Abian udah siuman. Datang ke RS kalau bisa. -Bunda
Mata Digma melebar. Ia terpaku beberapa detik, memastikan matanya tak salah baca. Setelah sebulan menunggu kabar ini, akhirnya sahabatnya itu bangun.
Tanpa pikir panjang, usai Fara memutuskan untuk naik ojek online, Digma langsung meraih jaket dan tancap gas menuju rumah sakit.
Sesampainya di sana, napas Digma masih terengah-engah ketika ia masuk ke kamar Abian. Dan di sana, sahabatnya itu sudah duduk di ranjang dengan wajah pucat.
"Lo sadar, Bi! Akhirnya lo sadar!" Digma nyaris berteriak. Ia mendekat dan menepuk bahu Abian.
Abian tersenyum tipis. "Ya, akhirnya gue bangun. Rasanya gue kayak dari tidur panjang, Dig. Tapi, kepala gue masih kerasa berat."
"It's okay, perlahan lo bakal pulih," ujar Digma sambil duduk di kursi dekat ranjang. Senyumnya lebar. "Lo gak tahu kan, ada berapa banyak hal yang lo lewatin selama sebulan ini."
Abian menatap sahabatnya dengan tatapan penasaran. "Apa?"
"Banyak banget, Bi! Pertandingan bola indonesia lawan bahrain yang menang Indonesia Bi! Oh iya Atha. Gue udah bilang kan kalo si Atha nih pasti punya cewek dan bener! Dia abis jadian sama Rahel!"
"Rahel sepupu lo itu?"
"Iya, Anjir! Kenapa harus sodara gue sih."
Abian tersenyum. Membuat hati Digma ikut menghangat. Ada perasaan lega yang ia rasakan setelah sekian lama. Bahkan, dendamnya pada Gery yang membuat tidurnya tak tenang, seketika hilang dari fikirannya.
"Terus gue ... gue udah pindah ke sekolah lo," lanjut Digma sedikit ragu.
Mendengar kalimat terakhir Digma, Abian nampak terkejut. "Lo pindah sekolah ke sekolah gue? Kok bisa?"
Digma terdiam sejenak. Matanya melirik ke pintu, memastikan Bunda yang sejak tadi duduk di dekat mereka sudah keluar dari ruangan. Setelah yakin mereka hanya berdua, Digma mendekat.
"Gue pindah ke sekolah lo buat nyari tahu siapa yang bikin lo kayak gini, Bi. Dan gue yakin itu Gery," bisiknya dengan nada serius.
Abian mengerutkan kening. "Gery? Lo kenal sama Gery?"
Digma mengangguk. "Gue kenal karena gue udah nyelidikin dia dari awal. Gue tahu dia anak ketua yayasan, dan gue juga tahu dia yang suka ngerundung lo. Gue gak bisa diem aja liat lo jadi korban. Gue pindah ke sekolah lo karena gue mau kasih pelajaran buat dia."
Abian mendesah. Raut wajahnya berubah dingin. "Gue gak butuh bantuan lo, Dig. Gue bisa urus diri gue sendiri."
"Tapi Bi—"
"Enggak, Dig. Gue udah gede. Gue bukan anak kecil yang lo perlu bantu terus-terusan. Lo gak harus ngelakuin ini buat gue," potong Abian dengan nada tajam.
Digma terdiam. Namun, sebelum ia bisa membalas, ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Aldino muncul di layar.
"Halo, Al? Ada apa?"
Suara Aldino di ujung telepon terdengar panik. "Bang, gue dapet info dari kenalan di Nirvana Zone. Fara dalam bahaya. Dia diculik di sana."
Digma tersentak. "Hah?!"
"Lo harus ke sana sekarang, Bang. Gue lagi di jalan juga."
Tanpa banyak pikir, Digma langsung berdiri. "Gue pergi dulu, Bi. Nanti gue balik lagi."
**"
Di parkiran motor, Digma menghubungi teman-teman taekwondonya dan memberi koordinat untuk berkumpul di Nirvana Zone. Setelah itu, ia tancap gas dengan kecepatan tinggi.
