Fara dan Digma berjalan beriringan di lorong rumah sakit yang sunyi. Bau khas obat-obatan menusuk hidung mereka, membuat suasana hati semakin berat. Mereka berhenti di depan kamar perawatan Abian, menatap angka yang terpampang di pintu sebelum menarik napas dalam.
Saat mereka melangkah masuk, ruangan terasa sepi. Di sudut ruangan, ada kursi yang masih hangat, pertanda ibunya Abian baru saja meninggalkan tempat itu.
Fara menelan ludah. Pandangannya jatuh pada sosok Abian yang terbaring lemah dengan selang infus dan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. Luka-luka lebam di wajahnya belum memudar, membuatnya terlihat begitu rapuh.
"Gue masih nggak percaya Gery bisa sekejam ini," ujar Fara dengan suara bergetar. Ia mengepalkan tangan, matanya panas menahan emosi.
Digma berdiri di sampingnya, rahangnya mengeras. "Kita harus kasih pelajaran ke dia, Ra. Gue udah punya bukti, tinggal nunggu waktu yang pas buat ngehancurin dia."
Fara mengangguk, menatap Digma penuh tekad. "Kita bakal bales semua ini. Gery harus ngerasain apa yang dia lakuin ke Abian."
Setelah beberapa saat hening, mereka pun keluar dari ruangan.
"Lo habis ini mau ke mana?" tanya Digma memecah keheningan di lorong rumah sakit menuju parkiran.
Fara terlihat berpikir sejenak. "Pulang ke rumah, kenapa?"
"Lo udah makan?"
"Belum."
"Makan dulu yuk, abis itu baru gue anter pulang." Digma memberikan helm gadis itu lalu memakai helm miliknya. "Udah malem. Gue nggak mungkin biarin anak orang kelaparan."
Sambil memakai helm, Fara tertawa kecil. "Bilang aja lo yang laper"
"Itu alasan utama."
Mereka pun segera meninggalkan parkiran dan menuju rumah makan terdekat. Mereka akhirnya memutuskan untuk makan masakan padang. Aura minang sangat tergambar jelas dari perabotan di seluruh sudut rumah makan. Bau rendang juga mulai menyeruak masuk ke dalam indra penciuman mereka.
Fara dan Digma duduk berhadapan. Digma dengan lahap menyendok nasi padangnya, sementara Fara mengaduk-aduk lauk di piringnya.
"Lo nggak makan?" tanya Digma, mulutnya masih penuh.
Fara mendesah. "Lo yakin rencana lo kali ini berhasil?"
Digma menaruh sendoknya dan menatap Fara serius. "Gue yakin. Kali ini Gery nggak bisa lolos dari tangan gue."
Fara mendongak, mencoba tersenyum. "Setelah ini berhasil, gue juga lega. Lo ngga dipukulin Gery lagi. "
"Bau-baunya ada yang perhatian nih," goda Digma dengan senyum jailnya.
"Eh, bukan gitu." Pipi Fara mulai memerah. "Maksud gue, gue nggak mau ada korban lagi. Lo emang pura-pura, tapi pukulan mereka nggak pura-pura. Lo dalam bahaya, Dig."
Digma tertawa santai. "Lo lupa gue atlit? Yang dalam bahaya itu lo, Fara." Tangan cowok itu mengusap puncak kepala Fara gemas.
Fara merapikan beberapa helai rambutnya. "Atlit kan juga manusia."
"Tapi gue manusia super. Pukulan mereka bagi gue cuma kayak angin lewat."
Mata Fara menyipit curiga.
"Wah!" Digma berseru tak percaya melihat Fara yang curiga akan kemampuannya. "Perlu bukti?"
Fara mengangguk, menantang.
"Oke, setelah gue dapat rekaman itu, kalo Gery mau ngebully gue lagi besok, gue bakal hajar balik mereka. Lo harus liat ya!"
Fara tertawa geli.
"Liat, ya, Ra!" Digma menunjuk Fara agar gadis itu berjanji akan melihat kemampuan bela dirinya.
