Bangun sepagi ini, cukup membuatku merasa nyaman. Seperti biasa, aku duduk di kursi teras depan rumahku. Yang kulakukan hanya sekedar duduk. Sesekali aku tersenyum melihat keindahan yang telah Tuhan ciptakan. Memasuki bulan Desember adalah hari yang paling kunantikan. Waktu saat aku dapat melihat satu dari jutaan keindahan yang telah Tuhan ciptakan.
Aku hanya dapat melihatnya sekali dalam setahun. Begitulah kiranya. Hanya di bulan ini. Dan itu pun hanya bertahan selama tiga puluh hari. Sehingga sangat sulit bagiku untuk melewati momen berharga ini.
Aroma hujan masih membekas di tanah sekitar halaman rumahku. Aku masih enggan untuk beranjak dari tempat dudukku sekarang. Aku larut dalam rayuan embun pagi. Musim dingin sudah berlalu. Kini tinggal menanti datangnya musim semi.
Asap-asap yang mengepul dari atap rumah, sudah tak ada lagi. Rasanya begitu cepat berlalu. Kenapa bisa begitu? Entahlah. Aku pun tak mengerti. Mungkin, ini yang sering disebut-sebut orang sebagai surga di pergantian waktu.
Kututup hidungku dengan syal merah yang tergulung di leherku. Suhu udara yang dingin masih menyelimuti pagi, di kota ini. Kini kakiku mulai melangkah ke arah jalanan yang masih basah oleh hujan tadi malam. Nampak sepanjang tepi jalan, berjajar rapi pepohonan.
Kuncup-kuncup sakura merah sedang berusaha membebaskan diri dari belenggu kelopak. Ini bukan negeri Jepang. Dan memang, sakura merah hanya sebuah julukan dari pepohonan yang berjajar di sepanjang jalan ini.
Sebuah suara terdengar seperti memanggilku. Aku terhenti. Sepertinya aku mengenal suara itu. Iya, itu Caroline ibuku.
“Cathrine!”
Aku berbalik arah dan mendapati seseorang tengah melihat ke arahku. Aku berjalan mendekatinya. Sekarang aku berada tepat tiga langkah darinya. Ia tersenyum sambil memandangiku. Kemudian, ia menyerahkan sebuah kotak yang sengaja dibungkusnya dengan kain. Tak lupa juga, ia membawa sebuah jaket tebal berwarna merah.
“Jangan bilang lagi, jika kau melupakan ini.” Ujarnya sambil menyodorkan jaket itu.
“Memang sengaja tidak kubawa, kau pun sudah tahu itu. Untuk apa membawakannya padaku? Bukankah musim dingin sudah berlalu? Lagipula, tumpukan salju putih sudah mulai mencair.”
Ia tak langsung menjawab. Namun, malah memandangiku cukup lama.
“Sudahlah.” Ucapnya lirih.
“Tak apa. Sudah terlambat.” kataku sambil memalingkan badan dan kembali melangkah menyusuri jalan.
Sedikit rasa sedih terselip di dalam hatiku jika aku harus berbuat seperti ini. Bagaimana lagi? Aku sudah terlanjur membenci hidupku, membenci diriku sendiri dan membenci semua tentang diriku. Semuanya. Rasanya, aku sudah menyerah dengan hidup ini. Persis seperti embun. Tidak butuh waktu lama untuk dapat bertahan. Semuanya akan hilang saat mentari datang.
Berawal dari mana cerita ini? Aku pun tak tahu.
Kuceritakan kisah ini kembali. Kisah tentangku. Berawal dari sebuah persahabatan. Elycia, begitulah namanya.
Kami sudah besahabat cukup lama. Hampir tujuh tahun kami bersama. Selama itu, kami saling mengenal dan bahkan mengerti satu sama lain. Melakukan segala sesuatunya hampir bersama-sama. Seperti yang tengah kulakukan saat ini. Berjalan-jalan di setiap awal musim semi. Rasanya, seperti benar-benar bersamanya lagi. Meskipun ini hanya sebuah ilusi.
Jika mimpi buruk itu tidak pernah terjadi, mungkin semuanya tidak akan seperti ini. Tepatnya, hal buruk itu terjadi dua tahun yang lalu. Saat aku tengah menyusuri jalan seperti ini. Tentu saja aku masih bersamanya.
“Cathrine, coba kau lihat itu!” Ucap Elycia sambil menunjuk ke satu arah. Deretan bunga yang berjejer tengah merekah indah.
“Sangat indah. Tapi sebelumnya, aku tidak pernah melihatnya.”
