Nilam berjalan seperti zombie demi menghadiri satu per satu pos seleksi pengurus OSIS. Mentalnya sudah jatuh di pos pertama hingga untuk menghadapi ujian berikutnya, tubuhnya seperti hanya tersisa kepompong tanpa nyawa. Beruntung, wawancara di pos lain lebih mengutamakan pengetahuan dibanding kepribadian.
Pos lima misalnya. Ia ditanya tentang struktur organisasi dan jabatan fungsionalnya. Ia ingat sudah pernah melihatnya di depan ruang OSIS setiap hendak ke toilet, sehingga tahu jawabannya. Pos enam membahas tentang kesekretariatan, seperti urusan surat menyurat, menyimpan berkas, dan lain sebagainya. Pengetahuan ini tentu saja sudah dipelajari pada pelajaran Bahasa Indonesia.
Pengetahuan tentang agama ditanyakan di pos pertama. Walaupun bukan berasal dari keluarga yang amat religius, paling tidak Nilam pernah mengaji di mushola perumahan dari TK hingga SD dulu. Ia juga selalu memperhatikan saat pelajaran agama di sekolah, sehingga pengetahuan dasar tentang agama bisa dijawab. Berikutnya tentang bela negara. Di pos ini dia cukup kesulitan. Namun, kakak pewawancaranya sangat baik dan ramah sehingga ia tak begitu takut menghadapinya.
Menjalani pos demi pos ternyata tidak seburuk bayangannya seperti di pos empat tadi. Justru ternyata menjalani wawancara dan membahas apa yang ia tahu sedikit membuat jiwanya kembali utuh. Terlebih di pos tiga, kepercayaan dirinya sedikit timbul karena membahas tentang pengetahuan umum dan sejarah Indonesia. Sebagai anak yang banyak menghabiskan waktu di rumah, ia rajin membaca buku RPUL milik Kak Ratna.
“Coba Nilam, nyanyikan salah satu lagu daerah di Indonesia!” perintah Kak Kayla, pewawancara di pos dua.
“Ehm, lagu dari daerah mana, Kak?”
“Wah … malah nantangin!” seru Kak Kayla sambil tertawa.
“Bu—bukan gitu, Kak!” pekik Nilam sambil menyilangkan tangan panik. Dia bukan bermaksud menantang, tetapi pilihan lagu daerah di Indonesia sungguh banyak. Paling tidak, ia tahu lagu-lagu yang ada di buku Indonesiaku Persadaku karya W.S Simanjuntak.
“Hm … oke, oke. Coba kita tanya yang lain,” Kak Kayla berteriak keras. “Guys, ada yang mau request lagu daerah mana yang mau dinyanyiin Talitha Nilam?”
Teman-teman Kak Kayla yang sedang mewawancarai peserta lain mengalihkan perhatian padanya. Celetukan terdengar dari kakak panitia yang berada paling depan. “Coba, lagu dari Aceh!”
“Nah, coba Nilam. Ada yang request lagu dari Aceh!” perintah Kak Kayla.
Ingin rasanya Nilam menepuk dahinya karena lagi-lagi salah menjawab. Sudah kepalang tanggung, ia harus bertanggung jawab. Ini pertama kalinya ia bernyanyi di depan orang lain dan lehernya terasa tercekik. Ia berdehem, menyingkirkan rasa malu karena harus membuka suara di depan orang lain. Apalagi di sebelahnya ada Kak Rendra. Uh, tolong jangan lihat ke arahnya!
Menarik napas panjang seperti yang diajarkan Kak Daniel tadi, Nilam mulai merasakan sedikit ketenangannya kembali. Pelan, mulutnya seperti berkumur saat mengeluarkan suara. “Bungong jeumpa … bungong jeumpa—”
“Di depan, dong, nyanyinya!” sergah salah satu kakak panitia berteriak. Teman-temannya mendukung hingga suasana yang tadi sepi berubah ramai.
NIlam menelan ludah. Entah sudah berubah warna menjadi apa wajahnya yang terasa panas saat ini. Duh, jangankan menyanyi di depan kelas, berhadapan dengan Kak Nayla tadi saja perutnya sudah terasa mulas.
Atas desakan teman-temannya, Kak Kayla menyetujui rencana menyebalkan itu. “Oke, Nilam. Ayo, nyanyi di depan.”
“Ehm …,” Nilam hendak menyanggah, tetapi mulutnya tak berani berucap.
“Nilam! Jadi pengurus OSIS itu harus berani! Nanti kamu harus ngomong di depan umum juga! Jadi ini penilaian apakah kamu berani atau nggak,” terang Kak Kayla. “Ayo! Sekarang maju dan nyanyi yang keras!”
