Loading...
Logo TinLit
Read Story - 7°49′S 112°0′E: Titik Nol dari Sebuah Awal yang Besar
MENU
About Us  

"Ra, kenapa hidupku harus seperti ini? Kenapa harus kurasakan betapa pahitnya hidup ini? Kenapa mereka sekejam itu?" tanyaku sambil menangis.

Aku terus melontarkan pertanyaan walaupun sahabat terbaikku tidak menjawab. Zahra langsung mendekapku yang masih berlinang air mata. Dia mengusap punggungku untuk memberikan ketenangan. Aku bersyukur bahwa pada saat terpuruk seperti ini, Zahra selalu ada. Tidak terbayangkan jika harus kehilangan Zahra juga.

"Tenangkan dirimu, Dhi. Ada aku disini," hibur Zahra menenangkanku.

"Kamu gak akan ninggalin aku juga, kan?" tanyaku sambil menatap wajahnya. 

"Sudahlah, Dhi. Kamu harus tenang dulu," pintanya. Sayangnya, jawabannya membuatku tidak puas.

"Kalau kamu ninggalin aku, siapa lagi yang kumiliki sekarang?" tanyaku putus asa. 

Zahra belum bicara lagi, masih terus memeluk sambil memberi ketenangan. 

"Aku yakin semua cobaan yang kamu alami karena kamu adalah wanita tangguh dan hebat, Dhi. Sejak dulu aku selalu kagum padamu. Dan jangan pernah merasa sendirian. Ada aku yang selalu menemanimu dalam segala kondisi. Kamu sudah kami anggap bagian dari keluargaku. Jadi, jangan pernah merasa sendirian, ya," tuturnya sangat menentramkan.

Aku kembali menitikkan air mata. 

"Udah, jangan sedih lagi, ya. Ayok makan. Sudah hampir seminggu kamu makan gak teratur, Dhi. Mama sama yang lain sudah nunggu di meja makan, lho," bujuknya lagi. 

Tentunya, dengan kondisiku seperti ini membuatku enggan keluar dan bertemu dengan yang lain. Saat ini aku sedang pada kondisi yang tidak memungkinkan untuk bertemu orang lain, dan Zahra sangat memahami.

"Ya udah kalau gitu aku bawakan aja makananya ke sini, ya!" tawar Zahra yang malah membuatku makin tidak enak.

"Jangan, Ra. Aku gak enak hati. Kalian terlalu memanjakanku. Lebih baik aku ikut makan bersama aja," jawabku langsung berubah pikiran. 

"Kalau gitu, ayok!" ujarnya dengan senang hati. 

Aku bergegas bangkit dan membetulkan jilbabku, siap menuju ruang makan bersama keluarga yang sangat memedulikanku. 

** * 

Tiga hari lalu, Zahra datang ke rumah menjemputku. Firasatnya tentangku sangat kuat. Saat itu, kondisiku sedang sangat tidak baik. Untuk mengetahui keadaanku, dia nekat sampai naik dari jendela kamar ketika aku tidak membuka pintu. 

Kemudian, tanpa kuminta, Zahra sigap mengemasi barang-barang dan semua keperluanku. Bahkan, aku belum sempat pamit. Dia juga mungkin enggan untuk berbicara kepada semua orang di rumah. 

Setelah tinggal bersama Zahra dan keluarganya, aku baik-baik saja. Semoga dengan Zahra akan mengobati luka hati yang tercabik-cabik akibat ulah Mawar yang didukung oleh Emak, kak Nisa dan Bang Munar. 

***

"Kamu gak apa, Dhi?" Tanya kak Renata saat aku tiba di toko. Semua pasang mata menatapku, aku yakin mereka sudah tahu apa yang terjadi, entah siapa yang mengetahui duluan, aku sama sekali tidak peduli.

"Aku baik-baik saja, kak," jawabku mencoba memaksakan senyum.

"Kalau memang kurang enak badan, gak apa nambah libur, loh. Dari pada makin sakit nanti," ujar yang lain.

Aku menatap mereka satu per satu, terkadang dalam kondisi terpuruk, melihat orang yang peduli sudah membuatku merasa terhibur.

"Aku baik-baik saja. Ya sudah, ayok kita kembali kerja."

Bukannya mengiyakan ajakanku mereka malah menarik tanganku agar duduk di bangku dan mereka semua menatapku, bermaksud mengintrogasi. Aku tidak punya pilihan lain, bersiap dengan segala pertanyaan.

