Apa niat Anda menjadi pengurus OSIS?
a. Agar bisa memiliki banyak teman
b. Agar membuat sekolah menjadi maju
c. Agar bisa menyukseskan kegiatan di sekolah
d. Agar menjadi keren dan populer
Nilam memutar otak demi mengerjakan soal-soal di depannya. Pertanyaannya sungguh menjebak karena semua jawaban seolah terlihat sama. Ia tak tahu mana yang benar dan salah. Ini baru satu soal dan dia sudah pusing tujuh keliling.
Tanpa sengaja ia mendapati Naura melirik kertasnya. Buat apa? Padahal seharusnya sahabatnya itu yang paling mudah mengisi soal menjebak ini. Kalau berani jujur, Naura semestinya memilih jawaban D. Yah, itu tidak mungkin terjadi, sih. Orang akan cenderung memilih jawaban yang terlihat benar daripada jujur. Bukankah pilihan yang diambil itu hanya berupa kepalsuan supaya terlihat baik? Walau pastinya itu adalah jalan yang ditempuh oleh semua murid saat mengerjakan soal-soal yang jawabannya berdasarkan moral, termasuk dirinya.
Huf! Kalau saja bisa, rasanya ia ingin menambahkan satu lagi opsi di bagian pertanyaan itu: Karena disuruh Mama dan teman.
Sebersit pikiran yang sudah menghantui otaknya sejak semalam kini hadir lagi. Ia menimbang apakah sebaiknya sengaja mengisi jawaban yang salah supaya tak diterima OSIS? Kalau begitu, Mama dan Naura tak punya lagi alasan untuk memaksanya. Ia jadi bisa terbebas tanpa perlu bermasalah di antara mereka.
Namun di sisi lain, ia juga khawatir. Bagaimana kalau sengaja mengisi yang salah, justru akan menimbulkan masalah dengan panitia? Ia takut dibilang tak bersungguh-sungguh dan malah akan dimarahi. Uh, membayangkannya saja sudah ngeri.
“Satu menit lagi, kumpulkan kertasnya!”
Nilam terbelalak. Ia baru mengerjakan sepuluh dari total dua puluh soal. Sungguh menyesal ia karena sejak tadi hanya bengong tak jelas. Sekarang tanpa perlu dipikirkan lagi, mau tak mau ia menempuh jalan yang kedua: menjawab soal dengan asal.
Kak Nida tiba di mejanya untuk mengumpulkan soal tepat saat Nilam selesai menyilang jawaban terakhir. Tangannya gemetar saat menyerahkan kertas yang kini seolah tersenyum mengejek padanya. Biarlah. Kalau memang nanti dia tak diterima, itu malah bagus, bukan?
“Kalian boleh istirahat sepuluh menit,” ucap Kak Daniel di depan kelas. Para panitia pun meninggalkan ruangan.
Nilam melemaskan tubuhnya yang tegang saat akhir tes tulis tadi. Ia menghela napas panjang, kemudian meneguk air yang dibawa dalam botol Tupperware. Di sebelahnya, Naura otomatis membuka ponsel dan memasang Instagram Story kalau dia baru saja melakukan tes masuk OSIS.
Mata Nilam memandang sekeliling ruang aula yang nyaris penuh. Benar kata Kak Nida, peminat organisasi ini ternyata sangat banyak. Sekilas ia mendapati wajah-wajah anak kelas X yang ikut orientasi bersamanya memenuhi hampir sepertiga ruangan, sementara sisanya kelas XI. Di antara itu, cewek-cewek mendominasi sebagian besar bangku yang terisi. Mereka berbisik-bisik sambil terkikik setiap kali Kak Daniel muncul di depan aula.
Mengeluarkan buku gambar dari dalam tas, Nilam mulai menggoreskan pensil untuk menggambar suasana ruang aula. Tak lupa ia mewarnainya dengan pensil warna yang sudah pendek. Perasaan lega tiba-tiba menghuni hati Nilam. Benar! Kenapa ia tak kepikiran dari tadi? Melihat banyaknya peminat menjadi pengurus OSIS, tentu kesempatannya diterima semakin kecil! Apalagi mereka terlihat pintar berbicara dan percaya diri. Sudah tentu mereka yang pasti akan diterima dan tanpa perlu khawatir, ia akan tereliminasi dengan sendirinya. Yes! Ingin rasanya ia bersorak dalam hati, merayakan kegagalan masuk ke organisasi yang tidak dia sukai. Ironis memang, tetapi itu lebih baik daripada dimusuhi Mama dan Naura.
