"Mulai besok, kamu dikeluarkan dari sekolah ini. Bapak harap kamu dapat pergi dengan tenang dan tidak menyebarkan rumor apapun," tukas Heri, tajam dan penuh tekanan.
Digma masih berdiri di hadapan Heri dengan tatapan gak gentar. Walaupun hatinya sempat bergetar, tapi dia gak mundur. Nafasnya dalam. Matanya menatap lurus, berusaha menahan segala emosi yang menumpuk dari semalam.
"Kalau saya nggak mau?"
"Urusan bakalan panjang."
Digma bertepuk tangan dengan senyuman penuh ejekan. "Jadi ini alasannya Bapak selalu menutupi segala kejahatan Gery? Karena bapak nggak mau ada rumor buruk yang menyebar?" tanyanya tak percaya. "Keren. Dan sekarang, saya dikeluarkan karena menyelamatkan teman saya, tapi anak Bapak yang sudah banyak merundung orang, dan bikin lingkungan sekolah jadi toxic, malah masih bisa duduk manis di kelas."
Heri menyipitkan mata. "Jaga ucapan kamu. Kamu tidak tahu posisi kamu sekarang."
Digma melangkah maju, nadanya pelan namun tajam. "Justru karena saya tahu posisi saya, makanya saya ngomong gini. Sekolah ini gak butuh anak kayak Gery. Yang berangkat sekolah cuma buat merundung orang. Tapi ya ... wajar sih, namanya juga anak ketua yayasan. Bebas ngelakuin apapun, kan, Pak?"
Suasana makin panas. Heri berdiri, menatap Digma dari balik meja.
"Kamu pikir kamu siapa sampai berani ngomong begitu di depan saya?"
"Saya hanya anak biasa," jawab Digma, nahan senyum sinis. "Tapi anak biasa yang tau apa itu keadilan. Dan Bapak nggak akan pernah bisa nutupin semuanya."
Beberapa detik mereka saling tatap. Tegang. Namun akhirnya, Digma memutar badan dan melangkah keluar.
***
Di kelas, Digma ngeluarin tasnya. Dia mulai membereskan buku-bukunya satu persatu ke dalam tas. Teman-teman sekelasnya yang lain mulai memperhatikan. Beberapa anak bertanya tentang apa yang terjadi namun Digma hanya bisa membalas dengan senyum tipis.
"Gimana bilangnya ya ke Mamah. Baru juga pindah ke sini. Masa minta cariin sekolah lagi," gumamnya sambil ketawa kecil sendiri. "Apa gue balik ke sekolah lama aja ya. Enggak ah nanti gue dijitak Atha."
Cowok itu pun mengangkat tasnya, keluar kelas dengan langkah santai namun sorot matanya sayu. Ia masih merasa tak adil dengan apa yang terjadi.
Di lorong menuju gerbang luar, suara tawa beberapa anak pecah. Tawa yang familiar dan mengesalkan di telinga Digma.
"Hahaha! Lo nggak akan bisa menang ngelawan gue!"
Gery. Bersama Deta, Alex, dan Reksa mengejeknya karena sudah tau cowok itu dikeluarkan dari sekolah.
Digma melangkah mendekat. Pelan. Namun tatapannya setajam pisau.
Deta dan dua lainnya langsung refleks mundur. Masih trauma jelas dari kejadian di Nirvana Zone. Tapi Gery tetap berdiri di tempat, senyumnya melebar, penuh kemenangan.
"Mau apa lo? Mau pamit?"
Digma berhenti tepat di depan mereka. Tangannya ia masukan ke saku, tubuhnya tegap.
"Kenapa kalian ketawa? Ada yang lucu?"
Senyuman jahat Gery semakin lebar. "Lucu banget. Liat keadaan lo sekarang yang udah nggak bisa berkutik di depan bokap gue itu cukup menghibur. Lo out. Artinya lo udah gak ada urusan sama gue. Sekarang gue bisa hidup tenang."
Alis Digma terangkat satu. "Lo yakin?"
Gery menyipitkan mata. "Maksud lo?"
Digma melangkah setengah langkah lebih dekat. "Lo pikir ... cuma gue yang keluar dari sekolah ini?"
"Apaan sih maksud lo?!" tanya Gery, mulai panik.
Tiba-tiba, suara sirine polisi terdengar dari luar sekolah. Suara langkah-langkah tergesa mulai terdengar di koridor.
Gery menoleh kanan dan kiri, bingung. Sedangkan Deta dan Alex mulai saling tatap. Dan Reksa malah sudah mundur jauh lebih dulu.
Beberapa polisi masuk. Di belakang mereka, tampak kepala sekolah yang keliatan cemas. Dua petugas langsung menuju ruang kepala sekolah. Tak lama, mereka keluar ... menggiring Heri. Tangan Heri sudah diborgol, wajahnya dingin dan tenang, namun matanya penuh dendam.
Senyum di wajah Gery menghilang seketika. Napasnya memburu. Matanya tak oercaya melihat pemandangan di hadapannya.
"Pa... papa kenapa...?" suaranya nyaris gak keluar. "Pak, bapak kenapa bapak saya di tangkap?" tanyanya pada salah satu petugas polisi.
"Pak Heri ditangkap atas tuduhan percobaan pembunuhan pada korban atas nama Abian Laksmana," jelas petugas itu.
Saat petugas berhenti, Heri disebelahnya hanya fokus melihat Digma. Mereka saling pandang sejenak hingga akhirnya Heri mendengus pelan, dan polisi kembali menggiring hingga masuk ke mobil.
Gery gemetaran. Wajahnya pucat pasi. "Lo ... pasti lo kan pelakunya?!" teriaknya ke Digma.
"Gue?" Digma senyum miring. "Gue cuma ngasih kebenaran ke polisi. Dan orang kayak lo sama bokap lo, jelas gak bisa kabur dari itu."
Gery ngerasa dunia runtuh. Dia berteriak dan, meluncurkan kepalan tangannya untuk meninju pipi Digma. Namun Digma dengan mudah menghindar dan balas menarik kerah baju Gery dan menonjok perutnya hingga cowok itu meringis dan terjatuh.
"Lo dapat bukti dari mana soal Abian?! Hah?!" Gery teriak, putus asa.
Digma narik Gery lebih dekat, wajahnya kini hanya beberapa senti dari wajah cowok itu. Matanya dingin dan tajam.
"Lo gak perlu tau. Tapi lo harus tau satu hal ... mulai hari ini, lo gak boleh nyentuh Abian. Atau lo tahu sendiri akibatnya."
Gery ketakutan. Akhirnya kini cowok itu sadar, semua yang Digma lakukan hingga berpura-pura menjadi target bully hanya untuk mengungkap kasus Abian. Ternyata, dari awal memang sudah direncanakan oleh cowok itu.
Tanpa suara, Gery pun berdiri dan lari. Hal yang selalu cowok itu lakukan. Lari dari masalah.
Digma bergidik tak peduli. Ia pun memutuskan untuk berjalan ke arah rooftop yang biasa ia datangi.
Sebelum ia benar-benar meninggalkan sekolah itu, Digma merasa harus menghabiskan beberapa menit memandang langit yang sedang cerah di atas sana.
Perlahan ia mengeluarkan ponsel, menelpon seseorang.
"Halo, Dig?" suara di seberang menyapa.
"Makasih ya, Ra. Berkat bukti dari lo, Abian dapat keadilan."