“Iya, gue tau! Tapi ini kesempatan besar buat kita, Lam! Kita bisa kenal sama anak-anak keren di sekolah! Mungkin aja kita juga bisa jadi ikut populer! Iya, kan?” terang Naura bersemangat.
“Aku … aku kayaknya nggak bisa jadi keren dan populer,” bisik Nilam lirih. “Kamu aja yang ikut, aku nggak.”
“Yah, kok, gitu? Nggak asik banget, sih!” gerutu Naura. “Lagian nyokap lo pasti seneng banget kalo lo ikut OSIS! Apalagi bareng gue!”
Nilam menjilat bibirnya yang terasa kering. Jantungnya berdebar, otaknya terasa berputar. Ide masuk OSIS saja sudah membuat pikirannya buyar, apalagi Naura membawa-bawa Mama yang jelas pasti akan mendukungnya.
“Kayaknya aku tetep nggak bisa, Ra. Aku, kan, nggak kayak kamu yang supel dan pinter. Aku … malu.”
“Yaelah, Lam! Justru itu gue ngajak lo. Biar gue juga ada temennya. Lo tau, kan, gue juga nggak kenal siapa-siapa di sini. Jadi kita bisa bareng-bareng terus!”
“Maaf, Ra. Tapi aku—”
“Ayolah, Lam. Temenin gue. Please … please! Mau, yah!” bujuk Nilam menggenggam tangannya. “Lo tau, kan, gue pengin banget masuk OSIS. Orang tua gue juga nyuruh gue ikut. Secara kakak-kakak gue semua pengurus OSIS. Masa gue nggak?”
Terdiam sejenak, Nilam memutar otak untuk menyelesaikan situasi ini. Dia sangat tidak ingin masuk OSIS. Tak bisa dibayangkan dia harus berbicara setiap saat, berada di tengah orang banyak, dan harus aktif dalam setiap kegiatan. Pasti sangat melelahkan. Apalagi keadaan di rumah juga sedang kacau karena bibi yang membantu Mama pulang kampung dan tidak kembali. Kalau harus kegiatan ekstra di sekolah yang memakan banyak waktu, ia pasti akan kehabisan tenaga saat harus membereskan pekerjaan rumah nanti.
“Aduh, Ra. Aku bingung. Aku kayaknya nggak bisa, soalnya—”
“Ah, udahlah! Terserah!” sergah Naura ketus. “Diajak maju susah banget.”
Nilam tersentak. Hatinya terasa teriris mendengar bentakan dari sahabatnya itu. Memorinya seketika memutar kejadian waktu sekolah dasar dahulu, saat ia menolak ajakan Naura untuk ikut bermain di rumah salah satu teman cowok. Naura marah dan anak-anak lain terbawa olehnya. Alhasil, ia jadi tak punya teman di sekolah.
“Bukan begitu, Ra. Aku cuma mau cerita sama kamu kalau aku—”
“Bodo, ah! Lagian, formulirnya udah gue kasih ke Kak Rendra tadi. Dia pasti udah kasih ke panitia. Emang lo berani ngundurin diri?”
Menelan ludah, Nilam mengatupkan mulutnya yang tadi baru saja terbuka. Cairan bening perlahan menggenangi pelupuk matanya, siap ditumpahkan ke pipi. Namun, ia berusaha sekuat tenaga untuk menghalangi. Lidahnya terasa kelu, tak sanggup lagi mengungkapkan isi hati. Ia hanya diam termangu, menahan berbagai pikiran yang berkecamuk di dalam otaknya sendiri.
“Bersiap! Memberi salam!”
Suara ketua kelas menyentak Nilam dari lamunan. Ia turut mengucapkan salam bersama yang lain sambil terus menunduk. Pak Randi, guru fisika menjawab dengan lantang. Jantung Nilam seolah berhenti berdetak saat ia mendengar bentakan guru itu tepat di hadapannya yang duduk paling depan dekat pintu.
“Hei, kamu! Di dalam kelas nggak boleh pakai topi! Lepas topinya!”
