"Nama-nama yang saya sebutkan adalah yang lolos seleksi tahap pertama dan akan mengikuti LDKS pekan depan di Puncak. Mohon dengarkan dengan saksama."
Suara Kak Nida menggaung di ruangan yang penuh berisi orang tetapi tidak ada satu pun yang menimbulkan bunyi. Mereka sudah kembali ke aula utama, tempat berkumpul pagi tadi. Ketegangan terasa kian mengapung udara, menimbulkan awan hitam pekat tak kasatmata yang bergelayut. Semua pasti berharap nama mereka meluncur dari mulut kakak kelas berkerudung itu dan bisa lolos ke tahap seleksi selanjutnya.
Kecuali Nilam yang berharap tak ada namanya.
“Gue deg-degan banget, sumpah!” bisik Naura dengan wajah berubah pucat. “Kalo nggak ada nama gue gimana?”
“Kamu tadi bisa jawab, kan, Ra? Pasti lolos!” ujar Nilam menyemangati.
Satu per satu nama disebutkan, menimbulkan sorakan kecil dari sang empunya yang kegirangan. Semakin lama, semakin banyak hingga terjadi keriuhan yang tak terelakkan. Terlebih ketika nama Naura disebutkan. Gadis itu memekik keras, kemudian memeluk Nilam erat sampai sulit bernapas. Ia melakukan tos jarak jauh dengan Gisel, pasangan wawancaranya yang juga sudah kembali ke tempatnya semula di depan. Teriakan kegembiraan mereka menjadi tontonan semua orang.
“Selamat, ya, Ra!” seru Nilam ikut merasa senang. “Tuh, bener, kan? Kamu pasti lolos.”
“Iya,” Naura mengusap air di sudut matanya. “Tinggal nunggu nama lo, nih!”
Nilam merasakan tangannya tergenggam erat dengan tangan Naura yang berkeringat. Ia tersenyum kecil, menyadari kalau situasinya sungguh berkebalikan. Seharusnya ia yang tegang, tetapi kenapa malah Naura yang mendengarkan dengan penuh seksama? Ia hanya bersorak satu kali lagi saat Rachel, teman Gisel, juga disebutkan namanya. Mereka kembali melakukan tos jarak jauh.
“Tarendra Yudhistira, Thomas Jeremy Christian, ….”
Nama Nilam seharusnya disebutkan setelah nama Kak Rendra, tetapi Kak Nida tidak mengucapkannya. Hingga nama terakhir, yaitu Zahra, teman Gisel dibacakan, tak terdengar juga nama Nilam di antaranya. Apakah ini benar terjadi? Ia tidak diterima!
Gadis bertubuh mungil itu gemetar. Keinginannya tidak diterima menjadi pengurus OSIS menjadi kenyataan. Sungguh ironis, rasanya ia ingin bersorak merayakan ketidakberhasilannya.
Nilam memeluk Naura yang menatapnya dengan mata berkaca-kaca, seperti tak percaya kalau ia tak diterima. Rasanya janggal karena yang justru bersedih malah sahabatnya, bukan dirinya. Meskipun begitu, ia juga mengakui bahwa kegagalan yang ia rasakan seperti kabut tipis yang menyusup ke dalam setiap jengkal pori-pori, menimbulkan sensasi merinding yang tak dapat diutarakan. Memandang sekeliling, terlihat beberapa orang yang bernasib sama sepertinya, tidak terpilih, sedang bersedih dan meratap, seperti tak percaya kalau sudah tereliminasi.
“Yah, Nilam. Nama lo nggak disebut,” desis Naura lemas.
“Nggak apa-apa, Ra. Mungkin OSIS emang bukan jalanku,” kata Nilam tenang.
“Kok, lo santai banget, sih? Jangan-jangan lo sengaja biar nggak lolos, ya? Karena terpaksa gue daftarin?” Naura mengerutkan dahi.
