Lima hari yang lalu.
“Digma, gue balik ya!” teriak Atha, teman satu klub taekwondo Digma dari luar pagar, mengibaskan tangan sebelum motornya berlalu dari depan rumah.
“Gue juga langsungan ya!” teriak teman-temannya yang lain mengikuti kepergian Atha. Biasanya, karena rumah Abian, sahabat Digma, paling dekat dengan klub taekwondo, terkadang mereka suka mampir sebentar walaupun hanya untuk ‘mabar’ alias main bareng. Tapi karena durasi latihan sore ini lebih lama dari biasanya, membuat mereka lumayan lelah dan ingin cepat tiba di rumah.
Digma yang baru memarkirkan motornya di depan rumah Abian, lalu menoleh dan mengibaskan tangan balik menjawab teman-temannya. Setelah melepas helm, cowok itu melepas resleting jaket hitam yang ia pakai dan mulai mengetuk pintu rumah.
“Assalamu’alaikum, Bunda! Bun! Bunda!” panggil Digma semangat. Sejak persahabatan mereka dari umur 5 tahun, sejak saat itulah Bunda Abian adalah Bunda Digma juga. Cowok itu melongok ke jendela depan yang terhubung langsung ke ruang tamu. Samar akhirnya terlihat Bunda membukakan pintu.
“Hai, Bunda!” girang Digma yang langsung menyalimi tangan Bunda. “Besti aku mana, Bun?”
“Waalaikumsalam. Udah lama nggak main, dateng-dateng yang dicariin cuma Abian,” sindir Bunda yang langsung menuju ke arah dapur.
Digma yang belum dipersilakan masuk, juga langsung ke kamar Abian yang letaknya di samping kiri ruang tamu. “Ya kalo nyariin Bunda takutnya dimarahin Ayah Teddy dong, hehe,” canda Digma sambil cengengesan.
Sambil menuangkan susu kemasan ke gelas kaca, Bunda tertawa. Kenapa jadi suaminya dibawa-bawa. Digma emang paling pandai mencairkan suasana.
“Loh, Abian mana, Bun?” bingung Digma setelah melihat kamar Abian yang kosong.
“Udah semingguan ini, Abian sering pulang telat, Dig. Tiap pulang juga nggak pernah bilang apa-apa,” jelas Bunda yang membuat Digma terbesit rasa khawatir. “Lagian kenapa, sih, kamu ngga satu sekolah aja sama Bian? Biar Bunda nggak khawatir gini, lho.”
“TK udah sekelas, SD dari kelas satu sampe enam udah sekelas, SMP juga sekelas. Wajar, Bun, kalo Bian pengen beda sekolah sama aku,” terang Digma menenangkan Bunda. “Tenang aja, Bunda. Pasti Bian sebentar lagi pulang.”
Bunda tak menjawab, hanya diam dan menaruh susu yang sudah ia siapkan ke meja makan. “Nih diminum dulu, Dig. Bunda belum masak sore ini, rasanya nggak tenang kalo Bian belum pulang.”
Sambil menyesap susunya, Digma kembali masuk ke kamar Abian. Kamar seluas 3×4 meter itu terlihat rapi dengan kasur, lemari pakaian dan meja belajar yang diletakan dengan baik. Dindingnya dihiasi dengan berbagai bentuk dan ukuran figura yang menampilkan senyuman dari Abian, Bunda, ayahnya Abian dan Digma dalam berbagai kenangan manis. Saat upacara kelulusan TK, pentas seni SD, Tarian Abian dan Digma saat SMP, Abian yang makan es krim bersama Digma, Abian yang menangis saat ulang tahunnya yang ke delapan tahun, dan masih banyak kenangan manis lain yang membuat bibir Digma tanpa ia sadari mulai tersenyum.
Kebiasaan Digma setelah menghabiskan minumannya, langsung meletakan gelas di sembarang tempat termasuk meja belajar Abian. Membuat secarik kertas dari rak kecil di meja jatuh karena terkena getaran gelas yang ditaruh kasar itu.
Kertas itu bertuliskan “AKU MUAK SAMA KALIAN!” dengan tulisan dari pensil yang dibuat dengan sedikit ditekan dan berantakan oleh penulisnya. Mata Digma terpaku sejenak. Pikiran buruknya tiba-tiba melayang ke masa lalu saat Abian kecil menangis dan berteriak persis seperti yang tertulis di kertas itu.
Dengan degup jantung yang seketika bertambah cepat, Digma buru-buru membuka setiap buku yang ada di meja belajar Abian. Berusaha menemukan hal yang mulai mengganjal di pikirannya. Dan saat sebuah buku penuh coretan terlihat, saat itulah Digma tahu, Abian selama ini merahasiakan sesuatu.
Tanpa berlama-lama, Digma segera mengambil ponselnya dan menelpon Abian. Satu detik … dua detik ... tiga detik ... dan akhirnya hanya suara operator yang menerima panggilannya. Tak sampai di situ, ia terus mencoba menghubungi Abian dua hingga tiga kali dan saat panggilan yang keempat kali, akhirnya suara laki-laki berumur lima puluh tahunan menyahut dari balik telepon.