"Jujur sama kita, kamu tidak baik-baik saja, Dhi?" kata Lastri, walaupun dia terkenal bar-bar namun sangat perhatian.

Sekarang aku tidak bisa memaksakan senyum lagi, langsung mengangguk dan mencoba menahan air mata agar tidak jatuh.

"Serius, aku benar-benar tidak menyangka kalau bang Adnan sejahat itu, apalagi sejak dulu aku sangat kagum padanya," ujar kak Lala. Dulu sempat beredar kabar kalau mereka dekat bukan sekedar rekan kerja.

"Ini bukan salahnya, kok. Mungkin belum berjodoh," imbuhku tidak ingin menyalahkan siapa pun.

"Lagian nih, ya. Aku greget banget sama adikmu, aku bisa melihat perjuanganmu yang mengorbankan apa saja demi kuliahnya, sekarang dia malah makin menginjak kamu, benar-benar tidak tau terima kasih," rutuk kak Lala, diantara semua karyawan hanya kak Lala yang benar-benar paham kondisiku, sejak dulu dia yang tulus mendengar ceritaku.

Tidak ingin memperpanjang pembahasan, aku izin pamit ke taman untuk menenangkan diri sejenak. Duduk di tengah kesendirian membuatku ingin kembali menangis, rasanya belum sembuh sakit saat mendengar Mawar menghinaku saat wisudanya, ditambah lagi Bang Adnan yang berpaling padanya hingga ucapan bang Munar dan Emak yang menyakitkan hati membuatku menjadi sosok yang begitu lemah tidak berdaya. Aku sadar diri sangat berbeda sekali dengan Mawar, dari segala segi apa pun aku selalu kalah dengannya. 

Aku kembali mengusap air mata, tidak menghiraukan lagi jika mataku harus bengkak, aku hanya ingin bebanku sedikit berkurang jika selesai menangis.

"Tante, kenapa menangis?" Aku terperanjat ketika mendengar suara anak kecil, aku menoleh padanya, dia adalah cucunya pak Rafli, pemilik The Hans bakery.

"Eh, Mala. Tante gak nangis, cuma kelilipan, kok," balasku membela diri.

"Kata Mama, gak boleh sering menangis. Om ku juga bilang jangan terbiasa mengeluarkan air mata, Tante." Aku menatapnya yang sekarang sudah duduk di sampingku, tampak memegang kresek hitam.

"Kenapa gitu?" Tanyaku penasaran.

"Mama bilang kalau sering nangis nanti kota ini banjir. Soalnya saat kami di Jakarta setiap aku menangis selalu banjir, makanya Mama marah kalau aku nangis," ujarnya polos. Aku tertawa mendengar ucapan Mala. Sedikit terhibur dengan kedatangan anak menggemaskan itu.

"Mala tinggal di Jakarta?"

Yang ditanya langsung mengangguk.

"Iya Tante. Kami datang ke sini karena kakek yang nyuruh. Katanya ada kue yang enak di toko makanya Mala mau datang. Eh beneran ada kue enak, Mala makin senang datang ke sini.” Mala mengambil sesuatu dari kreseknya. Itu adalah kue buatanku kemarin.

"Mala suka kue itu?" 

Mala langsung mengangguk-angguk cepat. 

"Suka banget Tante. Ini Tante yang buat, kan?" 

Aku mengangguk sambil tersenyum padanya.

"Nanti kalau besar, Mala pengen kayak Tante bisa buat kue."

"Mala mau Tante ajarin?"

Pertanyaanku disambut mata berbinar dan tersenyum lebar.

"Mau banget Tante."

"Yaudah, ayok!"

Kami bangkit bersamaan. Aku mengandeng tangan mungilnya menuju dapur. Semua karyawan tampak sibuk dengan aktivitas masing-masing. Aku menyuruhnya agar duduk saat aku mempersiapkan bahan-bahan membuat kue. Setelah kami berkutat dengan adonan, mengaduk-aduknya dengan riang. Sesekali Mala iseng mengoleskan sisa tepung di wajahku. Melihat wajahku yang penuh tepung, Mala tertawa geli. Tidak tinggal diam, aku juga melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan. Aku mengoleskan tepung di wajahnya. Jadilah aksi kami saling lempar tepung.

