Koridor ruang musik SMA Nusa Indah dipenuhi banyak orang. Mereka adalah siswa-siswi kelas sepuluh dan sebelas yang sudah mengisi formulir pendaftaran ekskul band. Memang, sekarang bukan awal semester atau tahun ajaran baru yang biasanya digunakan untuk promosi ekskul, tapi Chill Zone melakukannya. Dan, jumlah pendaftarnya ... boom! Fantastic!
Dua hari yang lalu, Hazel dan Mali mencetak setidaknya lima puluh lembar formulir. Mereka kira tidak akan habis, tapi ternyata malah kurang. Kalau begini, ekskul lain pasti iri.
"Mal, Mal, jangan lupa konsumsinya. Bilang ke Juna juga." Dewangga mondar-mandir mengecek semua perlengkapan dan peralatan yang dibutuhkan.
Mali mengacungkan jempol, kemudian berbicara pada Juna melalui telepon yang tersambung earphone di telinganya.
Di kantin, setelah menerima perintah dari Mali, Juna sibuk menghitung banyaknya air mineral dan makanan ringan yang nantinya akan diberikan kepada pendaftar. Antrean yang panjang dan perasaan berdebar jelas membuat mereka lapar, pikirnya.
"Kira-kira tiga dus cukup, nggak?" tanyanya pada Hazel.
Hazel menghitung dengan jari, kemudian mengangguk. "Kayaknya cukup."
Kedua remaja itu lantas keluar dari kantin. Audisi dan regenerasi Chill Zone akan segera dimulai. Mereka harus cepat sebelum para pendaftar mengeluh karena jam yang mulur.
Di depan ruang musik, Melodi ditemani Jayan, berdiri di depan pintu, sekaligus menjaga ketertiban peserta yang makin siang makin antusias. Bagaimana tidak antusias? Mereka—para pendaftar—kan, akan menunjukkan bakat mereka di hadapan Chill Zone. Kalau lolos bisa jadi penerusnya lagi.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan kurang lima pagi. Lima menit lagi, audisi akan resmi dibuka.
"Yuk, Chill Zone masuk ruangan semua. Gue udah minta tolong Mira sama Griss buat ngatur ketertiban peserta."
Setelah mengatakannya, Dewangga menyuruh satu per satu membernya untuk memosisikan diri di balik kursi penguji.
^^^
Sebelumnya, Griss tidak pernah membayangkan dirinya akan turut berperan dalam proses regenerasi band sekolah. Griss bahkan tidak pernah berpikir bahwa dia akan berdiri di sebelah Mira, disaksikan banyak mata, tanpa merasa rendah diri. Griss mulai sadar, bahwa setiap orang memiliki kelebihan yang berbeda-beda. Jadi, daripada insecure, lebih baik banyak-banyak bersyukur.
Tak terasa, tiga jam berlalu. Hanya tersisa dua peserta. Griss meletakkan gulungan kertasnya di atas meja, kemudian dia duduk di bangku panjang yang ada di sana. Tak berselang lama, Mira menyusulnya.
"Minum dulu, Griss." Cewek berambut pirang itu mengulurkan sebotol air mineral.
Dengan senang hati, Griss menerimanya. "Makasih, Kak."
"Sama-sama."
Dua peserta tetakhir telah menyelesaikan audisinya. Semua orang menghela napas lega.
"Griss, Kak Mira. Ayo, masuk!" panggil Hazel. Kepalanya menyembul dari balik pintu.
"Selesai, guys!" seru Dewangga.
Kini, enam member Chill Zone ditambah Mira dan Griss, duduk melingkar di lantai.
"Gila, ya! Padahal jadwal audisi dan regenerasi kita mundur jauh banget. Gue nggak expect sama sekali yang daftar bakal sebanyak ini."
"Mereka berbakat semua lagi.”