“Baik, Kak,” ucap Nilam lirih. Tak ada pilihan lagi selain menuruti perintah panitia. Ia akhirnya berdiri dan berjalan gemetar ke depan kelas. Beruntung, hanya segelintir kakak panitia yang memperhatikannya. Yang lain masih sibuk melakukan wawancara.
Mengulangi ritual menarik napas panjang, Nilam mulai menyanyikan lagu Bungong Jeumpa. Kak Kayla lagi-lagi memotong karena suaranya dinilai terlalu pelan. Akhirnya, ia memaksa pita suaranya untuk bekerja lebih keras. Memejamkan mata, mulut Nilam mulai menyanyikan lagu tentang keindahan bunga cempaka yang berasal dari Nangroe Aceh Darussalam.
“Bungong jeumpa, bungong jeumpa meugah di Acèh,
Bungong teuleubèh, teuleubèh indah lagoë na,
Putéh kunèng meujampu mirah,
Bungong siulah indah lagoë na,
Lam sina buleuën, lam sina buleuën angèn peuayôn,
Rurôh meususôn, meususôn, nyang mala-mala,
Mangat that mubèë meunyo tatém côm,
Leupah that harôm si bungong jeumpa.”
Gemuruh tepuk tangan membahana di seantero kelas. Nilam membuka mata dan kini semua mata tertuju padanya. Bukan hanya kakak panitia, tetapi juga peserta lain malah ikut menontonnya. Perasaannya campur aduk, ini kali pertama ia bernyanyi di depan banyak orang. Wajahnya terasa panas dan ia segera menundukkan kepala. Ah, malu sekali! Namun, ada sedikit perasaan senang yang menggelitik karena baru kali ini orang-orang menganggap dia ada, bukan berada di balik bayang-bayang orang lain. Tanpa sadar, bibirnya mengguratkan senyum yang tak tertahan.
“Coba lagu dari Kalimantan!” ujar kakak panitia yang duduk di sudut ruangan.
“Papua!” sambut teman di sebelahnya.
“Sulawesi!” pekik yang lain.
“Sumatera!” Kakak panitia yang menonton di depan pintu ikut bersuara.
Salah satu temannya menyanggah. “Eh, tadi Aceh juga Sumatera!”
Semua tertawa, sementara Nilam pusing mendengarnya. Bukan berarti dia tak tahu lagu-lagu dari daerah yang disebutkan, tetapi menyanyi satu lagu saja sudah membuatnya nyaris pingsan.
“Woi! Satu-satu!” seru Kak Kayla memperingatkan teman-temannya. “Oke, Nilam. Coba nyanyiin lagu dari Sulawesi.”
Hah? Lagi? Ya ampun! Kenapa jadi seperti konser tunggal begini?
Berbekal pengalaman di lagu pertama, kali ini Nilam sudah sedikit lebih tenang. Ia menyanyikan lagu Angin Mamiri dari Sulawesi Selatan. Entah bagaimana suaranya mampu membius perhatian semua yang ada di ruangan. Ia menjadi sedikit lebih berani, tak lagi bernyanyi dengan mata terpejam.
Belum puas juga, kakak panitia membombardirnya dengan perintah untuk menyanyikan lagu daerah lain. Ia bernyanyi lagu Lir Ilir dari Jawa Tengah, Rambadia dari Sumatera Utara, Anak Kambing Saya dari Nusa Tenggara Timur, Manuk Dadali dari Jawa Barat, Yamko Rambe Yamko dari Papua, Saputangan Bapucu Ampat dari Kalimantan Selatan, dan Sarinande dari Maluku. Semakin lama, suaranya semakin keras. Begitu juga kakak panitia yang tiba-tiba semakin banyak ada di kelas.
“Coba lagu nasional!” seru Kak Rendra, memecah gelombang tepuk tangan yang riuh.
Semua terdiam. Kak Kayla melotot. “Woi, Rendra! Kamu juga peserta!”
“Ah, iya.”
Tawa semua yang hadir kini membuat suasana ruangan benar-benar mencair. Kak Rendra tersipu—baru pertama kali Nilam melihatnya tersenyum seperti itu. Tampak sangat manis dan menggemaskan, kontras sekali dengan tubuhnya yang tegap dan kekar.
“Ya udah, nggak apa-apa. Terakhir, Nilam. Coba nyanyiin lagu nasional!”
Nilam memutar otak demi mencari lagu apa yang singkat dan jarang didengar. Ah, iya! Tiba-tiba ia teringat lagu yang ada di buku kuning Kak Ratna saat masuk kuliah dulu. Nyiur Hijau karya R. Maladi. Lagunya sangat lembut dan mendayu, cocok dengan suaranya yang sudah hampir habis karena terlalu banyak bernyanyi.
“Nyiur hijau di tepi pantai,
Siar-siur daunnya melambai,
Padi mengembang kuning merayu,
Burung-burung bernyanyi gembira,
Tanah airku tumpah darahku,
Tanah yang subur kaya makmur,
Tanah airku tumpah darahku,
Tanah yang indah permai nyata.”
