Bak jerawat, masalah sering muncul tiba-tiba. Mati satu tumbuh seribu. Kadang yang satu belum mati pun, yang lain sudah tumbuh. Entah bagaimana terjadinya, entah bagaimana menyelesaikannya.
Griss menghela napas panjang. Masalahnya dengan Juna masih belum selesai, tapi hari ini dia sudah bertemu dengan masalah yang lain.
Pagi tadi, saat akan mengembalikan buku ke perpustakaan, Griss bertemu dengan Dewi. Guru olahraga kelas sepuluh dan sebelas itu baru selesai mengajar di kelas bahasa yang letaknya tak begitu jauh dari letak perpustakaan lantai satu. Awalnya, Griss menyapa Dewi hanya untuk menunjukkan sopan santunnya sebagai siswa. Akan tetapi, Dewi malah mengajaknya mengobrol cukup lama.
Mula-mula, Dewi membicarakan kenaikan berat badan Juna yang membuat wanita paruh baya itu merasa senang. Griss juga ikut merasa senang meski dalam hati masih ada yang mengganjal, hubungan Griss dengan Juna, kan, masih belum jelas. Kemudian, obrolan berlanjut membahas hal lain. Dewi mulai menyinggung soal pesta dan pernikahan. Griss kira, Kayra akan segera menikah, ternyata yang dibahas Dewi adalah dirinya sendiri. Guru olahraga perempuan itu akan mengadakan pesta untuk memperingati hari ulang tahun pernikahannya yang ke-27. Mendengar itu, Griss langsung menyalami Dewi karena ikut merasa senang, tapi kesenangannya tidak bertahan lama. Senyum di bibir Griss menghilang entah ke mana setelah Dewi memintanya untuk datang ke pesta itu.
"Banyak makanan, Griss. Beberapa ada yang saya pesan dari mama kamu. Pokoknya kamu harus datang."
Ucapan Dewi bukan terdengar seperti ajakan, tetapi paksaan. Griss tidak bisa berbuat apa-apa selain mengangguk sambil tersenyum. Tentu saja, senyum yang terlihat dipaksakan.
"Argh! Aku nggak mau datang, Ma."
Saat ini, tepatnya jam tiga sore, Griss berada di dapur bersama Indira. Memakai apron yang sama dengan Indira, dengan spatula di tangannya. Griss baru pulang dari sekolah saat Indira berteriak meminta bantuan. Mau tak mau, Griss mengindahkan perintah ibunya daripada dicap sebagai anak durhaka. Kebetulan Griss sedang membutuhkan Indira untuk bercerita soal ajakan Dewi yang tiba-tiba.
Sebelah alis Indira terangkat. "Kenapa, sih?" tanyanya sambil mengecilkan nyala api. Dia sedang memasak cumi asam manis untuk pelanggannya yang memesan dua puluh porsi.
Griss menghentikan kegiatannya. Dia sendiri sedang ditugasi untuk menggoreng perkedel. Griss menatap Indira dengan wajah memelas. "Aku nggak mau datang tanpa Mama," katanya yang langsung dihadiahi pelototan oleh sang mama.
"Nggak bisa gitu, Griss. Kamu harus tetap datang tanpa Mama. Mama minta maaf, tapi emang Mama nggak bisa datang. Katering pesanan Bu Dewi aja Mama pasrahin ke karyawan." Ibu-ibu beranak dua itu berkacak pinggang. Matanya menatap Griss dengan tatapan meminta pemahaman. "Griss, plis, maafin Mama. Hari ini, sampai hari-hari berikutnya, Mama bakal jadi mama-mama supersibuk. Bulan ini bulannya orang hajatan apa gimana, ya? Awal tahun kayaknya cocok buat tunangan gitu, soalnya banyak yang order makanan ke Mama. Kalau bisa, selain maafin Mama hari ini, kamu juga harus sering-sering bantuin Mama."
Griss cemberut. Curhatannya tidak direspons dengan baik. "Kalau gitu aku nggak akan datang."
"Griss, undangan Bu Dewi itu sebuah kehormatan. Masa iya kamu nolak?"
