Langit siang kali ini begitu cerah, sangat biru dengan awan putih menggantung tersebar rata. Di rooftop lantai tiga, angin bertiup pelan, membawa suara dedaunan dari bawah. Digma berdiri diam, ponsel menempel di telinga, sementara matanya menerawang jauh ke atas.
"Halo, Dig?"
Suara Fara dari seberang telepon terdengar lembut.
"Makasih ya, Ra," suara Digma terdengar tenang, namun ada emosi yang tertahan. "Berkat bukti dari lo, Abian akhirnya dapat keadilan."
Hening sejenak. Hanya terdengar suara ribut beberapa siswa karena para guru meninggalkan kelas masing-masing. Insiden tertangkapnya ketua yayasan membuat panik guru dan karyawan. Mereka pun memutuskan untuk membuat rapat mendadak.
"Gue cuma ngelakuin hal yang seharusnya gue lakuin dari dulu," jawab Fara pelan. "Berkat lo, gue jadi berani ngasih tau keberadaan bukti itu.
Digma tersenyum lembut. Ia kembali mengingat momen saat ia mengembalikan ponsel Fara kemarin di rumah sakit. Setelah mengembalikan ponsel, gadis itu memanggilnya kembali.
"Dig..."
Langkah Digma terhenti di ujung pintu. Ia menoleh.
Fara menatapnya dengan ragu-ragu. "Sebenarnya, ada sesuatu di HP ini. Video. Bukti."
Digma melangkah balik, duduk di kursi sebelah ranjang. Pandangannya tak lepas dari Fara yang membuka galeri.
"Nggak ada yang tau gue punya video ini," katanya pelan. "Dan nggak ada yang tau gue ngerekam video ini diam-diam."
Layar ponsel menyala. Video terputar.
Tangan Fara bergetar. Namun Digma dengan cepat menggenggam tangan Fara, seolah mengatakan bahwa ia akan baik-baik saja.
Di layar, Gery terlihat menarik kerah baju Abian, menjatuhkannya ke tanah, dan mulai memukul. Tempatnya tak asing. Ya, tempat yang sama saat ia dan Fara dirundung oleh Gery dan gengnya. Area belakang sekolah. Abian sempat melawan, membuat Gery mundur beberapa langkah. Hingga tiba-tiba Heri datang dari belakang, menghantam tongkat kayu dengan sangat keras ke kepala Abian.
Abian terjatuh dan pingsan.
Darah mengalir.
Hingga tiba-tiba video mulai tak stabil dan akhirnya terhenti mendadak.
Digma menatap Fara tanpa ekspresi. "Kenapa lo nggak kasih ini dari awal, Far?" tanyanya pelan.
Fara menunduk. "Karena gue takut. Gue emang penakut, Dig."
Digma menatapnya. "Makasih, Ra. Makasih karena akhirnya lo kasih bukti ini ke gue."
Fara menoleh. Matanya berkaca. "Itu karena lo Dig, lo yang bikin gue berani."
Digma kembali dari lamunannya saat Fara memanggil namanya beberapa kali. Gadis itu terdengar bingung karena tak ada respon Digma sejak tadi.
"Iya, Ra. Gue masih di sini," jawabnya pelan.
"Gue kira lo ada masalah." tukasnya tersirat nada khawatir. "Gue nggak suka lo tiba-tiba ngilang gitu. Bikin kaget tau nggak?"
Digma terkekeh kecil. "Kalo gue ngilang, jangan kaget dan jangan nyariin gue ya. Dan lo berani bukan karena gue. Tapi emang lo aslinya pemberani, Ra. Cuma lo belum mau ngeluarin rasa berani itu. Mulai besok, walaupun nggak ada gue, lo harus tetep berani ya!"
"Maksud lo tuh apa sih ngomong gitu?" panik Fara.
"Semangat! Gue yakin lo bakal jadi ketua PKS paling ditakuti di sekolah! Lo bakal lebih berani buat ngehukum anak-anak bandel itu, Ra!" ucap Digma mengabaikan pertanyaaan Fara yang mulai cemas.
"Digma lo–"
"Maaf ya, Ra, gue tutup dulu telponnya. Gery lagi bikin ribut di warung Bu Eya. Gue harus ke sana. Nanti gue hubungi lagi ya, Ra."
Setelah memutus sambungan, Digma setengah berlari ke arah warung belakang. Dari jauh terdengar suara beberapa piring dan gelas pecah serta tangisan dari Bu Eya.
Dada Digma memanas saat melihat Gery, dengan baju berantakan dan mata merah, sedang mengamuk di sana. Rak-rak warung Bu Eya diobrak-abrik, snack bertebaran di lantai, galon ditendang hingga tumpah. Serta Bu Eya yang terus saja menangis, berusaha menghentikan Gery, namun cowok itu malah mengangkat tangan hendak memukul Bu Eya.
"WOY!" teriak Digma menarik paksa kerah Gery. Mengalihkan Gery dan Bu Eya.
