Sekumpulan luka itu dipeluk dengan tenang, menerima takdir yang datang seperti hujan yang menghapus jejak-jejak lama. Setiap tetesnya menyentuh, bukan untuk melukai, tetapi untuk membersihkan. Dalam keheningan, luka-luka itu terikat pada waktu, menjadi bagian dari perjalanan yang tak bisa dihindari. Takdir, meski pahit, diterima dengan lapang, karena setiap luka yang tertinggal adalah pelajaran yang memperdalam jiwa, dan dalam setiap kesakitan, terdapat ruang untuk tumbuh.
Trauma dan luka yang menggores sejak kecil ternyata tak mudah hilang, meski sudah bertemu dengan penawarnya. Haikal tahu, penyembuhan butuh waktu. Ia hanya perlu belajar membuka hati, menerima takdir dengan tangan terbuka, meski terkadang rasa sakit itu masih datang, mengingatkan akan masa lalu yang tak mudah dilupakan. Namun, sedikit demi sedikit, ia berusaha melepaskan dan belajar untuk lebih kuat.
Sore itu, setelah mendengarkan kata-kata Aira, Haikal akhirnya memutuskan untuk menemui sang Ibu. Apa pun konsekuensi yang akan ia terima nanti, ia sudah meneguhkan hatinya. Seperti yang Aira bilang, ia hanya perlu memberi sedikit ruang di hatinya untuk mendengar kebenaran yang akan diungkapkan sang Ibu. Meski perasaan campur aduk—antara keraguan dan harapan—Haikal tahu ini adalah langkah yang harus ia ambil, untuk akhirnya menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini mengganggu.
Setelah memastikan nama ibunya terdaftar sebagai pasien, Haikal melangkah menuju ruang rawat yang menjadi tempat terakhir keduanya bertemu. Dari luar, terlihat seorang perempuan yang tak asing tengah menyuapi sang ibu. Haikal menarik napas dalam-dalam, lalu membuka pintu perlahan.
“Bibi, kemana saja?” Suaranya tegas, namun ada rasa kecewa yang tak tertahankan. Perempuan yang ada di dalam ruangan itu terkejut, seolah tak percaya jika Haikal bisa menemukannya di sini.
“Haikal… bibi bisa jelasin,” ujar bi Atmi dengan suara bergetar, mencoba meredakan ketegangan yang tiba-tiba muncul.
“Aku udah nyari bibi ke mana-mana. Kenapa bibi pergi begitu aja setelah meminjam uang dari Ayah?” Haikal hampir tak bisa menahan amarah yang menyentuh setiap kata-katanya. Matanya menatap tajam, penuh pertanyaan yang belum terjawab.
“Bibi janji, setelah bibi dapat upah, bibi pasti bayar sama beliau. Maafin bibi, Haikal,” jawab bibi dengan suara gemetar, memohon pengertian.
“Ayah udah nggak ada, Bi…” Kalimat itu seperti pukulan yang memecah keheningan. Haikal tak bisa lagi menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya.
Mendengar ucapan keponakannya itu, bi Atmi tertegun, seolah ada beban berat yang menekan dadanya. Rasa bersalahnya datang begitu mendalam, seperti menghimpit setiap napasnya. Ia sadar, betapa ia telah meminjam uang dari Pak Brata dan pergi begitu saja tanpa tanggung jawab. Padahal, selama ini Pak Brata lah yang telah merawat Haikal, menggantikan peran orangtua yang sudah lama tidak ada, serta menjadi sosok yang tak tergantikan dalam hidup mereka. Rumah sakit ini, tempat yang penuh kenangan, seakan menjadi saksi bisu betapa Pak Brata selalu ada, menjaga Haikal meski banyak hal yang tak pernah terucap.
“Di dalam itu beneran ibu, kan Bi? Haikal mau ketemu Ibu,” suara Haikal penuh harap, namun ada keraguan yang menyusup di matanya.
Bi Atmi terdiam sejenak, tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa mengangguk pelan, merasakan beban yang semakin berat di dadanya. Tanpa bisa menghalangi, akhirnya ia meminta Haikal untuk menunggu di taman. Sementara itu, Bi Atmi berjalan menuju kamar, membawa kakaknya yang baru saja hendak tertidur.
“Kak Ratih, Haikal sudah tahu. Sekarang dia menunggu kamu di taman.”
Mendengar itu, Ratih menutup matanya, mencoba menenangkan diri. Perasaan yang campur aduk antara khawatir dan takut mulai menggulung di dadanya. Namun, ia tahu, tak ada lagi yang bisa disembunyikan. Saat ini, semua harus dihadapi.
