Bel pulang sekolah baru saja berbunyi. Lorong-lorong kelas langsung dipenuh dengan anak-anak yang buru-buru pulang ke rumah. Digma berjalan santai, tangannya masuk ke saku celana, sementara matanya terus memantau sekitar. Langkahnya berderap cepat menuju lapangan belakang, tempat yang menjadi titik pertemuan. Sambil berjalan, dia melepas satu earphone dari telinganya dan mulai menelpon seseorang.
"Atha, lo masih mantau, kan?" tanya Digma pelan namun tegas.
Dari seberang, suara Atha terdengar, sedikit berisik seperti sedang berada di tempat ramai. "Iya, Bro. Gue standby. CCTV masih aman."
Digma mengangguk kecil, walaupun Atha tidak bisa melihatnya. "Bagus. Kalo ada gerakan aneh, kasih tahu gue langsung."
"Siap, bos!" seru Atha sebelum sambungan terputus.
Saat tiba di lapangan belakang, mata cowok tinggi itu langsung menangkap sosok Gery dan gengnya sedang berkumpul sambil merokok. Asap putih membumbung, bercampur dengan bau khas tembakau yang membuat udara di sekitarnya semakin sumpek. Gery, dengan jaket kulit hitamnya, berdiri di tengah. Matanya langsung mengunci ke arah Digma begitu dia datang.
Gery menyeringai, melempar rokoknya ke tanah dan menginjaknya. "Lo telat, Dig."
Digma tetap santai dengan tangan masih di saku. "Lo yang terlalu buru-buru."
Gery maju beberapa langkah, membuat jarak di antara mereka semakin menyempit. "Gue mau kunci jawaban UAS besok."
Digma tersenyum sinis. "Lo segitu nggak percayanya sama otak sendiri, sampe butuh contekan?"
Emosi Gery mulai terpancing. Rahangnya mengeras, dan anak buahnya mulai saling melirik. Suasana berubah panas dalam sekejap.
"Jaga mulut lo!" desis Gery.
Berbanding terbalik dengan emosi Gery, Digma justru semakin santai. Ia bahkan sedikit miringkan kepalanya dengan ekspresi mengejek. "Gue cuma tanya. Atau emang otak lo nggak bisa dipake tanpa nyontek?"
Itu pemicu. Tanpa aba-aba, Gery melayangkan tinjunya ke wajah Digma. Bugh! Satu pukulan telak mendarat di pipi kiri Digma, membuat kepala cowok itu sedikit oleng. Tapi cowok itu tidak terjatuh, malahan menyunggingkan senyum puas.
"Pukulan lo melemah?" tantang Digma.
Gery makin geram. Dia memberikan satu pukulan lagi, kali ini ke perut. Digma tersentak, namun tetap berdiri. Sementara geng Gery bersorak di belakang mereka bersorak ramai, menikmati pertunjukan brutal itu.
Di sela pukulan, HP di kantong Digma bergetar. Dengan susah payah, dia mengangkatnya. "Kenapa, Tha, cepet!" buru Digma sebelum pukulan baru melayang lagi.
Suara Atha terdengar panik. "Bro, CCTV-nya mati! Baterainya habis pas lo mulai dihajar!"
Digma mengumpat dalam hati. "Sial!"
Digma terdiam sejenak sambil menatap mereka. Situasi sekarang menunjukan bahwa, rekaman bukti Gery memukulnya tidak berhasil ia dapatkan. Dia harus keluar dari sini sebelum lebih parah. Gery bersiap memberikan pukulan lagi, tapi kali ini Digma lebih gesit. Dia menghindar dengan lincah, mulai masuk mode bertahan.
Ketika salah satu anak buah Gery ikut menyerang, Digma langsung melompat ke samping, menangkis dengan cepat. Ia berusaha menghindar namun tetap menahan agar teknik taekwondo tetap tidak terbaca oleh mereka. Satu per satu pukulan musuhnya dia hindari. Hal itu membuat mereka mulai frustasi.
Tiba-tiba, suara langkah cepat terdengar. "Digma!"
Digma melirik dan kaget. Fara?
Cewek itu berlari ke arahnya dengan wajah panik.
"Balik!" seru Digma, tapi Fara tetap maju.
Digma berdecak keras. Ia mengacak rambut kasar. Kenapa gadis itu selalu muncul di waktu yang tidak tepat dan membahayakan dirinya?
Sebelum sesuatu yang buruk terjadi, Digma langsung menarik tangan Fara dan kabur dari sana. Gery dan gengnya berteriak memanggil nama mereka. Untung saja mereka tidak mengejar hingga parkiran sekolah.
Di parkiran motor, Digma menyodorkan helm kepada Fara. "Naik!"
Fara ragu sejenak, tetapi pada akhirnya menuruti perintah cowok itu. Motor mulai melaju menuju rumah Fara, dan di sepanjang jalan, Fara memulai percakapan.
"Ra, kalo besok lo liat gue sama Gery, plis, jangan mendekat," pinta Digma.
"Lo nggak boleh berduaan sama Gery," bantah Fara keras kepala.
"Gue bakal baik-baik aja, Ra."
"Lo bisa kenapa-napa, Dig."
"Gue janji."
"Tapi lo–" ucapannya terputus karena lampu merah yang tiba-tiba menyala di perempatan membuat Digma mengerem mendadak motornya.