Gery tersentak, mukanya penuh amarah. "LO MAU APA LAGI, HA?!"
"Berhenti, Ger. Lo udah keterlaluan," ucap Digma tegas, napasnya mulai berat. Tapi sama sekali tak dihiraukan oleh Gery
Sebuah pukulan melayang ke wajah Digma. Cowok itu limbung sejenak namun dengan cepat membalas pukulan itu. Pertarungan dua anak SMA itu pecah tepat di depan warung. Tinju, tendangan, saling hajar. Beberapa anak terlihat terkejut saat menyadari bahwa cowok yang biasa dirundung Gery itu ternyata punya kemampuan beladiri yang sangat baik.
Digma bahkan berhasil meninju Gery dengan pukulan yang sangat keras, tendangan sangat kuat dan berhasil mengelak dari berbagai pukulan balasan Gery.
Gery yang sempat terkena tendangan putar Digma terjatuh. Namun perlahan ia bangkit dan berteriak frustasi.
"LO SOK JAGO YA?! KALO BOKAP GUE MASIH ADA—"
"Masih ada?" Potong Digma, tatapannya menghunus tajam. "Bokap lo sekarang lagi diinterogasi polisi. Lo pikir masih ada yang takut sama lo, Ger?"
Gery menggertakkan giginya. Ia memperhatikan sekitar. Beberapa anak yang mengerubungi mereka terlihat menantang dan menyuraki dirinya karena insiden bapaknya yang menjadi tersangka.
Dengan napas memburu, Digma perlahan berjalan mendekati Gery. "Selama ini lo ngerasa berkuasa karena bokap lo, kan? Dan ngerundung orang-orang yang menurut lo pecundang. Padahal tanpa lo sadar, sebenarnya yang pecundang itu lo sendiri. Lo yang pengecut dan selalu berlindung di balik bapak lo!"
"TUTUP MULUT LO!" Emosi Gery semakin tersulut. Ia melirik ketiga anak buahnya yang sejak tadi hanya diam di tempat. "BANTUIN GUE, BEGO!"
Alex, Deta, dan Reksa sejak tadi ragu untuk menyerang Digma karena trauma dipukuli oleh cowok itu di Nirvana Zone. Namun karena Gery sudah terlihat kehilangan keseimbangan, mereka pun akhirnya maju dan menyerang.
Digma menghela napas dalam. Badannya kini sudah terasa remuk dan beberapa luka goresan mulai terasa perih. Namun tiga orang dihadapannya sudah sangat siap untuk meremukan tulangnya lagi.
Perlahan Digma menarik napas panjang. Baiklah, karena ini hari terakhirnya sekolah di sana, akan ia selesaikan semuanya sekarang.
Digma pun mulai melesat. Tendangan demi tendangan, pukulan demi pukulan. Baku hantam pecah di depan warung Bu Eya. Beberapa anak mulai bersorak lebih keras menyemangati Digma hingga membuat beberapa guru yang sadar ada perkelahian akhirnya mendekat panik.
Saat guru-guru hendak melerai mereka, ternyata pertarungan sudah selesai dengan keempat anak tukang rundung itu tergeletak lemah di atas rumput.
Napas Digma tersengal, pipinya lebam, dan seluruh badannya terasa sakit. Namun ia masih tersadar dan tersenyum penuh kemenangan di depan Gery.
Bu Eya mendekat, takut-takut. "Nak... kamu nggak apa-apa?"
Digma hanya tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, Bu. Maaf ya warungnya berantakan."
Tas yang ia lempar sembarang tadi, kembali ia ambil. Sambil berjalan ke arah gerbang keluar, beberapa anak yang tadi menonton perkelahian berseru mengucapkan terima kasih pada Digma. Karena hanya cowok itu lah, yang berani melawan kejahatan yang penguasa sekolah itu lakukan.
"Makasih Digma!"
"Menyala Digma!"
"Pegang erat mahkotamu, Dig!"
Walaupun seluruh badannya terasa remuk, namun hatinya terasa utuh. Ia pun berbalik dan berjalan mundur seraya melambaikan tangan tanda pamit kepada mereka semua.
Di atas motor, Digma mengechat beberapa kata kepada Fara. Sebenarnya ia ingin menelpon balik, namun karena ia sedang babak belur, agar cepat ia pun mengirimi Fara pesan.
"Dengan video itu, lo udah berhasil nyelamatin Abian, tapi lo juga udah berhasil nyelametin gue juga. Makasih untuk semuanya, Ra. –Digma."
Digma keluar dari gerbang sekolah yang selama ini menjadi saksi bisu semua dendam dan perjuangannya mencari keadilan untuk Abian. Hingga tiba-tiba seorang gadis yang tak seharusnya berada di sana, merentangkan tangannya menghadang motor Digma.
"Fara? Lo dari rumah sakit langsung ke sini?" kaget Digma dengan mata melebar tak percaya.
"Kata siapa lo boleh pergi dari sini?" ucap Fara penuh penekanan.