Nilam meneguk ludah. Ia benar-benar lupa kalau masih memakai topi. Bentakan Pak Randi membuat seisi kelas melihat ke arahnya. Wajahnya terasa panas, seolah ada sinar matahari yang disorotkan langsung padanya. Air mata yang sejak tadi ditahan seketika turun menitik, tak mampu lagi dibendung. Tangannya bergerak kaku melepas topi itu, kemudian meletakkannya di atas meja. Kepalanya menunduk dalam, tak sanggup lagi menjadi pusat perhatian. Astaga! Bodoh sekali ia menangis saat semua mata tertuju padanya!
“Hmm … ya sudah. Pakai lagi topinya!” perintah Pak Randi dengan nada suara yang lebih lunak.
Menahan malu dan perasaan campur aduk, Nilam mengikuti instruksi Pak Randi. Guru itu kembali ke depan kelas, mulai membuka pelajaran dengan memerintahkan ketua kelas mengumpulkan PR. Sementara itu, Nilam melirik Naura yang masih cemberut dengan wajah merah padam. Ia merinding, membayangkan kelas hari ini akan dipenuhi aura dingin. Air matanya menetes lagi, kali ini tak kunjung berhenti.
***
Madam Lies, guru Bahasa Inggris, menutup kelas dengan tugas mewawancarai native speaker secara berpasangan dengan teman sebangku. Dia meminta para murid mengumpulkannya minggu depan. Ketua kelas memimpin salam, disambut semua murid yang bersemangat mengikutinya. Suasana kelas seketika riuh ketika guru itu meninggalkan ruangan.
Kesempatan! Mungkin tugas dari Madam Lies bisa menjadi jembatan untuk mencairkan suasana dengan Naura yang sejak tadi tegang. Sahabatnya itu sama sekali tak mengajaknya bicara, bahkan diam saja sekalipun ia bertanya. Begitu juga saat jam istirahat, Naura meninggalkannya pergi sendirian ke kantin. Sungguh, benar-benar hari yang berat dan Nilam berharap sedikit sapaan bisa meringankan beban.
"Ra, nanti kita buat tugasnya—"
Tak menjawab, Naura mengangkat tasnya dan meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata pun. Nilam kembali menutup mulut yang baru saja terbuka. Sudah lewat enam jam dan Naura masih tak mengacuhkannya. Ia pasti benar-benar marah dan Nilam sungguh merasa bersalah.
Menghela napas panjang, Nilam merapikan buku ke dalam tas. Ia memandang sekeliling dan tampak teman-temannya sedang bersenda gurau. Semua terlihat ceria. Terkecuali dirinya yang sedari tadi berperang dalam pikiran, antara menuruti kemauan Naura atau mempertahankan pendapatnya. Sekarang kepalanya pusing dan ia harus berjalan kaki pulang sendiri.
Berjalan lunglai, ia melewati koridor yang penuh oleh siswa berhamburan keluar kelas. Ia sengaja menghindari jalan saat masuk tadi, khawatir bertemu dengan Kak Orion lagi atau teman-teman sekelasnya yang mengenali topi milik kakak kelas itu. Meski begitu, hanya topi ini yang menjadi penyelamatnya melewati hari suram ini. Bukan hanya untuk menutupi poninya yang bermasalah, tetapi juga menghindari pandangan dari wajahnya yang sembab serta matanya yang merah berair. Besok ia akan mengembalikan topi ini pada pemiliknya dan berterima kasih atas pertolongannya.
Langkah Nilam terhenti saat ia berada di depan pintu ruang OSIS yang setengah terbuka. Jantungnya berdegup kuat, mendapati tempat organisasi yang sudah menorehkan masalah dalam persahabatannya. Kalau saja Naura tak mengajaknya ikut organisasi ini, pasti sekarang mereka pulang bersama. Ataupun, kalau saja ia sedikit berani untuk ikut, tentu tak akan ada masalah di antara mereka.
