Sejak terakhir Digma menarik kerahnya di hadapan banyak siswa, Gery terus diam di kursi warung dengan tangan mengepal kuat. Beberapa anak di kantin belakang sudah pergi ke kelas masing-masing untuk mengikuti jam pelajaran terakhir. Kecuali Alex, Deta dan Reksa, yang masih disekitar Gery, selalu mengikuti apapun yang dilakukan sang ketua walaupun itu artinya harus membolos pelajaran.
Kini mereka bertiga saling pandang. Mereka tahu, Digma kini telah membangunkan singa tidur. Jelas Gery tak akan diam saja dipermalukan seperti tadi.
"Kalian juga tau, kan, ada yang aneh dari anak itu?" Gery akhirnya buka suara. Nadanya rendah penuh tekanan. Ia menatap tiap anak buahnya tajam.
Alex cepat-cepat mengangguk. Cowok berambut tebal itu mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. "Gue juga ngerasa ada yang janggal. Berani-beraninya dia pegang leher lo, Ger!"
"Brengsek emang tuh anak," sambung Deta mengumpat kesal. "Waktu dia sama Aldino ribut di Nirvana Zone, gue ngerasa Digma bukan pecundang yang kita kenal."
"Dia pasti nyembunyiin sesuatu dari kita," Reksa berdiri lalu menyilangkan tangan di dada, "Dulu dia bener-bener pecundang. Gue nggak pernah lupa gimana dia babak belur waktu kita hajar di kamar mandi."
Gery mendengus. Ingatan itu memang selalu jadi hiburan buatnya, namun kini sudah tak menarik lagi. Sejak kejadian di Nirvana Zone, dia tahu ada yang berubah dari Digma. Anak yang dulu selalu takut ia hajar, kini punya nyali buat melawan.
Dan yang membuat kekesalan Gery semakin bertambah, saat ia bertanya pada teman-teman VIP-nya dari kalangan orang tua kaya raya dan berkuasa tentang siapa pelaku yang menyerang mereka, mereka menjawab ... Digma.
Awalnya, Gery tak percaya. Namun tatapan dingin Digma saat hampir melayangkan kepalan tangan ke wajahnya masih terekam jelas diingatan. Tatapan itu beda. Tak ada rasa takut sama sekali.
"Menurut gue," Alex berujar pelan, "kita harus kasih pelajaran ke Digma. Supaya dia tahu siapa yang masih pegang kendali di sekolah ini."
Deta mengangguk setuju. "Yoi. Kita harus ingetin dia posisi dia dulu."
Namun belum sempat Gery merespons, Reksa tiba-tiba bergumam pelan, namun jelas. "Gue liat sesuatu siang ini."
Semuanya langsung menoleh ke arah Reksa.
"Apa?" tanya Gery, alisnya terangkat.
"Gue liat Digma ... sama Fara."
"Terus?"
"Di rooftop sekolah. Mereka ... pelukan."
Keheningan langsung menyergap mereka. Alex dan Deta saling pandang dengan ekspresi tak percaya, sementara Gery menyipitkan matanya.
"Pelukan?" ulang Gery, suaranya dingin.
Reksa mengangguk. "Ya. Gue liat sendiri."
Gery terdiam sesaat, lalu bibirnya perlahan melengkung membentuk seringai jahat. Sebuah ide muncul di kepalanya.
"Gimana kalo kita main sama cewenya?" tanyanya penuh arti tersembunyi. "Kita buat Digma menyesal malam ini."
***
Sore itu juga, setelah pulang sekolah, Alex, Deta, dan Reksa berganti pakaian serba hitam. Tak lupa mereka juga menutup separuh wajah dengan masker hitam.
Mereka sudah menunggu Fara di dekat gerbang depan. Namun ternyata gadis itu berada dalam boncengan Digma. Awalnya mereka kesal, namun rencana tetap harus dijalankan. Mereka pun memutuskan untuk tetap mengikuti Fara dan melakukan apapun yang Gery perintahkan nanti.
Dari kejauhan, Digma menurunkan gadis itu di sebuah gedung Klub Taekwondo. Dengan cepat, Alex langsung menghubungi Gery.