Chill Zone memang cuma band yang isinya anak-anak sekolah, tapi bukan berarti mereka nggak punya kualitas. Member yang sudah kelas dua belas, seperti Juna, Jayan, dan Dewangga, yang sebentar lagi akan lulus, jelas memerlukan pengganti agar Chill Zone tidak bubar.
"BTW, Mira sama Griss, thank you so much udah bantuin," Dewangga berterima kasih atas nama teman-temannya.
"My pleasure, Dew. Senang bisa berpartisipasi," balas Mira.
Griss turut mengulum senyumnya. "Aku juga senang bisa membantu," tambahnya, membuat semua orang tersenyum.
"Guys ... sebelum anak kelas dua belas pada lulus, kita foto-foto, yuk!" Tiba-tiba Juna berceletuk. Cowok itu mengeluarkan ponsel dari kantong seragamnya.
“Gue hitung ya.” Mereka kompak meringis saat seseorang mengucapkan kata "cheese". Dalam hitungan kesatu, kamera ponsel Juna berhasil membekukan momen itu. Kemudian, foto itu diunggah ke sosial media Chill Zone dengan tagar #ourschoolmemories seperti judul lagu yang sedang mereka persiapkan sebelum kelulusan.
^^^
Tidak ada salahnya memiliki badan gendut, begitu juga dengan yang kurus. Setelah melewati banyak pergolakan karena masalah berat badan, sekarang Griss mengerti, bahwa bukan kurus atau langsing yang jadi patokan bahagia, tapi kesehatan. Jika tubuh kamu sehat, kamu bisa melakukan apa saja yang kamu mau, bukan?
Sesi konsultasi Griss dengan psikiater kepercayaan keluarganya berakhir setelah beberapa bulan Griss bolak-balik ke sana untuk membantunya pulih dari bulimia. Griss pun sudah tidak bergantung lagi pada dokter gizi setelah dipastikan pola makan sehatnya terjaga. Griss sudah tidak lagi memuntahkan makanan yang dia makan. Dia juga sudah kembali rutin sarapan dan berolahraga. Terkadang, rasa malasnya masih ada. Untungnya, Griss punya Juna yang selalu mendukungnya.
Cowok itu benar-benar menepati ucapannya di kedai es krim waktu itu. Untuk selalu ada buat Griss, untuk membantu Griss sehat kembali seperti sebelum mengenalnya.
Empat bulan berlalu sejak Juna membuat huru-hara di HUT Nusa Indah. Sejak saat itu, status Griss dan Juna berubah, bukan lagi hanya sebatas Teman Makan, tapi juga Teman Kencan. Bahkan, teman-teman Juna dan Griss punya julukan untuk keduanya: Couple Maju Terus Pantang Kurus. Ada-ada saja!
"Tuh, kan, lo pasti bisa kalau lo yakin!" Juna mengguncang lengan Griss yang duduk di sebelahnya.
"Thanks ya, Jun. Berkat bantuan lo." Senyum Griss mengembang, membuat Juna merasa gemas hingga langsung mengucek rambutnya dengan cukup brutal.
"Duh, gemesin banget, sih, pacar aku. Gue juga mau berterima kasih sama lo. Berkat lo, BMI gue jadi normal."
Keduanya tertawa bersama. Selain Griss, hal-hal baik juga mulai menyapa Juna. Cowok itu akhirnya memiliki berat badan yang ideal, tidak lagi sulit makan, bahkan sudah bisa makan sendirian. Selama Griss pemulihan, Juna selalu menemaninya. Hingga tak jarang, Juna juga ikut berkonsultasi. Saran-saran dari psikiater dan dokter gizi Juna terapkan. Sekarang, hidup sehat menjadi pilihannya, menjadi pilihan mereka.
"Thanks ya, Jun," ucap Griss sekali lagi.
Kali ini, Juna tidak bisa menahan diri untuk tidak mencubiti pipi cewek itu dengan gemas, seolah Griss adalah boneka beruang yang hangat dan menggemaskan.
"You're welcome, my Grizzly."