[“Ha-halo?”] tanya bapak itu gugup.
[“Iya halo, Pak? Ini dengan siapa? Bisa bicara dengan Abian?”] tanya Digma sambil mengatur napasnya. Suhu tubuhnya kini mulai meningkat menahan ketakutannya.
[“Maaf, ini … pemilik ponsel ini pingsan di gang. Saya bisa menghubungi siapa ya”?]
Digma terdiam. Tangannya mulai mengepal keras menahan amarah. [“Tolong kirimkan saya saja alamat lengkap tempat kejadian.”]
Setelah sekilas membaca alamat, Digma dengan cepat meraih tasnya dan mulai menyalakan mesin motor. Bunda yang sengaja tidak Digma beri kabar hanya dapat terdiam menatap kepergian cowok itu yang tiba-tiba.
Hari mulai gelap. Motor scramble hitam Digma melaju dengan kecepatan 90km/jam. Semua kendaraan ia salip bahkan dinginnya malam tak dirasakannya lagi. Di balik helm full face hitamnya, Digma memikirkan setiap tulisan yang ia temukan di buku Abian tadi.
Aku bukan bahan seru-seruan!
Aku nggak mau jadi pesuruh!
Semua pukulan itu menyakitkan!
Punggungku juga bukan tempat duduk kalian!
Susu yang kalian tumpahin, kalian minum saja sendiri!
Tawa kalian sangat menakutkan!!
Mata Digma memanas. Rasanya kini suhu tubuhnya sudah mulai mengalir hingga ke mata. Kedua alisnya tertaut marah. Ia tak dapat memaafkan dirinya sendiri jika sesuatu yang buruk terjadi pada Abian. Sepanjang jalan ia hanya bisa berdoa, sahabatnya itu tidak kenapa-napa.
Tapi setibanya di sana, persis di gang belakang sekolah Abian, tubuh Digma terasa lemas. Semua mimpi buruknya menjadi kenyataan. Abian yang lemah, Abian yang pendiam, terbujur tak sadarkan diri, penuh darah dan lebam.
“Bi, Bian!” teriak Digma mencoba membangunkan Abian. Suaranya sedikit bergetar. “Abian!” Kedua tangannya mengguncang tubuh Abian keras, berharap dengan itu sahabatnya segera bangun. “Ah! Brengsek!” umpatnya marah membayangkan betapa menderitanya Abian selama ini. Alisnya tertaut marah, rahangnya mengeras, hingga urat lehernya terlihat. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tak akan pernah melepaskan orang yang telah membuat sahabatnya seperti ini.
Digma tak tahan melihat kondisi Abian sekarang. Rambut berantakan, kacamata pecah sebelah, seragam penuh kotoran dan sedikit darah, wajah penuh lebam serta kepalanya seperti terbentur hingga mengeluarkan darah membuat Digma semakin kalut dan marah pada dirinya sendiri karena tak becus menjaga Abian.
Setelah ambulan tiba, Abian segera dibawa ke rumah sakit dan Digma segera memberitahu Bunda soal kecelakaan Abian.
Di rumah sakit, Bunda tak henti-hentinya menangis dan memukul-mukul kecil dada bidang Digma. Bunda seperti sudah tidak punya tenaga lagi setelah menangis selama lebih dari tiga jam.
“Kan, udah Bunda bilang, Digma tolong jagain Bian!” marah Bunda hingga suaranya bergetar. “Bian tuh lemah, ngga pernah bisa jaga diri, pendiem, tertutup, kalo ada apa-apa nggak pernah mau bilang ke Bunda atau Ayah, tapi sama Digma … sama Digma, Bian mau cerita!”
Bunda menarik napasnya dalam-dalam. “Tapi Digma jahat, bikin Bian jadi masuk ICU kaya gini! Kan, Digma udah janji sama Bunda kalo Bian nggak akan kenapa-napa lagi? Digma lupa?”
Digma yang terus menerus menerima amarah dari Bunda hanya bisa diam. Diam dengan kedua tangannya terkepal rapat. Rahangnya mengeras. Napasnya tercekat dan matanya hanya bisa tertunduk malu. Selain Bunda yang marah pada dirinya, ia juga malu pada diri sendiri. Rasanya segala kekuatan yang ia punya sekarang terlihat tak ada gunanya.
Setelah dokter mengabarkan bahwa Abian kini mengalami koma. Bunda yang mendengarnya langsung pingsan, Ayahnya Abian berusaha menolong Bunda, dan Digma yang kalut hanya memikirkan siapa manusia bajingan yang membuat Abian menjadi seperti ini.
Tanpa aba-aba, tangan Digma terkepal kuat meninju tembok putih di dekatnya. Rasa sakit dan perih lalu menjalar. Tapi, tetap saja tak sebanding dengan sakit di dada yang mengerubungi hatinya. Suara pukulan Digma cukup menggema di lorong rumah sakit yang sepi. Membuat beberapa perawat dan dokter yang berjaga melongok kaget dan hampir memberitahu satpam rumah sakit jika Digma tidak segera berlalu dari sana.