Ketika tiba di sana, Aldino dan Atha sudah menunggu di seberang gedung Nirvana Zone itu. Beberapa teman taekwondo Digma mulai berdatangan, satu per satu, mengenakan seragam mereka.
Digma mengernyit. "Kenapa lo pada pake seragam?"
"Kan lo bilang mau sparring, bro?" jawab salah satu temannya santai.
Digma mendesah. Sparring yang ia maksud jelas beda. Tapi sekarang bukan waktunya menjelaskan. "Oke, ikutin gue."
Dengan satu tendangan kuat, Digma mendobrak pintu Nirvana Zone. Di dalam, ia langsung melihat Fara terikat di lantai, dikelilingi beberapa cowok berandalan. Dan di sebelahnya berdiri Gery dengan senyum sinis.
"Liat siapa yang datang. Atlet taekwondo, ya?" ejek Gery sambil bertepuk tangan pelan.
"Lo pengecut, Ger. Beraninya cuma sama cewek," balas Digma tajam.
Gery mendekat. "Jadi, ini yang lo rencanain dari awal? Nyusup ke sekolah gue? Apa tujuan lo sebenernya, Dig?"
Digma mengabaikan pertanyaan itu. Ia maju hendak melepas ikatan Fara, namun Gery mengangkat tangan, memberi aba-aba kepada anak buahnya.
Pertarungan pun pecah.
Digma menggunakan teknik taekwondonya dengan lincah, menangkis pukulan, dan melayangkan tendangan cepat ke arah lawan. Di sudut ruangan, Aldino dan teman-temannya juga bertarung dengan penuh semangat.
Akhirnya, Digma berhadapan langsung dengan Gery. Mereka bertukar pukulan dan tendangan. Dengan satu gerakan cepat, Digma berhasil membuat Gery terjatuh.
Kesempatan itu ia gunakan untuk melepas ikatan Fara. "Lo oke?"
Fara mengangguk lemah.
Mereka berlari menuju pintu keluar, namun tiba-tiba Gery bangkit kembali. Kali ini, ia memegang pisau kecil.
"Dig, awas!" teriak Fara.
Dengan refleks, Digma menghindar dan melayangkan tendangan, namun pisau Gery malah melukai pergelangan tangan Fara. Darah segar mengucur.
"Fara!" Digma panik. Gadis itu hampir pingsan di pelukannya.
Tanpa pikir panjang, Digma segera membawanya keluar dan menelpon ambulans. Sementara itu, Gery yang panik karena keadaan semakin kacau, kabur diam-diam.
***
Beberapa jam kemudian...
Langit sudah gelap.
Di ruang kerja yang megah dan sunyi, Gery berlutut di depan meja besar ayahnya. Nafasnya tersengal, matanya merah, tangan gemetar mencengkeram karpet.
"Aku nggak sengaja, Pah... dia luka... Tolong..." suaranya lirih, nyaris putus.
Heri mendongak perlahan. Tatapannya dingin, rahangnya mengeras.
"Tolong?" Ia menyandarkan diri ke kursi, lalu tertawa pendek. "Kamu bikin kekacauan lagi? Setelah semua yang sudah Papah tutupi?"
Gery menggeleng, tangan mengepal di pangkuan. "Aku gak tahu harus gimana... Tapi Papah bisa bantu. Papah pasti bisa lindungi aku."
Heri berdiri dengan geram, napasnya berat. "Melindungi kamu lagi? Sampai kapan kamu mau jadi beban, Ger?"
"Aku cuma pengen diakui ... Aku pengen Papah liat aku!" Gery menatap ke atas, wajahnya basah, suara naik satu oktaf. "Selama ini aku berusaha! Tapi Papah selalu—"
"Kamu cuma bikin reputasi saya makin hancur," potong Heri dingin, melangkah perlahan mendekat. "Kalau kamu mau dianggap, buktikan dirimu. Jangan datang hanya saat kamu bikin masalah."
Gery menatapnya lama, rahangnya mengeras.
"Papah selalu ngeremehin aku kan?"
Ia berdiri perlahan, menatap ayahnya untuk terakhir kalinya—penuh luka, marah, dan kecewa. Lalu melangkah keluar, membiarkan keheningan dan bayang-bayang di ruangan itu menjawab segalanya.