"Gimana? Berhasil bawa tuh cewe?"
"Mereka masuk gedung taekwondo,Ger."
"Brengsek!" umpat Gery berteriak kasar di seberang. Walaupun Alex tak menyebut namanya, Gery sudah lebih dulu tau siapa yang dimaksud Alex. "Jadi dia anak taekwondo?"
"Dugaan gue, ya. Dia udah nipu kita selama ini."
"Oke. Gue ke sana," tandasnya lalu menutup telepon dan melajukan mobil menghampiri anak buahnya.
Satu jam kemudian, saat hari mulai gelap, pintu depan gedung terbuka. Gery yang sejak tadi menunggu di mobil dengan kesal langsung membenarkan posisi duduknya. Sedangkan ketiga anak buahnya, sudah mulai bersiap melajukan motor.
Dari jarak kurang lebih 5 meter, mereka memantau setiap pergerakan di gedung itu. Digma muncul dari balik pintu. Ia terlihat buru-buru lalu menaiki motornya dan berlalu dari sana. Tak berselang lama, Fara keluar. Ia terlihat menaiki ojek online.
Kesempatan itu tentu tidak akan disia-siakan oleh Gery dan gengnya. Mereka pun terus mengikuti dari belakang. Di saat waktu yang tepat, mereka akhirnya menghadang Fara di tengah jalan yang sepi, menariknya paksa, dan membawanya masuk ke dalam mobil.
"Eh! Siapa kalian! Lepasin gue! Lepasin!" teriak Fara panik sambil meronta, namun pintu mobil sudah terkunci rapat.
Dari kursi depan, Gery menoleh. Ia menyeringai dan menyapa santai. "Hai, Ra."
Fara menatap Gery dengan mata penuh ketakutan. Dia mencoba membuka pintu mobil, namun sia-sia.
***
Di Nirvana Zone, Fara duduk di lantai dengan tangan terikat dan mulut ditutup kain. Sekelilingnya, Alex, Deta, dan Reksa berdiri sambil tertawa mengejek.
"Takut banget, ya?" ejek Deta sambil mencubit pipi Fara pelan.
"Cantik sih, tapi sayang ... udah bikin masalah sama bos kita," tambah Alex sambil tertawa di atas sofa biru ruangan utama.
Gery datang bersama anak buahnya yang lain, wajahnya penuh seringai puas. Dia membuka penutup mulut Fara dan menatap gadis itu dengan dingin.
"Gue mau lo jawab jujur," katanya dengan nada rendah tapi mengancam. "Apa yang lo sama Digma rencanain? Kenapa gue liat kalian masuk gedung taekwondo?"
Fara terdiam, menatap Gery dengan ketakutan tapi enggan menjawab sepatah kata pun.
"Jawab!" bentak Gery, suaranya menggema di ruangan itu.
Fara menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata.
"Kalau lo nggak jawab ..." Gery mendekat, menunduk tepat di depan wajah Fara. "Gue kasih lo ke anak-anak gue. Biar mereka main sama lo."
Fara menangis. Gadis itu tak tahu harus melakukan apa di situasi sekarang. Ia benar-benar tak mau menghancurkan misi Digma. Ia takut Digma terluka. Walaupun sebenarnya, ia harus mengkhawatirkan dirinya sendiri. Ancaman Gery tak pernah main-main.
Fara memandangi beberapa laki-laki di sekelilingnya. Mereka menatapnya dengan tatapan menakutkan. Bagai singa yang sudah siap menghabisi mangsanya. Mereka siap menerkam kapanpun diperintahkan.
Namun saat Gery hendak mengancamnya lagi, tiba-tiba pintu Nirvana Zone terbuka lebar, dan sekelompok orang berseragam taekwondo masuk mengepung ruangan.
Gery dan gengnya terperangah.
Dan di tengah kerumunan itu, berdiri Digma dengan ekspresi dingin yang sama saat ia menarik kerah. Tatapannya menusuk ke arah Gery, membuat cowok itu merasakan sesuatu yang jarang ia rasakan, ketakutan.
"Lepasin Fara," ucap Digma pelan, namun penuh ancaman.