Griss menundukkan kepala, dia tahu hal itu. Sewaktu Dewi mengundangnya, sebenarnya Griss merasa terharu, tapi cewek itu mencoba untuk tidak menunjukkan reaksi yang berlebihan.
Griss mematikan kompornya setelah semua perkedel terangkat. Wajahnya masih sekusut sebelumnya. "Masalahnya, Ma ... kata Bu Dewi, yang diundang itu cuma keluarga mereka."
"Ya bagus, dong. Artinya nggak terlalu ramai. Kamu yang pemalu itu nggak akan dapat masalah besar."
Bahu Griss merosot. "Aduh, Ma. Maksud aku itu, ngapain Bu Dewi ngundang aku? Aku, kan, bukan keluarganya ...."
Bukannya memahami maksud Griss, Indira malah menggoda. Sebelah matanya dikedipkan saat berkata, "Belum aja, Griss. Nanti kalau udah waktunya juga kamu jadi keluarganya."
"Mama! Kenapa ngomong gitu?" seru Griss tidak terima. Cewek berkuncir kuda itu menggembungkan pipinya yang makin hari makin mengempis.
Indira tertawa. "Lho, emangnya Mama salah? Kamu pacaran, kan, sama Juna?"
Jika memiliki riwayat penyakit jantung, Griss yakin dirinya sudah pingsan sekarang. Ucapan Indira yang tanpa bismillah itu membuatnya lupa caranya bernapas. Griss memelototkan matanya, beberapa detik sebelum dia sadar yang dilakukannya itu tidak sopan.
Dengan dahi keriting, gadis itu bertanya. "Kabar dari mana?"
"Wina. Dia bilang kamu lagi marahan sama Juna," jawab Indira. Sewajan cumi asam manisnya sudah dipindahkan ke baskom besar.
"Terus?" Griss menunggu balasan Indira dengan jantung berdebar.
"Ya, yang suka marahan, kan, orang yang punya hubungan. Berarti kamu pacaran sama Juna."
Bahu Griss merosot lebih jauh, begitu juga dengan rahangnya yang nyaris jatuh ke lantai. "Ma, aku nggak marahan sama Juna dan nggak pacaran sama dia, juga sama siapa pun," tegasnya.
Lagi-lagi Indira tertawa. "Duh, anak Mama jomblo, nggak semangat dong kamu sekolahnya?"
"Jangan bahas itu. Mending Mama bantu aku cari alasan biar aku nggak pergi ke acara Bu Dewi." Tidak langsung mendapatkan jawaban dari Indira, Griss memutuskan untuk berjongkok di lantai. Kata teman SD-nya dulu, berjongkok cukup efektif untuk menguraikan kebingungan. Dan, metode itu cukup bekerja pada Griss. Cewek itu langsung berdiri ketika menemukan sebuah ide.
"Aku tahu! Aku bakal bilang aku nggak bisa pergi karena nggak ada yang antar," katanya, matanya berbinar. Namun, hanya sebentar. Belum ada dua detik matanya berpendar, kalimat Indira membuat kepalanya pengar.
"Nggak mempan alasan kamu. Tadi Bu Dewi telepon Mama, bilang kalau kamu bakal dijemput Juna." Indira menepuk-nepuk bahu Griss yang kembali mencair ke lantai. Bibirnya mengembangkan senyum untuk menguatkan. "Mending kamu siap-siap, sana! Cari baju yang pantas buat dipakai ke acara anniversary. Jangan yang terlalu pendek. Terus kamu nggak usah dandan terlalu cantik."
"Lagian aku nggak cantik." Griss melirik mamanya dengan sebal. Meskipun, pada akhirnya, dia menuruti saran Indira.
Sambil mendorong Griss keluar dari dapur untuk bersiap-siap, Indira menyempatkan diri menjawab pertanyaan putri sulungnya. "Semua perempuan itu cantik, Grissilia, termasuk kamu. Udah sana cepetan. Dandan yang pantas biar Juna terkesan."
"Kenapa jadi Juna lagi, sih?" Segera, Griss meninggalkan Indira dan masuk ke kamarnya.
