang itu tidak menyadarinya.”
Kak Daniel tersenyum. “Bagus. Sekarang kamu udah sadar?”
“Sadar?” Nilam mengernyitkan dahi.
“Iya. Apa kamu udah sadar kalau kamu itu istimewa? Kamu punya kelebihan berupa pengetahuan luas, keberanian terpendam, bakat dan kemampuan, serta yang paling utama ... kejujuran. Tapi … selama ini kamu nggak sadar karena kamu terkungkung dalam ketakutan dan bayang-bayang orang lain, yang menarik kamu lagi ke bawah dan terus ke dasar jurang. Sampai akhirnya, yang kamu tahu hanyalah bahwa kamu tidak berdaya dan tidak bisa apa-apa.”
Nilam terkesiap. Bagaimana bisa cowok yang baru berhadapan dengannya kurang dari dua belas jam lebih mengenal dirinya dibanding ia sendiri? Ucapannya seperti cambuk yang menyabet bokong kuda: perih, tetapi berhasil membuatnya melesat lebih cepat.
“Saya nggak akan memaksa kamu, Talitha. Tapi kamu harus tau, berdasarkan penilaian saya, kamu layak menjadi pengurus OSIS. Dan saya akan berusaha untuk membimbing kamu kalau kamu masuk OSIS meskipun saya udah nggak lagi jadi pengurus. Begitu juga dengan Rendra, penilaian tahap awalnya yang tinggi memungkinkan dia akan jadi pengurus inti. Kami akan bantu kamu, kamu tinggal bilang aja kalau sedang ada kesulitan. Iya, kan, Ren?” tanya Kak Daniel pada Kak Rendra yang dijawab dengan anggukan. “Sekarang, tinggal bagaimana pilihan kamu, mau lanjut atau berhenti?”
Menoleh sejenak pada Kak Rendra yang juga mengangguk padanya, Nilam mendesah. Pilihan ini benar-benar sulit. Meskipun begitu, baru kali ini ada orang yang memberikan pilihan padanya, bukan memaksakan kehendak mereka. Ia benar-benar sangat menghargainya, tetapi ia tak terbiasa untuk mengambil keputusan sendiri. Situasinya kini terjepit.
“Gimana … gimana kalau saya gagal, Kak?” bisik Nilam lirih.
“Setidaknya kamu udah coba, Talitha. Daripada kamu gagal tanpa tau gimana rasanya berjuang, pasti akan ada penyesalan,” sergah Kak Daniel. “Walaupun nggak ada yang namanya kegagalan menjadi pengurus OSIS. Kita bukan sedang lomba, jadi nggak ada yang menang atau kalah. Justru, kita semua bekerja sama, saling gotong royong dan bahu membahu menyelesaikan tugas dan kegiatan. Kamu nggak akan sendirian, semua akan menjadi satu keluarga dalam naungan OSIS. Coba tanya Rendra yang udah jadi pengurus OSIS di periode sebelumnya.”
“Iya, benar kata Kak Daniel.” Kak Rendra ikut bersuara. “Kalau ada kesusahan, bilang aja sama yang lain. Semua pasti akan saling bantu. Itu yang saya rasain sejak jadi pengurus OSIS di kelas X.”
“Nah, sudah dengar langsung testimoni dari pengurus sebelumnya, kan? Gimana? Sekarang saatnya kamu ambil keputusan. Apa pun itu, kami akan hargai,” timpal Kak Daniel.
Nilam menarik napas dalam, kemudian mengembuskannya dengan sangat kuat. Beban di dadanya semakin berat, tetapi setelah semua yang ia lalui hari ini, ia membuktikan bahwa dirinya bisa jika mau berusaha. Lagi pula, kalau ia menolak, banyak orang yang akan dikecewakan. Mama, Naura, dan juga mungkin Kak Daniel. Kakak kelas itu yang sudah menariknya dari dasar jurang ketidakberdayaan, rasanya terlalu bodoh kalau harus melepaskan kembali genggamannya.
Baiklah. Keputusan ini sangat berat, tetapi ia harus mengambilnya juga. Kini saatnya ia harus melangkah dari zona nyaman ‘bukan siapa-siapa’ menjadi ‘seseorang yang akan berusaha’. Sesungguhnya, ia tak yakin bisa. Namun, melihat dua orang di depan dan sampingnya yang tampak bersungguh-sungguh membantu, ia harus siap menanggung konsekuensinya.
“Baik, Kak. Saya mau lanjut.”
Kak Daniel mendesah lega, kemudian kembali menegaskan. “Benar? Nggak terpaksa, kan?”
Sejujurnya, semua perkataan Kak Daniel tadi terdengar seperti paksaan untuknya. Namun entah bagaimana, cowok itu berhasil meyakinkannya hingga apa yang ia katakan seperti keluar tulus dari nuraninya.
“Nggak, Kak. Saya mau berusaha.”
“Bagus.” Kak Daniel tersenyum. “Saya bangga sama kamu, Talitha. Kamu udah berani melompat satu langkah. Nanti tinggal gimana kita lihat kamu di seleksi kedua saat LDKS. Seharusnya kamu nggak akan menyia-nyiakan kesempatan itu dengan bertindak atau menjawab pertanyaan asal lagi. Jujur itu harus, tapi jangan menyepelekan. Kami berlaku baik bukan karena kami lemah, tapi kami ingin kalian merasa nyaman jadi pengurus OSIS tanpa tekanan.”
Nilam mengangguk. “Iya, Kak. Saya akan melakukan yang terbaik.”
“Oke, Talitha. Saya percaya sama kamu. Tolong jaga kepercayaan saya, ya,” ucapnya lembut sesaat sebelum beralih pada Kak Rendra. “Ren, kamu tau, kan, di mana mau nempatin Talitha nanti kalau jadi pengurus inti?”
Kak Rendra tersenyum. “Iya, Kak. Sepertinya pikiran kita sama.”
Kedua cowok itu tertawa, membuat suasana yang tegang sedikit mencair. Kecuali Nilam, jantungnya masih terasa berlompatan. Selain ia tak mengerti apa yang mereka bicarakan, ia juga merasa seperti masih berada di awang-awang. Ia berharap semoga keputusan ini adalah yang terbaik dan tak akan menyesal di kemudian hari.
“Well, karena waktu udah semakin malam, saya nggak akan menahan kalian lebih lama lagi. Selamat untuk kalian berdua yang lolos ke tahap berikutnya. Terutama untuk Nilam, yang sudah berani mengambil langkah pertama.”
“Terima kasih, Kak,” jawab Kak Rendra. Nilam hanya nyengir kaku saja.
“Oke, hati-hati di jalan,” ucap Kak Daniel sambil bangkit dari kursi. “Rendra, tolong antar Nilam pulang ke rumah, ya.”
Seperti mendapat ledakan di jantung, perintah Kak Daniel yang terakhir lebih membuat Nilam terlonjak. Ia buru-buru menolak sambil menyilangkan tangan berkali-kali.
“Eh, nggak usah, Kak. Saya bisa pulang sendiri!” pekiknya panik.
Kak Rendra bangkit di sebelahnya. “Nggak apa-apa. Ayo, saya antar pulang!”
Makin lama makin seru, Kak. Semangat 💪
Comment on chapter Chapter 10