BRUK!
Tubuhnya ditarik paksa masuk toilet. Pukulan pun datang bertubi-tubi. Pipi, perut, hingga tubuhnya dibanting dengan keras ke tembok. Bau pesing dan dinginnya lantai kini tak ia hiraukan lagi sebab tawa rendah di sekelilingnya lebih terdengar menjengkelkan di telinga.
“Lo mulai main-main sama gue? Lo sengaja bikin nilai gue jelek?” ancam Gery penuh emosi. “Lo pikir gue bakal terima gitu aja?”
Digma mendongak. Meski berdarah, senyumannya tetap terlihat. “Gue nggak berani main-main sama lo. Lo yang bego naruh harapan sama gue.”
BUK! Tendangan baru menghantam Digma. Kepalanya terantuk pinggiran closet berdiri.
Gery tertawa pelan, namun mengerikan. Dia memberikan kode ke Alex. “Susu basinya. Sekarang.”
Alex buru-buru menuruti perintah sang ketua. Sekotak susu itu berpindah tangan dan seketika isinya disiram ke kepala Digma. Lengket, dingin dan bau busuk cowok itu rasakan saat itu juga.
“Kita lihat sampe kapan lo bertahan,” bisik Gery sebelum pergi.
Saat pintu tertutup dan suara langkah mereka menjauh, Digma tetap di tempat. Terdiam hingga perlahan bangkit. Tangannya mencengkeram pinggir wastafel. Nafasnya berat. Namun matanya menyorot bayangannya di cermin dingin. Kepalanya yang kaku, ia putar ke kanan kiri perlahan. Pegal rasanya harus selalu menatap laki-laki bajingan itu. Tak lupa ia mengelap kasar sedikit darah dari luka di ujung bibir.
“Sialan! Pukulan tuh anak tiap hari tambah kuat aja.” Digma memutar lengan kanannya, mulai merasakan nyeri di tulang belikat.
Lalu suara pelan masuk dari arah pintu.
“D-Digma?!”
Fara.
Gadis itu langsung lari ke arah Digma dengan wajah pucat. Matanya melebar penuh panik dan napasnya tersengal, seolah ia habis lari dari tempat yang jauh.
“Lo—lo kenapa kayak gini?!” suara Fara bergetar. Tangannya pun ikut gemetar saat menyentuh bahu Digma. “Pasti ini ulah Gery… dia yang—”
“Gue nggak papa,” potong Digma cepat. “Jangan deket-deket, baju lo bisa bau susu basi.”
“Dig!” bentak Fara, suaranya mulai pecah. Air matanya hampir tumpah. “Lo berdarah, Dig …, Lo luka …”
Digma menatap lurus Fara dengan dalam. “Lo nggak usah ikut campur.”
“Gue harus ikut campur!” balas Fara. “Gue ketua PKS. Tugas gue—”
“Ketua PKS tapi takut sama Gery?” tanya Digma pelan, namun nadanya tajam.
Fara terdiam. Wajahnya mengeras dan matanya mulai goyah. Tangan yang tadinya mencengkeram seragam Digma kini perlahan lepas.
“Gue …” Fara menggigit bibir bawahnya. “Gue emang takut, Dig. Lo nggak tahu siapa dia. Lo baru di sini. Tapi gue—gue udah ngelihat cukup banyak buat tahu seberapa gilanya dia.”
Digma mundur perlahan. Darah masih mengalir tipis dari bibirnya.
“Terus kenapa lo peduli sama gue?”
Fara tak langsung jawab. Ia menarik napas. Dalam.
“Karena gue nggak tahan lihat orang lain ngalamin hal yang sama kayak yang pernah gue liat,” suaranya lirih, nyaris seperti bisikan.
Seketika, suara langkah terdengar dari luar. Suara perempuan.
“Kak Fara! Lo di mana?!”