Langkah Fara terburu-buru, napasnya naik turun tak beraturan. Matanya gelisah melirik ke belakang, memastikan sosok yang terus mengejarnya tadi tak lagi terlihat. Tapi baru saja ia berbelok ke arah lorong timur, suara langkah cepat itu kembali terdengar.
"Kak Fara!"
Fara sontak menoleh. Aica — adik kelas yang terlalu penuh semangat itu — berdiri dengan tangan di pinggang, wajahnya merah padam. "Kak, jangan kabur lagi! Ya ampun, Kak, kapan sih lo bener-bener jadi ketua PKS?!" Aica dengan cepat menahan tangan Fara.
Fara yang telah tertangkap kini menunduk. Bibirnya tertahan. Ia ingin membela diri tapi suara Aica terus mengalun seperti sirene ambulans.
"Lo tuh ketua PKS, Kak. Bukan figuran sinetron. Tugas lo bukan cuma catat pelanggaran mereka di buku, tapi juga ngadepin langsung anak-anak bandel itu!" Aica menyodorkan buku cek rambut dengan emosi, "Jam istirahat kedua nanti, sidakan rambut. Lo yang harus pimpin."
Fara menelan ludah. Sidakan rambut berarti harus berhadapan dengan para cowok gondrong yang setengahnya lebih mirip preman pasar daripada anak sekolah. Dan yang lebih buruk lagi—Fara tahu—beberapa dari mereka adalah kroni Gery.
Aica tak tahu. Tak akan pernah tahu. Bahwa Fara tak pernah benar-benar ingin jadi ketua PKS. Semua ini gara-gara Gery. Cowok brengsek itu menunjuk nama Fara sendiri saat rapat pembina PKS. Bu Ega? Diam saja. Seolah kata-kata Gery lebih tinggi dari suara seorang guru.
Fara memejamkan mata sejenak. Nafasnya dalam. Oke. Kali ini dia harus bisa.
Jam istirahat kedua berdering. Lapangan depan sekolah penuh dengan siswa laki-laki yang disuruh berbaris oleh beberapa anggota PKS. Namun situasinya masih kacau. Anak-anak itu tertawa, bercanda, dan beberapa sengaja mengacak-acak barisan.
Di tengah kekacauan itu, Fara berdiri dengan tangan gemetar. Suaranya tercekat. "Tolong ... baris yang rapi ...," ucapnya pelan.
Tak ada yang dengar dan tak ada yang peduli.
Seorang cowok gondrong meliriknya sinis. "Lo ngomong apa komat-kamit?"
"Cepetan! Ntar Pak Daryo nyukur lo asal-asalan," bentak Aica. Ia akhirnya memilih ikut berteriak karena terlalu gemas dengan sikap Fara yang penakut.
Hingga tiba-tiba, suara berat terdengar dari belakang Fara. "Lo semua, baris. Sekarang."
Suara itu dingin. Datar. Namun cukup membuat udara di sekeliling mendadak berubah.
Anak-anak itu menoleh. Di balik punggung Fara, berdiri Digma dengan seragam yang masih terlihat bekas basah dan rambut yang menutupi sebagian luka di pelipisnya. Matanya menyorot tajam dan tegas. Memaku mereka satu per satu.
"Gue bilang, baris," ulangnya dengan nada lebih pelan, namun justru terdengar lebih mengancam.
Dan tanpa disadari, satu per satu anak-anak itu mulai bergerak. Perlahan mereka membentuk barisan.
Fara membeku. Antara terkejut, kagum, dan ... lega.
Ia menoleh ke belakang. Mata mereka saling bertemu. Digma hanya melirik singkat, lalu kembali menatap depan. Seolah kehadirannya memang ditakdirkan untuk menyelamatkan gadis itu. Namun momen itu hanya berlangsung sesaat.
"Wah, wah, wah ... sidak rambut nih, ya?" Suara Gery terdengar dari sisi lapangan. Gengnya menyusul dari belakang. Bersama gaya santai dan senyum menyebalkan khas mereka.
Wajah Fara langsung memucat.
Gery mendekat, menatap barisan anak-anak gondrong dan mengangkat satu alis. "Pada takut sama siapa nih? Ketua PKS-nya? Atau ... dia?" Gery menunjuk Digma dengan dagu. "Lagian, ngapain sih lo sok-sokan beresin mereka?"
Seketika Gery merangkul Digma dan menyeretnya paksa. "Lo ikut gue. Sekarang."
Fara ingin maju, namun langkahnya seperti dikunci. Tangannya gemetar lagi. "Tunggu—"
Digma menoleh sekilas ke Fara. Wajahnya tenang. Namun Fara dapat melihat sesuatu yang disembunyikan di balik ketenangan itu.
***
Kantin belakang. Markas utama Gery dan gengnya. Di sana, Digma berdiri di depan meja reyot, dikelilingi Gery dan antek-anteknya.
"Gue cuma mau lo jadi cowok sejati. Nih," ucap Gery sambil menyodorkan sebatang rokok. "Isap."
Digma menatap rokok itu. Wajahnya tetap tenang. Tapi di dalam pikirannya, berputar cepat. Ia sangat membenci rokok. Bahkan baunya saja sudah membuatnya muak. Namun sekarang, jika ia mengelak...?
Digma akhirnya mengambil batang itu sebelum Gery mulai menghajarnya lagi. Ia sudah cukup lelah menahan amarah cowok itu.
Gery mulai menyalakan pemantik. Api kecil menyala. Gery mengangkatnya, mendekatkan ke ujung rokok dan mulai menyalakan rokok milik Digma. Namun matanya tak hanya menatap rokok itu—ia melirik ke arah taman belakang. Ada dua sosok mendekat. Tapi hanya dia yang sadar. Satu sosok tinggi dan berwibawa—Pak Daryo dan satu lagi Fara dengan wajah panik dan tergesa.
"Cepetan. Isap sekarang!" bisik Gery, senyumnya menyeringai.
Digma hanya menatap asap itu, kosong.
Langkah Pak Daryo semakin mendekat. Namun Digma masih belum menyadarinya. Dunia terasa mengecil, hanya ada wajah Gery, api, dan tekanan.
Hingga akhirnya, suara berat Pak Daryo terdengar menggelegar.
"HEI! APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI?!"
Digma yang terkejut membeku dengan rokok masih menyala di tangan. Matanya melebar saat menoleh dan melihat—Pak Daryo dan Fara memandangnya tak percaya.
Sementara Gery menyeringai puas di samping Digma. Wajahnya menyala oleh kesenangan. Ia akhirnya berhasil menjebak Digma dan membuat reputasi cowok itu buruk di mata para guru.