“Nggak, kok. Mana mungkin bisa gitu,” dusta Nilam tak ingin menambah keruh suasana. “Lagian, tadi, kan, wawancara. Mana berani aku sengaja jawab salah di depan Kakak panitia?”
Naura mendesah. “Iya juga, sih. Tapi … kita, kan, jadi nggak bisa bareng-bareng.”
“Yang penting kamu udah punya temen baru, Ra. Jadi nggak bakal sendirian,” ujar Nilam mengusap bahu sahabatnya.
“Iya, sih. Untung tadi gue bareng Gisel. Dia anaknya asik banget. Rachel sama Zahra juga. Apalagi mereka suka K-Pop yang sama. Udah gitu, mereka kayaknya orang kaya. HP-nya aja—”
Ocehan Naura terhenti saat kakak ketua panitia kembali mengetuk papan tulis dengan penggaris kayu. Sejurus kemudian, dia mengangguk pada Kak Nida dan mempersilakan untuk kembali mengumumkan.
“Untuk semua yang lolos seleksi tahap pertama, hari Rabu besok kalian harus kumpul di ruangan ini lagi jam tiga sore untuk briefing dan persiapan LDKS. Tidak ada yang boleh terlambat karena akan berpengaruh pada penilaian kalian selanjutnya.”
Dengung samar terdengar di seantero ruangan. Semua tampak antusias membicarakan kesempatan emas jalan-jalan dari sekolah bersama teman-teman sekaligus mengikuti latihan kepemimpinan bergengsi itu. Kakak panitia menenangkan mereka, mengatakan kalau pengumuman belum selesai.
“Untuk semua yang tidak lolos seleksi, jangan berkecil hati. Mungkin OSIS bukan organisasi yang cocok untuk kalian dan masih banyak organisasi dan ekskul lain yang bisa kalian ikuti,” ucap Kak Nida lembut. “Namun, kami memberikan kesempatan terakhir untuk beberapa orang yang akan saya sebutkan, untuk memperjuangkan keinginan kalian mengikuti OSIS. Silakan temui panitia yang akan saya sebutkan.”
Semua saling bertatapan satu sama lain, seolah ada secercah harapan yang diturunkan dari langit. Mungkin kini mereka memandang Kak Nida dengan sayap dan lingkaran emas di atas kepalanya, berharap nama mereka yang akan keluar dari mulutnya.
“Hilman Killian, silakan temui Kak Kayla, Jeany Berliana, temui Kak Marcus, Nathan Leonard, bersama Kak Valent, dan terakhir, Talitha Nilam, temui Kak Daniel.”
Jantung Nilam seolah berhenti berdetak. Napasnya tertahan, pandangannya menerawang. Ia menajamkan telinga, tak percaya pada pendengarannya. Hanya guncangan dari tangan Naura pada bahunya menyadarkan kalau ia sedang tidak bermimpi.
“Lam! Lo ada kesempatan kedua!” pekik Naura seolah baru saja memenangkan lomba.
“Ng–nggak mungkin!” gumam Nilam setengah sadar. “Tadi Kak Daniel cuma bilang suruh balikin bukunya.”
“Iya! Mungkin itu pertanda, Nilam!” jerit Naura gemas. “Ah, coba gue yang dapet bukunya Kak Daniel. Enak banget, sih, lo diwawancara sama dia.”
Nilam tak dapat menjawab, lidahnya terasa kelu. Hatinya mencelos, tak percaya kalau masih ada kemungkinan ia lolos. Apakah ini semacam prank, seperti yang biasa dilakukan juri MasterChef pada peserta yang akan tereliminasi? Ya, mungkin saja seperti itu. Kak Daniel hanya ingin ia mengembalikan bukunya dan melakukan tugas terakhir.
“Bagi peserta yang sudah lolos dan namanya tidak disebutkan di kesempatan terakhir, silakan membubarkan diri dan langsung pulang ke rumah masing-masing!” perintah Kak Nida.