Mala terlihat begitu riang, aku dapat menghilangkan kesedihan yang selama ini kurasakan. Dia anak yang ceria dan periang, siapa saja yang dekat dengannya pasti akan mendapatkan aura positifnya, bahkan jika dia datang ke toko selalu menjadi rebutan karyawan karena anak itu memang menggemaskan.

"Tunggu ya, dek. Tante masukkan ke oven dulu."

"Iya, Tante. Mala gak sabar pengen makannya"

"Tentu, Sayang."

Setelah memasukkan kue ke oven, aku kembali mendekati Mala yang sibuk dengan bejana di hadapannya. Dia meminta agar mengaduk adonan walau hanya sekedar mainan.

"Nanti kalau Mala udah besar, Mala pengen jadi kiko."

Aku mencerna ucapannya seperti ada yang mengganjal, lantas aku tertawa menyadari satu hal.

"Koki, Dek," koreksiku sambil menahan tawa. Dia hanya cengengesan membuat pipi tembemnya makin mengembang. Rasanya ingin kuuyel-uyel.

"Nah, itu maksud Mala."

"Astaghfirullah." kami yang tadinya sibuk mengobrol dikejutkan dengan kedatangan seseorang menuju dapur. Orang itu tampak kaget melihat kondisi kami, lebih tepatnya kondisi Mala yang sangat berantakan bahkan wajahnya juga sudah sangat putih dipenuhi tepung.

"Om!" Teriakan Mala menyadarkanku bahwa yang datang itu adalah anaknya pak Rafli, Om nya Mala.

"Kalian kenapa?" Masih dengan raut terkejut, perlahan mendekati Mala.

"Mala lagi buat kue sama Tante," ujarnya polos masih tampak asyik mengaduk.

"Kenapa berantakan begini?" 

"Gak apa-apa, Om. Mala senang."

"Mama nyariin, katanya mau jalan-jalan," ujar pria itu.  Namun Mala tidak berekasi apa pun, dia semakin heboh dengan adonan ditangannya.

Bang Randi itulah yang kutahu nama beliau, Anak pertama pak Rafli. Tatapannya dingin. Sejak awal melihatnya, aku sudah menduga kalau dia adalah tipe orang cuek dan datar, bahkan tidak pernah tersenyum. Dulu aku salah mengira kalau dia adalah ayahnya Mala, ternyata putra pertama pak Rafli, kak Renata adalah mamanya Mala atau adiknya bang Randi.

Tidak ingin situasi bertambah kacau, aku segera mengajak Mala untuk mencuci tangan. Bang Rendi memang tidak berbicara, namun aku peka dengan maksudnya.

"Dek, buat kuenya kapan-kapan lagi, ya. Ayok cuci tangan!"

"Tapi Mala masih mau buat kue Tante" tolak Mala enggan beranjak.

"Kapan-kapan saja kita bisa buat, Dek. Tuh Mama ngajak jalan-jalan," bujukku kemudian.

"Mala mau makan kue, Tante."

"Habis cuci tangan kita makan kuenya," akhirnya dia mau juga setelah dibujuk. Aku membawanya ke kamar mandi, mencuci tangan dan wajahnya, sekaligus pakaiannya kurapikan.

"Nah, ayok, Dek. Mau makan kue, kan?" Dia mengangguk dengan semangat. Aku mengandeng tangannya keluar dari kamar mandi. Menuju oven. sementara Mala mendekati Om nya yang masih duduk di tempat tadi.

"Nah, ini kuenya. Silahkan dimakan." Aku menyodorkan kue yang kubuat tadi ke depan Mala, dia segera mengambil lalu melahapnya. Saat aku hendak menawarkan pada bang Randi, sudah terlebih dahulu Mala menyuapi Om nya.

"Enak, kan, om?" Bang Randi yang masih mengunyah hanya mengangguk. Pria berbadan kekar itu memang jarang bersuara.

Aku kembali sibuk bekerja, membiarkan Mala bersama Omnya. Mungkin harus pergi juga setelag makan kue.

"Tante kerja dulu. Kuenya dihabiskan, ya, Cantik!"

"Iya, Tante. Kapan-kapan kita buat kue lagi, ya."