Di bangku taman, Haikal duduk membelakangi sosok perempuan yang perlahan mendekat, berjalan dengan bantuan tongkat yang menopang tubuhnya. Bi Atmi berdiri agak jauh, hanya mengamati dari kejauhan, memilih untuk tidak mengganggu momen penting antara ibu dan anak yang sudah lama terpisah itu.
“Ikal…” Suara itu, lembut dan penuh harap, menyentuh telinga Haikal.
Segera, Haikal berdiri dari bangkunya, matanya terfokus pada sosok yang telah lama ia rindukan. Begitu mendengar panggilan itu, semua amarah dan kekesalan yang selama ini menggunung di dalam dadanya seolah luruh begitu saja. Rindu yang lebih besar, jauh lebih kuat, mengalahkan segala perasaan lainnya.
“Maafin ibu,” Ratih menangis, terduduk di hadapan Haikal dengan penuh sesal. “Maafin ibu karena sudah ninggalin kamu dan Agra. Maafin ibu karena sudah membuatmu kehilangan banyak kebahagiaan. Ibu hanya nggak mau kamu terluka, kalau tahu sisa hidup ibu nggak lama lagi.”
“Jika memang kenyataannya begitu, kenapa ibu malah nyuruh Bi Atmi buat ikut berbohong juga?” Haikal berkata dengan suara serak, rasa sakit memenuhi dadanya. “Sekarang Haikal nggak tahu lagi harus naruh percaya pada siapa. Ayah udah nggak ada, dan sekarang Ibu bilang waktu Ibuu nggak banyak. Kenapa dulu Ibu nggak jujur aja sama Haikal? Seenggaknya biarin Haikal tetap tumbuh ngerasain kasih sayang Ibu.”
“Maafin Ibu, Nak,” Ratih berkata, suaranya tercekat. Dengan langkah perlahan, ia menarik Haikal ke dalam pelukannya. Setelah sekian lama terpisah, ia tahu betul bahwa tidak akan mudah bagi Haikal untuk memberinya pengampunan.
Mereka larut dalam tangis, seolah waktu berhenti sejenak. Dalam pelukan itu, Haikal merasa ada sesuatu yang mulai utuh kembali, meskipun luka-luka itu belum sembuh sepenuhnya.
٭٭٭
Kini, waktu perlahan mengajarkan mereka untuk menerima kenyataan. Hal-hal yang dulu terasa penuh keraguan—tentang kebahagiaan yang terasa begitu jauh, yang seakan tak bisa diraih dalam waktu yang lama—sekarang perlahan mulai terwujud. Semua berjalan sesuai dengan harapan Haikal, meskipun prosesnya tak mudah.
Hasybi, kakaknya yang dulu sulit diajak berkomunikasi, kini mulai menunjukkan perubahan yang baik. Setelah menjalani berbagai perawatan psikologi dan kemoterapi, ia semakin mampu mengendalikan emosinya. Hari-hari mereka kini terlepas dari kegelisahan dan hal-hal yang dulunya penuh dengan ketegangan. Perlahan, kedamaian mulai menyelimutinya, memberi ruang bagi kebahagiaan yang dulu sulit dicapai.
Sementara di tengah kebahagiaan yang mulai mengisi kembali rumah Haikal, Aira tetap setia menunggu kehadiran lelaki itu. Sudah hampir setengah tahun sejak ia menyuruh Haikal pergi menemui ibu kandungnya, namun lelaki itu tak kunjung kembali, bahkan tak ada satu pesan pun yang ia terima. Hal ini membuat Aira teringat kembali pada masa lalu, ketika Haikal pergi melanjutkan pendidikan ke Luar Negeri. Rasa rindu itu kian tumbuh, dan pertanyaan yang sama terus menghantui pikirannya: Mungkinkah Haikal lupa dengan janjinya?
“Ikal, besok Ibu sama Bibi dan abangmu akan pulang ke Tangerang. Ibu minta kamu jaga diri baik-baik ya, dan jangan lupa temuin Aira,” kata Ratih, dengan senyum penuh kasih.
“Iya, Bu. Kalau ada waktu luang, nanti Haikal bakal nyusul kalian ke sana,” jawab Haikal, dengan nada yang ringan, meskipun di dalam hatinya ada perasaan yang belum sepenuhnya terungkap.