Suasana kembali pecah. Semua seolah mengeluarkan perkataan yang tadi tertahan dalam pita suara. Mereka membubarkan diri dengan ceria sambil bercerita. Kecuali yang namanya tidak lolos sama sekali, atau yang mendapat kesempatan terakhir seperti dirinya.
“Gue pulang duluan, nih? Bener, nggak apa-apa?” tanya Naura setelah Nilam menyuruhnya.
“Iya, Ra. Nggak apa-apa. Lagian belum terlalu malem, kok. Masih bisa pesan ojol,” sahut Nilam.
“Ya udah. Good luck, ya, Lam! Mudah-mudahan lo lolos juga,” ucap Naura mengepalkan tangan ke udara. “Hwaiting!”
Nilam hanya tersenyum kaku alih-alih mengaminkan doa sahabatnya. Pikirannya sudah buntu dan ia tak tahu lagi harus bagaimana. Biarlah ia mengikuti alur yang akan terjadi selanjutnya. Kini ia hanya bisa melambaikan tangan pada Naura yang sudah bergabung dengan teman barunya dan bersorak gembira.
Ruangan yang sebelumnya penuh kini hanya tersisa segelintir orang. Beberapa panitia, empat nama yang tadi disebut, juga peserta yang merupakan pengurus OSIS periode sebelumnya. Termasuk Kak Rendra.
“Talitha Nilam, ayo ikut saya. Rendra juga!” perintah Kak Daniel yang tiba-tiba muncul di depan kelas.
Seperti genderang perang yang ditabuh, jantung Nilam seolah akan melompat keluar. Meskipun ia sudah menghadapi situasi terburuk dengan Kak Daniel saat wawancara tadi siang, tetap saja itu tidak bisa membuat hatinya tenang. Ia ingin mengundurkan diri langsung, tetapi terlalu takut untuk berbicara. Bagaimana kalau ketua OSIS yang sudah memberikan kesempatan itu marah padanya?
Kakinya seolah bergerak sendiri menuju kursi di sudut depan tempat cowok berkacamata itu duduk bersama seorang panitia lagi yang memberikan beberapa lembar kertas. Dari jauh ia mengenali kalau lembaran itu adalah soal yang dikerjakan saat awal seleksi tadi. Keringat dingin seketika menyembul dari pori-pori Nilam, mengendus adanya firasat buruk yang akan menghampiri.
“Permisi, Kak,” Suara Nilam seperti tikus terjepit saat berada di bangku depan sang ketua OSIS.
“Ya, silakan duduk,” perintah Kak Daniel tak menatapnya, masih sibuk menekuni lembaran kertas itu.
Nilam menjatuhkan diri untuk duduk dengan hati-hati. Kak Rendra yang menyusul di belakangnya kini sudah mendahului, menempati posisi di sebelahnya. Tak ada senyum terukir di wajah dengan rahang persegi yang sekarang tampak dingin seperti batu.
“Kamu benar-benar nggak serius ikut seleksi ini, ya?” tanya Kak Daniel tanpa tedeng aling-aling.
Mata Nilam membola. Mulutnya ternganga dan hanya satu kata yang keluar dari sana. “Ya?”
“Dari dua puluh soal, kamu cuma menjawab serius sepuluh soal. Sisanya, kamu cuma asal contreng saja. Benar, kan?” tuduh Kak Daniel yang tak dapat dibantah Nilam. Ia hanya terdiam sambil menunduk.
“Maaf, Kak,” gumamnya lirih.
Kak Daniel memijat dahinya pelan. “Kenapa kamu jawab pertanyaan-pertanyaan ini asal?”
Menelan ludah, Nilam menunduk semakin dalam. Pertanyaan yang diawali ‘kenapa’ sungguh sangat sulit untuk dijawab. Pilihannya hanya jujur atau berkilah, yang mana keduanya sama-sama bisa menjebaknya ke dalam jurang.
“Talitha?” Kak Daniel menekankan saat menyebut namanya. “Kamu satu-satunya orang yang bikin saya nanya dua kali.”
Makin lama makin seru, Kak. Semangat 💪
Comment on chapter Chapter 10