Ralat: Mama pasti akan tetap marah karena ia tak bisa melampaui Naura.
Ah, sudahlah. Itu bisa dipikirkan nanti saja.
“Lam, pipis, yuk!” ajak Naura, membuyarkan lamunan Nilam. Gadis itu mengangguk.
Jantung Nilam seolah hampir lepas saat tiba-tiba ada orang berdiri di sebelahnya. Ia hampir saja menabraknya saat hendak keluar menuju gang. Seketika perutnya terasa mulas saat mendapati orang itu adalah Kak Rendra! Astaga! Hampir saja ia menabrak untuk yang ketiga kali. Entah sejak kapan cowok itu ada di sana dan apa yang dilakukannya.
“A—anu, boleh permisi, Kak?” ucap Nilam tergagap. Keringat dingin mengucur deras di tubuhnya.
Kak Rendra tampak terkesiap. Sejurus kemudian, ia mengangguk tanpa menjawab dan berlalu ke barisan paling belakang.
“Kenapa Kak Rendra?” bisik Naura saat mereka sudah berjalan di gang antara deretan kursi dengan tembok.
Nilam mengangkat bahu seraya ikut berkata pelan, “Enggak tau.”
***
Sekembalinya mereka dari toilet, Nilam dan Naura buru-buru menempati kursi lipat yang berada di ujung ruangan karena pagi tadi mereka datang nyaris terlambat. Tak lama kemudian, kakak ketua panitia masuk lagi ke aula bersama Kak Nida sambil membawa setumpuk kertas putih yang dijepit di atas papan. Keriuhan yang sejak tadi terdengar seketika hilang ketika panitia lain masuk dan berdiri mengawasi di antara para peserta pendaftar.
“Teman-teman semua, sekarang kita masuk ke sesi dua, seleksi penerimaan pengurus OSIS, yaitu tes wawancara!”
“Wah …!” Suara ramai seketika muncul, sebagian besar berasal dari murid-murid kelas X. Wajah mereka berubah panik.
Sama seperti mereka, Nilam juga tak menyangka akan ada tes wawancara. Ia pikir, seleksi hanya dilakukan secara tertulis saja! Ia tak punya persiapan apa-apa. Jangankan berbicara dalam wawancara, mengobrol dengan orang lain saja jarang dilakukan. Uh, perutnya tiba-tiba mulas membayangkannya.
“Peserta harap tenang!” teriak kakak ketua panitia. Teman-temannya memperingatkan siswa yang gaduh di sekitarnya dengan tajam. Setelah suasana kembali kondusif, cowok berkacamata itu berdehem sebelum melanjutkan. “Karena jumlah peserta yang mendaftar cukup banyak, wawancara kali ini akan dilaksanakan secara berpasangan. Jadi dua nama yang dipanggil akan melaksanakan wawancara bersama di pos-pos yang sudah disediakan. Nanti kalian akan dipandu oleh panitia menuju pos masing-masing.”
Kegaduhan kembali terjadi. Para peserta saling berdiskusi dengan teman di sebelahnya. Begitu juga Naura yang langsung menggenggam tangan Nilam.
“Kita sama-sama terus, ya!” bisiknya.
“Iya!” ucap Nilam.
“Tolong, semuanya tenang!” Kakak ketua panitia kembali berteriak. Kali ini, ia memukul penggaris papan tulis ke meja kayu di depan. Semua seketika diam. “Nanti saat nama kalian dipanggil, kalian menghadap Kak Nida yang ada di depan aula untuk mendapat informasi pos wawancara beserta ruangannya. Jadi jangan sampai salah ruangan atau posnya. Paham?”
“Paham ...!” Semua peserta kompak menjawab.
“Baik, sekarang kita mulai dari urutan pertama. Abimanyu Laksana Dewangga dan Aldira Tiara Kirana. Segera menghadap Kak Nida!”
Dua orang yang namanya disebut segera bangkit dari kursi dan keluar aula. Sekilas Nilam melihat cewek kelas X yang dipanggil itu berjalan gemetar. Ah, ternyata bukan dirinya saja yang takut menghadapi wawancara ini.
“Selanjutnya Anandita Juwita dan Arania Sabrina, silakan menghadap Kak Nida!” Dua perempuan dari barisan yang berbeda keluar. “Selanjutnya Bella Cynthia dan Charles Imanuel.”