“Karena itu, aku ingin menunjukkannya. Bagaimana menurutmu?”
“Nampak seperti duri. Dan sepertinya, bunga ini menggambarkan satu hal. Kebahagiaan dan sebuah harapan.”
“Tepat sekali. Ini adalah bunga Desember. Bunga yang tumbuh saat orang memulai harapan. Jika harapan itu tercapai, tentu orang akan bahagia. Karena tumbuh di awal musim semi, maka kebanyakan orang menyebutnya sebagai bunga harapan. Harapan di musim semi.” Jelasnya.
“Lalu kenapa bunga ini dinamai bunga Desember ?”
“Itu karena bunga ini hanya tumbuh di bulan Desember saja.”
“Menarik. Aku ingin menanamnya di taman depan rumahku. Mungkin, jika aku menanamnya di sana, bunga itu bisa bertahan agak lama.”
“Baiklah, tunggu di sini!”
Ia berlalu meninggalkanku yang masih berdiri di tepi jalan. Kemudian ia kembali dengan setangkai bunga yang tengah merekah. Aku melangkah ke depan. Aku berusaha menghampirinya tanpa memperdulikan keadaan di sekitarku. Tiba-tiba ponselku berdering. Aku berhenti, mencoba mencari sumber suara itu dari dalam tasku. Aku sangat terburu-buru. Tanpa sadar, ponselku terjatuh. Aku berusaha membungkuk untuk mengambilnya. Aku tidak sadar jika aku sedang dalam bahaya. Sebuah mobil tengah meluncur cepat ke arahku. Aku baru sadar setelah dua detik melihatnya.
Mobil itu berada tepat satu meter dari tempatku berdiri. Tubuhku kaku. Tidak selangkah pun aku bisa menghindar. Rasa takut mulai melanda diriku. Memejamkan mata adalah sebuah pelarian bagiku.
Aku pikir, aku akan mati. Tapi ternyata tidak. Tuhan berkehendak lain. Saat itu, aku merasa seseorang tengah mendorong tubuhku. Hingga aku terpelanting ke tepi jalan. Samar-samar, kudengar suara itu sedang memanggilku.
“Cathriiiiine! ”
Aku menoleh ke arahnya. Kudapati seseorang tengah terkapar di tengah jalan. Aku berusaha memastikannya kembali. Aku merangkak ke tengah jalan dengan lutut kiriku yang tersayat.
Tanganku berusaha meraih tangannya yang tengah memegang sesuatu. Dengan susah payah aku meraihnya. Orang itu berusaha mengatakan sesuatu dari dalam mulutnya. Namun, waktu memang tak ada jeda. Ia terburu memejamkan mata. Aku berusaha untuk bangkit dan merangkul tubuhnya. Kulihat kepalanya telah basah oleh tinta berwarna merah pekat. Lidahku kelu. Tak bisa berkata-kata. Aku hanya bisa merangkul dan menangis sejadi-jadinya.
Melihat kematian orang adalah sebuah mimpi buruk bagiku. Apalagi jika orang itu adalah orang yang sangat berarti dan kita sayangi. Rasanya, bayangan buram itu tak akan pernah bisa pergi.
Tapi sudahlah, bagaimana mulut bisa berkata jika semua telah terjadi? Hanya sebuah penyesalan yang tak berarti.
***
Hari ini aku sudah cukup lelah berjalan-jalan. Melewati sisa hidup bersama sebuah penyesalan yang sia-sia. Namun, aku bahagia karena aku telah mendapatkan hukuman yang pantas dari Tuhan.
Satu bulan yang lalu, aku divonis oleh dokter jika aku mengidap kanker, penyakit mematikan. Penyakit itu, sudah menjalar hampir setengah dari tubuhku. Rasanya sangat sulit. Kemungkian untuk sembuh hampir tidak ada. Namun, kembali lagi. Aku bahagia. Karena setidaknya Tuhan telah berlaku adil.
Kukeluarkan kembali kotak yang dari tadi kubawa. Di dalamnya tersimpan setangkai bunga yang sudah layu dan berwarna cokelat kehitaman. Kubuka kotak itu secara perlahan. Sangat berat jika aku harus melihatnya kembali. Tapi jika aku tidak melihatnya, aku tidak akan pernah bisa melihatnya lagi.
“Terima kasih. Kau telah bersamaku selama ini. Maaf jika aku yang telah membuatmu layu. Sekali lagi maaf jika aku yang membuatmu tiada.”
Segelintir bening putih mengalir dari kelopak mataku. Disusul dengan tinta merah yang kembali mengucur dari hidungku. Aku limbung.
The End