“Cari siapa, Dek?” tanya seorang perempuan berkacamata yang muncul dari belakang Nilam, membuatnya tersentak dan otomatis berbalik.
Ingatan Nilam otomatis berselancar ke masa orientasi. Kakak kelas ini adalah Kak Nida, koordinator kelasnya dulu. Ia mendesah lega. Paling tidak, walau pasti Kak Nida tak ingat dirinya, ia lebih lembut dibanding pengurus OSIS lain yang terlihat garang. Sekarang ia bingung harus mengatakan apa karena ia memang tak berniat datang ke sini.
“Anu, Kak,” ucap Nilam mengulur waktu sementara otaknya berputar mencari alasan. Baiklah, sudah terlanjur, sekalian saja ia bertanya. “Ehm, itu. Apa … apa boleh mengundurkan diri dari pendaftaran calon pengurus OSIS?”
“Loh? Kenapa mau mengundurkan diri?” Kak Nida mengernyitkan dahi.
Kalau ia menjawab karena Naura yang mendaftarkannya, pasti sahabatnya itu akan terkena masalah. Nilam tak mau itu.
“Ehm, anu, Kak. Saya berubah pikiran,” sahutnya pelan.
Kak Nida tersenyum lembut. “Sebaiknya dicoba dulu aja, Dek. Toh, nanti masih ada seleksi, jadi nggak semua bakal diterima. Lagi pula yang daftar banyak. Hitung-hitung kamu punya pengalaman juga ikut seleksi OSIS,” jelasnya panjang lebar.
“Oh, begitu, ya, Kak,” jawab Nilam ragu. Ia menggigit bibir, bingung mau beralasan apa lagi.
“Kenapa, Da?” Terdengar suara dari balik pintu ruang OSIS. Nilam hafal betul pemiliknya, sosok yang selalu berteriak galak ketika orientasi dulu. Kak Daniel, ketua OSIS.
“Ini, adek ini mau mengundurkan diri dari pendaftaran pengurus OSIS,” ucap Kak Nida menjelaskan. Untuk pertama kalinya, suara lembut kakak kelasnya itu terdengar seperti nyanyian burung kematian.
“Nggak bisa. Yang udah daftar nggak boleh mengundurkan diri! Siapa suruh daftar tapi nggak bertanggung jawab?” sentak Kak Daniel. “Calon pemimpin itu harus bertanggung jawab sama keputusan yang diambil, bukan menyerah sebelum memulai!”.
Nilam menelan ludah. Ia benar-benar berada di ujung tanduk. Kak Daniel memang terkenal tegas dan blak-blakan, tetapi ia tak menyangka akan menjadi targetnya. Sebaiknya ia segera pergi, agar tidak menimbulkan masalah lagi.
“Jangan gitu, Niel. Nanti anak ini makin takut ikut OSIS,” ucap Kak Nida mencairkan suasana. “Nggak apa-apa, ya, Dek! Dicoba dulu aja. Kamu pasti bisa!” sambungnya menyemangati.
Mengangguk kaku, Nilam ingin cepat-cepat menyudahi perkara ini. Ia tak berani menatap dua kakak kelas yang sangat disegani itu. “Iya, Kak. Terima kasih banyak penjelasannya. Saya permisi dulu, Kak Nida, Kak Daniel,” pamitnya seraya berbalik secepat kilat.
Sedetik kemudian, ia mendapati tubuhnya terhuyung ke belakang setelah menabrak sosok tinggi besar. Seperti deja vu, ia menengadah dan tampak Kak Rendra berada tepat di depannya. Lagi?
“Kalau jalan hati-hati!” Suara beratnya terdengar mengintimidasi, seperti tadi pagi.
“I—iya, Kak! Maaf!” pekik Nilam seraya melesat pergi.
Uh, kenapa ia harus bertabrakan dengan Kak Rendra dua kali dalam sehari? Apakah ini pertanda baik atau … buruk?
Makin lama makin seru, Kak. Semangat 💪
Comment on chapter Chapter 10