Griss berdiri di depan cermin berlampu dengan kaki gemetar. Berulang kali cewek itu menarik dan mengembuskan napas cukup panjang. Jemarinya yang dingin saling bertautan. Griss merasa gugup. Kurang dari dua jam lagi dia akan naik ke panggung, bersama Juna dan rombongannya, hal yang sama sekali tidak pernah terbayang di kepalanya.
Kemarin, lebih tepatnya jam 10 pagi, tiba-tiba Juna mendatangi Griss di kelasnya. Padahal seharusnya Juna mulai gladi resik untuk HUT Nusa Indah bersama para pengisi acara yang lain. Usut punya usut, Juna dan band-nya membutuhkan bantuan Griss untuk mengganti posisi Melodi sebagai vokalis karena cewek itu sedang sakit.
Tentu saja Griss langsung menolak tawaran itu. Bukan dia tidak berempati, tapi bernyanyi itu bukan keahliannya. Lagi pula Griss tidak biasa tampil di depan banyak orang. Namun, Juna memiliki seribu satu jurus bujuk rayu. Juna tidak menyerah sama sekali meski Griss menolaknya puluhan kali.
Katanya, "Please ... lo tega lihat gue sama temen-temen diketawain karena tampil nggak maksimal?" atau "Lo bakal dikasih trofi teman terbaik kalau mau terima tawaran gue."
Griss, yang lebih meragukan kemampuannya daripada kepercayaan Juna, mencoba untuk tidak termakan rayuan Juna. Tampil di depan banyak orang, kan, bukan hal yang mudah sekali pun memiliki bakat terpendam. Lagian siapa yang ngide ngusulin nama gue, sih?
Saat itu, Griss sudah akan meninggalkan Juna yang terus berusaha membujuknya, tapi kalimat Juna menahan langkahnya.
"Griss, ini kesempatan besar buat lo, buat menunjukkan ke semua orang kalau lo pantas. Ini kesempatan bagus buat lo menunjukkan ke Nindi dan kawan-kawan sebangsanya, kalau lo juga berbakat."
Langkah Griss surut. Nadinya berdenyut. Griss hanyut dalam diamnya. Bukan hanya karena kalimat Juna yang mengena, tapi juga karena cara Juna menyebut namanya.
"Dengan lo tampil bareng Chill Zone, Nindi dan teman-teman satu spesiesnya akan berhenti mengganggu lo. Semua orang juga akan mengapresiasi kemampuan lo. Griss, tanpa lo Chill Zone bukan apa-apa. Please, ya?"
Dengan berbagai macam pertimbangan, akhirnya Griss bersedia menjadi pengganti Melodi sementara. Kata-kata Juna ada benarnya, sekali pun itu cuma rayuan. Griss sudah lelah dipandang sebelah mata oleh orang-orang seperti Nindi. Jika tampil bersama Chill Zone adalah jalan pintasnya, dia bersedia melakukannya.
Bersama Chill Zone, Griss berlatih hingga sore. Bergantian, Dewangga, Hazel, Jayan, Juna, dan Mali membantunya menyesuaikan diri. Untungnya, lagu-lagu yang dipilih adalah lagu-lagu yang familier di telinga Griss. Dan bagian Melodi tidak terlalu sulit untuk dipelajari.
Karenanya, Griss ada di sini sekarang. Di ruang ekskul menjahit yang sudah disulap menjadi ruang makeup.
Sekali lagi Griss menatap pantulannya di cermin. Wajahnya sudah diberi riasan tipis yang membuatnya terlihat segar. Selain makeup, rambut Griss juga sudah di-styling, meski kelihatannya cuma digerai biasa. Penampilan Griss saat ini didukung oleh outfit yang dia pakai, meski cuma kemeja putih, rok rempel selutut, dan dasi—senada dengan outfit yang Juna dan kawan-kawannya kenakan. Ya, pada akhirnya Chill Zone memutuskan untuk tampil apa adanya dengan outfit milik pribadi berkode warna netral, melupakan jaket kulit usulan panitia.
Setelah memastikan riasannya tidak rusak, Griss keluar dari ruang menjahit, bergegas menyusul teman-temannya yang sudah berada di belakang panggung. Sepanjang jalan menuju tempat itu, Griss merasa ada yang salah dengan tubuhnya. Kini, bukan cuma kaki dan tangan yang bergetar, perut Griss juga terasa mulas. Langkah Griss berhenti di depan pintu, menarik napas beberapa kali, lalu mengeluarkannya perlahan. Tepat ketika Griss akan membuka pintu, seseorang terlebih dahulu memutar kenopnya.
"Griss? Baru aja mau gue jemput. Yuk, masuk!" ajak Dewangga. Griss mengekor di belakangnya. "Duduk dulu, Juna masih ngobrol sama Pak Bambang—tukang sound. Jangan gemeter gitu, kalem aja."
Griss mengulas senyum tipis. Lalu duduk. Keringat dingin masih belum berhenti keluar dari telapak tangan Griss, bahkan ketika seseorang menggenggamnya tiba-tiba.
"Jangan tegang."
Griss mendongak, mendapati Juna sedang tersenyum padanya.
"Ini bakal jadi pengalaman yang nggak terlupakan buat lo, buat gue, buat kita," kata Juna, genggamannya di tangan Griss makin menguat.