Aku hanya tersenyum sambil menuju kasir, ada beberapa pelanggan yang hendak membayar.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Spektrum Amalia
1436      989     1     
Fantasy
Amalia hidup dalam dunia yang sunyi bukan karena ia tak ingin bicara, tapi karena setiap emosi orang lain muncul begitu nyata di matanya : sebagai warna, bentuk, dan kadang suara yang menghantui. Sebagai mahasiswi seni yang hidup dari beasiswa dan kenangan kelabu, Amalia mencoba bertahan. Sampai suatu hari, ia terlibat dalam proyek rahasia kampus yang mengubah cara pandangnya terhadap diri sendi...
Catatan Takdirku
2622      1366     6     
Humor
Seorang pemuda yang menjaladi hidupnya dengan santai, terlalu santai. Mengira semuanya akan baik-baik saja, ia mengambil keputusan sembarangan, tanpa pertimbangan dan rencana. sampai suatu hari dirinya terbangun di masa depan ketika dia sudah dewasa. Ternyata masa depan yang ia kira akan baik-baik saja hanya dengan menjalaninya berbeda jauh dari dugaannya. Ia terbangun sebegai pengamen. Dan i...
Manusia Air Mata
2944      1672     4     
Romance
Jika air mata berbentuk manusia, maka dia adalah Mawar Dwi Atmaja. Dan jika bahagia memang menjadi mimpinya, maka Arjun Febryan selalu berusaha mengupayakan untuknya. Pertemuan Mawar dan Arjun jauh dari kata romantis. Mawar sebagai mahasiswa semester tua yang sedang bimbingan skripsi dimarahi habis-habisan oleh Arjun selaku komisi disiplin karena salah mengira Mawar sebagai maba yang telat. ...
Smitten Ghost
472      376     3     
Romance
Revel benci dirinya sendiri. Dia dikutuk sepanjang hidupnya karena memiliki penglihatan yang membuatnya bisa melihat hal-hal tak kasatmata. Hal itu membuatnya lebih sering menyindiri dan menjadi pribadi yang anti-sosial. Satu hari, Revel bertemu dengan arwah cewek yang centil, berisik, dan cerewet bernama Joy yang membuat hidup Revel jungkir-balik.
RUANGKASA
56      51     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...
Layar Surya
4461      2036     17     
Romance
Lokasi tersembunyi: panggung auditorium SMA Surya Cendekia di saat musim liburan, atau saat jam bimbel palsu. Pemeran: sejumlah remaja yang berkutat dengan ekspektasi, terutama Soya yang gagal memenuhi janji kepada orang tuanya! Gara-gara ini, Soya dipaksa mengabdikan seluruh waktunya untuk belajar. Namun, Teater Layar Surya justru menculiknya untuk menjadi peserta terakhir demi kuota ikut lomb...
I Found Myself
108      97     0     
Romance
Kate Diana Elizabeth memiliki seorang kekasih bernama George Hanry Phoenix. Kate harus terus mengerti apapun kondisi Hanry, harus memahami setiap kekurangan milik Hanry, dengan segala sikap Egois Hanry. Bahkan, Kate merasa Hanry tidak benar-benar mencintai Kate. Apa Kate akan terus mempertahankan Hanry?
Langkah Pulang
1334      784     7     
Inspirational
Karina terbiasa menyenangkan semua orangkecuali dirinya sendiri. Terkurung dalam ambisi keluarga dan bayang-bayang masa lalu, ia terjatuh dalam cinta yang salah dan kehilangan arah. Saat semuanya runtuh, ia memilih pergi bukan untuk lari, tapi untuk mencari. Di kota yang asing, dengan hati yang rapuh, Karina menemukan cahaya. Bukan dari orang lain, tapi dari dalam dirinya sendiri. Dan dari Tuh...
Sweet Like Bubble Gum
3118      1722     2     
Romance
Selama ini Sora tahu Rai bermain kucing-kucingan dengannya. Dengan Sora sebagai si pengejar dan Rai yang bersembunyi. Alasan Rai yang menjauh dan bersembunyi darinya adalah teka-teki yang harus segera dia pecahkan. Mendekati Rai adalah misinya agar Rai membuka mulut dan memberikan alasan mengapa bersembunyi dan menjauhinya. Rai begitu percaya diri bahwa dirinya tak akan pernah tertangkap oleh ...
Hello, Me (30)
25846      2835     6     
Inspirational
Di usia tiga puluh tahun, Nara berhenti sejenak. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena tak lagi tahu ke mana arah pulang. Mimpinya pernah besar, tapi dunia memeluknya dengan sunyi: gagal ini, tertunda itu, diam-diam lupa bagaimana rasanya menjadi diri sendiri, dan kehilangan arah di jalan yang katanya "dewasa". Hingga sebuah jurnal lama membuka kembali pintu kecil dalam dirinya yang pern...