Usai mengantar keluarganya ke Stasiun kereta, Haikal tanpa sadar mengarahkan mobilnya melewati jalan yang biasa melewati butik milik Aira. Setiap kali melintas, ada perasaan yang tak pernah bisa diabaikan, meski ia tahu, tak pernah ada hari tanpa melihat gadis itu, meski hanya dari kejauhan. Namun, ia belum siap untuk bertemu lagi.
Kini, di usia yang telah menginjak 27 tahun, Haikal dihadapkan pada sebuah dilema. Sebuah rahasia yang telah lama disembunyikan, rapat-rapat dalam hatinya. Haruskah ia akhirnya mengungkapkan semuanya?
Di minggu pagi yang cerah, rumah kecil itu kedatangan tamu yang sudah lama dinantikan.
"Tunggu sebentar!" Aira menghentikan aktivitasnya menyapu lantai. Sejak kepergian sang Ayah, ia memutuskan untuk menetap di rumah yang penuh kenangan itu—satu-satunya tempat yang masih menyimpan cerita tentang masa lalu yang tak ingin ia lupakan. Rumah ini adalah satu-satunya warisan yang bisa ia ceritakan kepada anak cucunya kelak.
"A Haikal?"
Seorang lelaki berdiri di depan pintu, melambaikan tangan sambil menjinjing beberapa tas belanjaan. Senyumnya yang hangat dan matanya yang bersinar penuh kebahagiaan mengingatkan Aira pada banyak kenangan indah. Sudah lama sekali ia merindukan sosok itu, sosok yang kini ada di depannya, lebih nyata dari yang ia bayangkan.
“Aku boleh masuk, kan Ra?” tanya Haikal, meskipun ia sudah melangkah masuk begitu saja tanpa menunggu jawaban, seolah tak ada rasa sungkan sedikit pun.
Aira menatapnya dengan mata menyipit, bingung sekaligus heran. Kata-kata Haikal terdengar seperti basa-basi, tapi sikapnya yang begitu lancar melangkah masuk membuat Aira terkejut. Alisnya terangkat, wajahnya menunjukkan kebingungan—ini bukan lagi pertemuan pertama mereka yang hangat. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang aneh pada sikap Haikal yang tak biasa.
“A Haikal mau minum apa?” Aira berusaha mengalihkan perhatian dari pikiran yang berkecamuk, beranjak menuju dapur dengan langkah terburu-buru.
Namun, belum sempat ia menyentuh kulkas, Haikal sudah berdiri di belakangnya. “Kamu masih sendiri, Ra?” tanyanya, sambil mengeluarkan beberapa buah dari tas belanjaannya.
Aira hanya bisa terdiam, bingung, tak mengerti maksud pertanyaan Haikal yang tiba-tiba.
“Apa aku boleh masuk jadi bagian keluarga ini lagi?” Haikal melanjutkan, seolah pertanyaannya itu begitu ringan.
Aira menoleh, wajahnya berubah serius. “Kalau bicara yang jelas, a. Setelah beberapa bulan menghilang tanpa kabar, apa karena a Haikal sakit? Kok jadi aneh gini sih?” perasaan kesalnya muncul, tak bisa lagi disembunyikan.
Mendengar respon Aira, Haikal menghela napas panjang, suaranya sedikit terputus. “Kamu mau, kan, nikah sama aa, Ra?” tanyanya, suara penuh harap. “Biar aku bisa jadi bagian dari keluarga ini lagi. Biar aku bisa jagain kamu selamanya, Aira.”
Kata-kata itu keluar dengan tulus, seolah-olah tak ada lagi yang lebih penting bagi Haikal selain berada di samping Aira, memberikan jaminan akan sebuah masa depan bersama.
Jatuh cinta memang tak mengenal waktu, tempat, atau siapa yang menjadi sasarannya. Namun, Aira terlalu dalam tenggelam dalam perannya sebagai seorang adik, sampai-sampai ia lupa bahwa antara dirinya dan Haikal tidak ada ikatan darah yang mengikat. Rasanya seperti suatu kenyataan yang selalu ada di dekatnya, namun ia tak pernah benar-benar menyadari.
Aira terdiam, tubuhnya mendadak kaku, seakan waktu berhenti sejenak setelah mendengar pernyataan Haikal. Hati Aira berdebar lebih cepat, bingung, sekaligus tercengang. Ia tidak pernah menyangka bahwa perasaannya yang dulu sempat ia pendam, kini justru kembali hadir—dan bahkan lebih mengejutkan, lelaki itu memiliki rasa yang sama dengannya. Tapi...
Sejak kapan?