Kali ini tepuk tangan semakin meriah. Nilam menutup wajahnya yang sejak tadi menahan malu terpendam, sambil berjongkok di depan kelas. Jantungnya berdegup lebih keras. Ia tak menyangka bisa meruntuhkan tembok ketakutan untuk tampil di depan orang banyak. Seolah semua beban yang terpanggul di punggungnya lepas, hingga ia berhasil selayaknya orang yang melakukan konser tunggal. Nilam, you did it! pekiknya dalam hati.
Berakhir sudah semua wawancara pemilihan OSIS dia jalani. Semua kolom tanda tangan pewawancara di kertas sudah penuh. Rasa lega memenuhi hati Nilam. Ternyata, ketika ia melakukannya sepenuh hati, ia bisa merasa sedikit tenang. Ia sudah pasrah perihal hasilnya nanti. Entah diterima atau tidak, yang penting ia sudah melakukan yang ia bisa hari ini.
Nilam berjalan seorang diri menuju kelas yang digunakan untuk menunggu selesai wawancara. Kak Rendra tadi dipanggil salah satu panitia, sepertinya membicarakan urusan OSIS sebelumnya. Bagus sebenarnya, karena Nilam pasti merasa kikuk kalau berjalan bersama. Apalagi setelah Kak Rendra menyaksikan wawancara dan penampilannya tadi. Uh, semoga dia tak berkomentar apa-apa.
Mengedarkan pandangan, Nilam mencari keberadaan Naura di dalam ruangan. Tampak gadis itu sedang berbincang dengan tiga siswi lain di depan meja guru. Nilam segera menghampirinya.
“Hai, Lam! Gimana tadi?” sapa Naura saat Nilam tiba di meja mereka.
“Susah,” Nilam menggaruk kepala yang ditutupi bandana.
“Iya emang. Pertanyaannya susah-susah!” sergah Naura cemberut. Sejurus kemudian dia kembali berbinar. “Oh, iya, kenalin. Ini Gisel, Rachel, sama Zahra. Mereka seangkatan sama kita!” ucapnya antusias dan menunjuk tiga gadis yang ikut menyapanya. “Teman-teman, ini Nilam, yang tadi gue ceritain.”
“Hai, Nilam!” sapa cewek yang duduk di sebelah Naura. Nilam ingat, dia pasangan Naura tadi saat wawancara. Semakin dilihat dari dekat, dia tampak benar-benar cantik!
“Hai,” jawab Nilam kaku sambil berupaya tersenyum. Ia juga menyapa kedua cewek yang duduk di depannya.
“Lam, lo duduk di belakang dulu, ya. Gue lagi tukeran info X-Ray! Ternyata mereka fans idol juga!” ucap Naura bersemangat. Dia kembali terlibat dalam pembicaraan seru dengan yang lain.
Nilam mengangguk. “Oke,” sahutnya pelan tanpa ada yang mendengar. Ia berjalan ke bagian belakang kelas dengan kursi yang belum terisi.
Mengisi waktu, ia membaca buku You are Worthy yang tadi diberikan Kak Daniel. Ia membuka halaman yang ditandai dengan stiker merah muda, kemudian membaca isinya.
“Apa pun yang dikatakan orang lain, kamu berharga.
Setidaknya untuk dirimu sendiri.
Kamu adalah kamu.
Pemilik tubuhmu.
Pemilik bakat dan kemampuan yang ada pada dirimu.
Pemilik hati dan cinta yang berhak kau simpan sendiri, atau kau bagikan pada sekitarmu.
Pemilik kebahagiaan atas pilihan yang sudah kau tentukan.
Pemilik pengalaman berharga yang kau tempuh meski berhujam lara.
Pemilik jiwa yang menyimpan sejuta potensi dan kemampuan.
Kamu sangat berharga.
Kamu istimewa.
Hanya saja, mungkin kamu belum menyadarinya.”
Mata Nilam berkaca-kaca saat membaca bait demi bait yang menusuk hatinya. Apa benar ia berharga? Orang sepertinya, yang bahkan takut pada bayangan sendiri? Entahlah, mungkin tulisan ini hanya tepat untuk orang-orang yang memang ditakdirkan untuk menjadi luar biasa. Bukan dirinya, gadis yang tak bisa apa-apa.
Membalik halaman, Nilam melanjutkan membaca buku itu. Gejolak terasa muncul di hatinya, antara menerima pesan yang baru pertama kali diterima, atau tak mengacuhkannya. Semua ini baru untuknya. Seolah ada lilin yang menyala di kegelapan hati, menerangi ruang-ruang yang selama ini tak terjamah oleh dirinya sendiri.
Makin lama makin seru, Kak. Semangat 💪
Comment on chapter Chapter 10