Tanpa sadar, Griss ikut mengeratkan pegangan. Berharap dengan begitu kecemasannya akan berangsur reda. "Jun, lo mules, nggak?"
"Enggak, sih. Lo mules?"
"Hm. Reaksi tubuh gue waktu grogi emang begitu. Kampungan."
Juna terkekeh pelan sambil menepuk-nepuk punggung tangan Griss menggunakan tangannya yang lain. "Itu normal, kok, gue juga dulu gitu," katanya.
"Tapi, lo tetap bisa manggung?"
"Ya iya, dong! Masa gue ngebiarin rasa takut gue menang? Bukan gue banget," ungkap Juna dengan bangga. Sementara, Griss makin kehilangan nyalinya.
"Tapi gue bukan lo. Gimana kalau gue nggak bisa mengalahkan rasa takut gue? Gue mules banget, Jun. Sumpah." Raut Griss kembali cemas.
"Tenang. Kalau gue bisa, lo juga pasti bisa. Sini, gue tunjukin caranya ngilangin nervous."
Juna berjongkok di depan Griss. "Lo ikutin gue ya."
"Lo mau ngapain?" Griss memicing curiga.
"Napas." Senyum Juna mengembang. Cowok itu mulai menarik napasnya, kemudian melepaskannya perlahan.
Griss mengikutinya, beberapa kali, bersama-sama.
"Gimana?" tanya Juna. "Lebih baik?"
"Hm. Mendingan, dikit."
"Kalau gitu, kita lakuin lagi, biar mendingannya jadi banyak."
Keduanya kembali melakukan ritual penghilang nervous ala Juna, bersama-sama, untuk waktu yang lama.
"Ini namanya ritual satu napas."
^^^
"Gila! Gue nggak nyangka Juna bisa romantis. Their interaction like a sweet dessert." Mali mencoba menahan pekikannya.
Mali, Hazel, Jayan, dan Dewangga sedang mengintip Juna lewat jendela. Tadi, setelah Griss masuk, mereka memutuskan untuk keluar, sengaja memberi ruang untuk Juna.
Dewangga terkekeh melihat kehebohan Mali. "Sikap orang emang bisa berubah tergantung sama siapa dia berinteraksi, Mal. Apalagi kalau sama orang yang disuka," ujarnya.
"Lo tahu dari mana? Lo, kan, jomblo?" Pertanyaan Hazel menyerempet hinaan.
"Jomblo gini gue juga pernah naksir cewek. Emang elo!"
Hazel terkekeh kecil. "Gue mau naksir cewek ah, besok. Siapa tahu gue bisa jadi romantis juga."
"Dunia hampir berakhir kali kalau lo yang pecicilan itu mendadak jadi romantis."
"Sembarangan lo ya."
"Ssttt ... jangan berisik." Jayan langsung menengahi Hazel dan Mali yang saling mengolok. "Kalau Juna sama Griss sadar lagi kita lihatin, bisa gagal rencananya."
"Juna jadi mau eksekusi rencana gilanya?" tanya Mali, mata bobanya membulat. Sebelum hari ini, mereka berlima—bersama Juna—sempat membahas rencana gila yang akan Juna lakukan.
Dewangga mengangguk mewakili Jayan untuk menjawab pertanyaan Mali. "Nggak gila juga, sih, sebenarnya. Kita doakan aja yang terbaik buat dia."
Mali mengangguk-angguk. "Ya udah, kita pura-pura nggak lihat mereka aja biar mereka nggak malu."
"Gue, sih, yakin Juna udah nggak punya malu. Griss tuh yang masih suka malu-malu," ujar Hazel sambil menahan tawa.
Decakan meluncur dari mulut Dewangga. Cowok itu menepuk bahu dua adik kelasnya bergantian untuk menghentikan pertengkaran. "Hazel, Mali, jangan berantem! Mending kita bantu Pak Bambang gulung kabel."
Hazel dan Mali menurut. Keduanya langsung berjalan menuju Pak Bambang yang sedang kerepotan menggulung kabel di belakang panggung.
Jayan dan Dewangga berjalan santai agak berjarak di belakang Mali dan Hazel.
"Jay, lo sama Mira gimana?" tanya Dewangga.
Jayan mengerutkan dahinya. "Kenapa tiba-tiba nanya?"
"Ya cuma nanya. Juna sama Griss yang baru kenal hitungan bulan aja udah kelihatan benih-benih cintanya. Masa, lo sama Mira yang temenan udah tahunan, masih jalan di tempat aja."
Jayan tersenyum kecil sambil menggaruk belakang telinganya yang memerah. Ditariknya napas cukup panjang. Tatapan Jayan menerawang. "Gue nggak nyangka lo ngeh kalau gue kejebak friend zone."
Dewangga menepuk-nepuk bahu Jayan yang dua senti lebih tinggi darinya. "Diungkapin kalau cinta, jangan dipendem aja. Perasaan lo bukan ubi jalar cilembu, kan?"
"Beres, tinggal nunggu timing-nya aja. Lo juga jangan kelamaan jomblo, Pak, apalagi nungguin empoknya Juna. Temannya Griss tuh, si Wina, dia lucu juga. Cocok lah sama lo yang agak kebapak-bapakan."
"Kebapak-bapakan pala lo! Muka gue masih gemesin ya!"
Keduanya terbahak bersama.