Fara terkekeh kecil melihat tingkah laku Digmna yang seperti anak kecil. "Iya, Digma. Tapi, serius deh, Dig, lo waktu di bully mereka, kok bisa nggak pengen bales. Maksudnya, nggak ada refleks gitu?" Fara mulai melahap nasi dihadapannya yang mulai dingin.
Digma tersenyum miring. "Pengen banget, lah, Ra! Gue pernah tuh, hampir aja refleks nimpuk balik. Tapi gue tahan. Soalnya misi ini lebih penting dari sekadar mukul balik."
Fara menatapnya lebih lama. Ada kekaguman di matanya, tapi ia sendiri tak menyadarinya.
"Kenapa? Lo juga pengen nimpuk dia?" Digma balik bertanya.
"Pengen, tapi gue masih takut."
"Nggak apa-apa, kapan-kapan gue ajarin ya." Digma menegak minum sejenak. "Atau mau gue ajarin sekarang?" tanyanya setelah sebuah ide muncul dipikirannya.
"Hah? Sekarang? Di sini?" kaget Fara, namun hanya di balas senyuman penuh arti oleh Digma.
Tak beberapa lama, mereka pun tiba di tempat yang sudah tak asing lagi bagi Fara, Club taekwondo Digma.
"Lo udah pernah ke sini kan?"
Fara memalingkan muka sambil mengangguk kecil. Ia masih malu ketahuan cowok itu pernah mengikutinya diam-diam.
Setelah menaruh helm di spion, Fara memandangi lampu hias yang tertempel dengan indah di dinding gedung. Suasana Klub sangat berbeda saat siang, penuh lampu hias berwarna putih dan beberapa lampu gantung berwarna kuning membuat klub ini terasa seperti kafe.
Begitu mereka masuk, pelatih mereka, Sabeum Sin, langsung menyambut dengan senyum usil.
"Wah, pantesan si Digma jarang latihan! Ternyata sibuk pacaran."
Digma tersedak, buru-buru mengibaskan tangan. "Ngarang! Nggak gitu!"
Fara tertawa kecil melihat Digma salah tingkah, sementara Atha—salah satu teman dekat Digma—ikut menggoda. "Eh, kalo kalian udah jadian nanti bilangin ke Digma jangan lupain pajak yang mau dia bayar ya!"
Digma melotot ke Atha. "Sialan lo! Kapan gue janji?"
Atha hanya tertawa, sementara Fara diam-diam menyembunyikan wajahnya yang sedikit memerah.
"Ra, itu Sabeum Sin, pelatih gue yang nggak pernah ganti padahal gue udah bosen banget sama dia." Digma mulai memperkenalkan pelatihnya, dan beralih menunjuk Atha. "Ah males gue ngenalin lo."
"Ya udah gue kenalan sendiri." Atha mengulurkan tangannya kepada gadis itu lalu disambut dengan ramah oleh Fara. "Gue Atha, backingannya Digma. Karena Digma udah bawa lo ke sini, itu berarti misinya ketauan kan?"
Digma dengan cepat memisahkan jabatan tangan mereka. "Kenalan doang lama amat pegangannya. Modus kan lo?"
"Cemburu lo kelihatan!" sindir Atha sambil berjalan ke arah loker, hendak menaruh perlengkapan taekwondonya.
Melihat Atha menjauh, Digma berbisik menyuruh Fara menunggunya sebentar. Ia pun berlari menyusul Atha. "Tha, misi gue hampir selesai."
"Selesai atau udah ketahuan?"
"Ketahuan Fara doang, sisanya aman."
"Lo yakin dia bisa dipercaya?" Atha melirik Fara dibelakang sekilas sebelum lanjut meletakkan barang-barangnya di loker.
Digma menutup loker secara paksa. Membuat bunyi nyaring di ruangan yang sepi. "Cuma Fara yang bisa gue percaya di sekolah."
Atha menatap Digma tak berekspresi. "Terus maksud lo hampir selesai gimana?"
"Gue udah punya bukti rekaman pake CCTV sekolah. Nih, kamera lo. Thanks buat semuanya, Tha."
"CCTV sekolah? Lo yakin nggak mereka hapus sebelum lo minta?"
Digma terdiam. Ia telah melupakan hal yang paling penting.