Refleks, Fara pegangan di pinggangnya. Digma menahan napas. Sial. Jantungnya mendadak berdetak dua kali lebih cepat. Tubuhnya membeku beberapa saat.
Sesampainya di rumah Fara, Digma langsung memberikan kunci motor kepada Rey.
"Makasih, Kak Rey."
"Gue yang harusnya terima kasih, Dig," ucap Rey tulus.
Membuat Digma sedikit terkejut. Mengingat terakhir kali pertemuan mereka tidak dalam keadaan baik-baik.
"Kenapa, Kak?" Digma memandang ragu.
"Fara udah cerita semuanya."
Digma mengangguk-angguk kaku, masih belum mengerti. "Cerita apa, ya, Kak?"
"Tentang lo yang selalu nolongin dia di sekolah."
Digma melirik ke arah Fara. Meminta penjelasan.
"Thanks ya, udah jagain adek gue. Lo kemarin pulang sampai rumah dengan selamat kan?"
"Hmm ... bisa dibilang gitu," jawab Digma ragu.
Rey menepuk bahu Digma. "Untuk kedepannya lo harus hati-hati. Kalo ada apa-apa lo bisa telpon gue juga. Ra kasih nomor telpon gue."
"Nggak mau, nanti Abang cerita macem-macem ke Digma," cibir Fara. Matanya menyipit. Menatap abangnya tak percaya.
Rey terkekeh kecil. Ia lalu membisikan sesuatu ke Digma. Membuat cowok itu tertawa pelan.
Usai Rey kembali ke dalam rumah, Fara menuntut Digma memberikan penjelasan tentang apa yang tadi abangnya bilang.
"Nggak ada, Ra," jawab Digma pelan.
"Bohong. Bang Rey pasti ngomong macem-macem kan tentang gue?"
"Ngga ada, Fara," kekeh Digma berbohong. Jelas tadi Rey berkata sesuatu padanya.
"Fara itu emang berusaha terlihat berani tapi aslinya dia penakut. Tolong gantiin gue, jaga dia di sekolah."
"Tapi kenapa lo bilang kalo gue yang selalu nolong lo. Kan lo juga nolong gue walaupun ya ... gue berharap lo nggak nolong gue."
"Kenapa lo berharap gue nggak nolong lo?"
"Kerena nanti urusannya jadi panjang. Dan lo bisa kenapa-napa."
"Lo juga bisa kenapa-napa."
"Gue nggak akan kenapa-napa."
Fara terdiam. Ucapan Digma kembali mengaitkannya pada seragam taekwondo yang ia temukan tempo hari.
"Dig. Kenapa lo khawatirin gue sedangkan gue nggak boleh khawatirin lo."
"Karena lo ... penting."
Beberapa detik mereka saling bertatapan. Ada perasaan aneh yang Digma rasakan setiap menatap wajah gadis tinggi di depannya. Digma merasa, rambut sebahu yang dibiarkan tak diikat itu sangat indah terkena sedikit desiran angin. Kulit mulus nan bersih itu terlihat lebih putih terkena sinar matahari. Apalagi pipi gadis itu yang merona senada dengan warna bibirnya. Benar-benar cantik di mata cowok itu.
Digma tersentak. Ia mengusap tengkuknya kikuk. Ia dengan cepat menyalakan mesin motornya dan pamit kepada Fara.
Cowok itu pun berlalu dari sana. Meninggalkan Fara yang masih berdiri di tempatnya memandang punggung Digma yang semakin menjauh. Pikirannya masih diliputi banyak tanda tanya. Tapi ia belum berani bertanya. Soal seragam taekwondo yang dilihatnya pagi tadi. Apakah mungkin Digma menyembunyikan sesuatu darinya?
Tanpa banyak berpikir lagi, Fara berlari mengambil motor miliknya. Ia memutuskan akan mengikuti cowok itu diam-diam. Ia harus membuktikan kecurigaannya sekarang.
Setelah berusaha menyeimbangkan motornya dengan kecepatan motor Digma, Fara pun tiba di sebuah gedung bertuliskan Thunder Club Taekwondo. Ia memarkirkan motornya di seberang gedung.
Sampai saat ini, Digma sama sekali tak menyadari kehadiran Fara. Ia sibuk menyapa beberapa anak yang sudah memakai seragam taekwondo serba putih.
Fara mulai mengendap-endap mendekati area gedung setelah dirasa cukup sepi. Dari balik kaca jendela, mata gadis itu tak berkedip melihat Digma yang sedang berlatih beberapa gerakan taekwondo. Gerakannya cepat dan kuat. Napasnya tertahan, jantungnya berdetak cepat. Cowok itu melayangkan tendangan tinggi dengan presisi sempurna, membuatnya terkesiap kagum.
Jadi, selama ini lo... batinnya tertegun melihat kemampuan Digma. Ia bahkan tak sadar sudah menyenggol tempat sampah di sebelahnya.
Bunyi nyaring langsung terdengar hingga semua anak di dalam gedung melirik ke sumber suara. Fara dengan cepat berjongkok, bersembunyi di balik dinding bawah jendela.
Tapi Digma sudah mulai melangkah ke arah jendela. Matanya menyipit curiga.
Di tempatnya, Fara menahan napas. Gue ketahuan nggak ya?