Setiap nama yang keluar dari mulut kakak ketua panitia membuat semua mata berpindah pandangan, mencari pemiliknya. Begitu juga saat mereka berjalan keluar, setiap yang hadir mengiringi dengan tatapan.
“Kayaknya kita nggak bisa bareng, deh!” ucap Naura saat enam pasang peserta sudah meninggalkan ruangan, sementara yang lain diperintahkan untuk menunggu.
“Kenapa?” Nilam mengernyitkan dahi.
“Itu tadi, kan, dipanggil namanya berdasarkan abjad,” simpul Naura cemberut.
Nilam menerawang sambil mengingat-ingat. “Ah, iya. Bener juga.”
“Lagian, sih, nama lo Talitha Nilam! Coba kalau Nilam aja, kita pasti bisa barengan!” gerutu Naura.
“Yah, itu, kan, Papa yang kasih nama,” gumam Nilam. “Aku juga pengennya namanya Nilam aja, biar absen kita juga deketan.”
Naura tertawa. “Iya, ih! Entar gue protes, ah, ke nyokap lo!”
***
Detik demi detik penantian terasa semakin mencekam. Apalagi orang-orang yang berada dalam ruangan juga semakin sedikit. Rasanya sedikit saja mereka berbicara pasti akan terdengar oleh panitia. Sudah begitu, mereka juga tidak diperbolehkan mengeluarkan ponsel selama menunggu wawancara.
“Nadine Gisella Pricilia dan Naura Dianika Maheswari, silakan menghadap Kak Nida!”
Naura bangkit dari kursinya perlahan, kemudian tangannya yang basah berkeringat menggenggam tangan Nilam. Tak disangka orang seaktif Naura juga deg-degan menghadapi wawancara ini.
“Doain gue, ya!” ucapnya serak.
“Lo pasti bisa, Ra! Semangat!” pekik Nilam tertahan sambil mengepalkan tangan ke udara.
Pasangan Naura berada di barisan paling depan, seorang gadis berambut panjang sepinggang yang digerai. Kulitnya putih bersih terawat, dengan hidung mancung bertengger di wajahnya. Saat dia berdiri, beberapa cowok tampak tertegun, kemudian berbisik-bisik sambil tertawa dengan teman di sebelahnya.
Mereka meninggalkan ruangan diiringi tatapan hangat dari semua yang tersisa di ruangan. Terang saja, kombinasi Naura yang bertubuh tinggi dan langsing dengan kulit sawo matang terawat dengan gadis yang tak kalah cantiknya membuat cowok-cowok seperti cuci mata. Mereka bahkan masih menjadi pembicaraan hingga beberapa lama hilang dari pandangan.
Kini tinggal Nilam menanti seorang diri. Ia tak dapat menduga siapa yang akan menjadi partnernya saat wawancara nanti. Walau sebenarnya itu tidak penting juga, karena siapa pun pasangannya, pasti akan lebih baik darinya. Semoga ia tak terlalu mempermalukan diri karena tak bisa menjawab apa pun. Uh, semakin dipikirkan, semakin ia ingin pulang saja!
Entah waktu yang terasa begitu lambat sampai-sampai namanya tak kunjung dipanggil. Menunggu ternyata jauh lebih melelahkan, apalagi kalau dibarengi dengan jantung berdebar.
Buku gambarnya sudah hampir penuh. Bukan lagi bintang, bulan, bahkan dia juga menggambar bumi hingga galaksi dengan planet-planet khayalan. Di halaman lainnya ia melukis kedalaman lautan, lengkap dengan putri duyung yang duduk di atas bebatuan. Selanjutnya pemandangan air terjun di tengah hutan beserta ikan yang berlompatan, juga hewan-hewan yang minum air di tepian kolam di bawahnya. Baru kali ini ia kehabisan ide mau menggambar apa lagi.
“Talitha Nilam Pranaya dan Tarendra Yudhistira! Silakan menghadap Kak Nida.”
Jantung Nilam seolah mendapat tembakan meriam saat mendengar namanya dipanggil. Begitu mendengar nama kedua, dadanya seolah dijatuhi bom. Hah? Yang benar? Dia akan berpasangan dengan ... Kak Rendra?
Makin lama makin seru, Kak. Semangat 💪
Comment on chapter Chapter 10