^^^
Dibutuhkan lebih dari dua jam untuk memilih gaun yang layak dipakai ke pesta. Soalnya, kebanyakan isi lemari Griss adalah kaos gombrang dan hoodie, kemeja hanya segelintir, gaun malah hampir tidak ada di benda kotak berukuran besar itu. Untungnya, tubuh Griss sudah lebih langsing daripada sebelumnya, dia jadi bisa meminjam gaun Frissi. Gaun berwarna baby blue sepanjang lutut, berpermukaan mengkilap, dengan sentuhan payet-payet tipis di bagian pinggang. Griss lebih memilih gaun itu daripada gaun hitam panjang berbahan tile, gaun salem berlengan gelembung, atau gaun putih yang lebih mirip seperti kebaya pernikahan. Alasannya karena lebih nggak neko-neko, meski lengan pendek dan bahu yang sedikit terbuka terus mendapatkan protes dari Indira.
Jantung Griss berdebar lebih cepat dari biasanya. Dia sudah berada di pelataran rumah Juna sekarang. Buket bunga mawar putih berada dalam dekapannya. Griss menyempatkan diri membeli di toko bunga sebelum tiba di kediaman Juna. Tentu saja atas inisiatif mamanya. Yang begitu-begitu, Griss mana tahu?
Mobil Juna diparkir di halaman rumah karena akses menuju garasi tertutup oleh mobil-mobil lain. Biar Griss tebak, mobil-mobil itu milik keluarga Juna yang diundang. Griss jadi merasa jiper, mengingat kemungkinan hanya dirinya yang bukan bagian dari keluarga Juna.
"Ngapain bengong?"
Griss mendongak, kegiatan melamumnya terinterupsi. Dia menatap Juna yang tiba-tiba berdiri menjulang di depannya. Cowok itu memakai kemeja biru pudar, dibalut dengan jas semi formal yang lengannya disisingkan sesiku. Sekilas, Juna dan Griss tampak seperti memakai baju couple.
Buru-buru Griss menggelengkan kepala, mengusir pemikiran konyol itu dari otaknya. Kemudian, cewek itu berjalan mengekori Juna yang terlihat jauh lebih dingin dari biasanya. Mereka memang masih belum berbaikan sejak kejadian di lapangan basket waktu itu, ditambah lagi dengan pertengkaran mereka di balik tangga.
Griss menghela napas tak kentara. Jari-jari tangannya mulai basah karena merasa cemas.
Langkah-langkah panjang Juna mulai memasuki rumahnya. Tak lama setelah pintu terbuka, Dewi langsung menyambut kedatangan Griss dengan hangat. Wanita bergaun hijau tosca itu memeluk Griss, serta mengucapkan terima kasih atas mawar putih yang diberikan untuknya.
"Kamu datang aja saya sudah senang. Terima kasih banyak, Grissilia." Dewi menerima buket mawar putih dari Griss dengan suka cita.
"Jadi, ini yang namanya Grizzly?" Seseorang menceletuk setelah Dewi melepaskan Griss dari dekapannya. Pemuda yang terlihat sedikit lebih tua dari Juna itu mengulurkan tangannya di depan Griss. "Alfin, sepupu Juna," katanya.
Kikuk, Griss menjabat tangan Alfin. "Grissilia, teman satu sekolah Juna."
Alfin balas tersenyum. "Gemas gini, kok, kamu mau aja dipanggil Grizzly sama Juna?"
Pertanyaan itu membuat Griss kembali mengulum senyumnya. Bukan baru pertama Griss mendengar pertanyaan serupa, tapi ini jadi kali pertama Juna tidak menjawab pertanyaan itu untuk mewakilinya. Melalui ekor mata, Griss bisa melihat raut datar Juna yang masih berada di sampingnya. Padahal biasanya cowok itu luar biasa aktifnya.
Diam-diam Griss merasa bersalah dan ingin pulang, tapi Griss tidak bisa berbuat apa-apa karena sudah berada di sana. Sepertinya, malam itu akan menjadi malam yang panjang, juga pesta makan yang tidak akan cepat selesai.