Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dalam Satu Ruang
MENU
About Us  

Pagi ini, pukul enam lebih dua puluh, Kalila sudah berjalan dari gerbang sekolahnya menuju ke kelas. Dia jarang sekali berangkat sepagi ini, tapi karena Ibunya akan pergi ke luar kota. Mau tidak mau Kalila mengikuti jam berangkat Ibunya.

Koridor masih sepi, bahkan Pak Yono — tukang bersih-bersih sekolah — pun baru saja selesai menyapu halaman depan ruang guru.

"Pagi, pak," sapa Kalila saat melewati Pak Yono.

"Pagi." ujarnya singkat sebelum akhirnya melanjutkan tugasnya kembali.

"Pagi juga, Kalila." suara lain menyapanya.

Kalila mengernyit dan menoleh. Seseorang kini sedang memakirkan sepeda listriknya di parkiran yang telah disediakan di halaman depan. Jaraknya tak jauh dari keberadaan Kalila yang kini masih di koridor.

Setelah memastikan kendaraannya sudah terparkir dengan baik. Dia pun berjalan mendekati Kalila yang kini masih menatapnya.

"Pagi, Kalila." sapanya lagi dengan tangan yang dilambaikan ke depan muka gadis itu.

"Ebi, ya?"

Ebi tertawa kecil. "Iya. Lu belum hafal sama muka gue, kah?" tanyanya lalu ketawa sendiri.

"Hafal, sih. Cuma ... kurang familiar aja."

Ebi tertawa lagi. Membuat Kalila keheranan. Apakah cowok itu mengalami hari yang menyenangkan pagi ini? sering sekali dia tertawa. Dan lagi, kenapa pagi ini dia terlihat sama berantakannya dengan pertama kali mereka bertemu. Padahal hari ini masih pagi. Apakah dia berlari dulu sebelum mengendarai sepeda listriknya?.

Kalila mengangkat bahunya. Berusaha untuk tidak memikirkan hal itu pagi ini. Tapi tidak bisa, karena saat mereka berjalan bersama, melewati kelas demi kelas. Kalila melihat dari sudut matanya, cowok itu sesekali menguap, menggosok matanya, lalu tersenyum kepada siswa lain yang berpapasan dengan mereka. Kalila terheran-heran, bagaimana bisa dia berangkat sekolah dengan keadaan seperti itu.

"Gue duluan, ya. Kelas gue di atas." pamit Ebi dan membuat Kalila sedikit terkejut.

"Eh, Iya ... oke." ujar Kalila

"Dadah, Kalila. Semoga muka gue cepat familiar, ya." ucap Ebi dengan kekehan kecil di akhir kalimat.

"Iya. Dadah." Kalila melambaikan tangannya. Kemudian, entah mengapa, matanya mengikuti punggung pemuda itu. Seketika dirinya terkesima dengan bagaimana jalannya yang begitu tegap padahal keadaan seragamnya kusut dan kerah dasinya tak rapih. "Sayang banget nggak, sih. Kalau punya tubuh kayak gitu nggak digunain buat jadi paskib." gumamnya.

Pada saat punggung Ebi sudah tak terlihat lagi, saat itu pula Kalila tersadar. "Gue ngapain, sih." ujarnya sembari mengibas-ngibaskan tagannya ke udara. Lalu kembali melanjutkan jalannya seraya mengutuki pikirannya barusan.

Setelah sampai di depan kelas, Kalila langsung membuka pintu. Terlihat Rua, teman sebangkunya, terkejut melihat kedatanganan Kalila.

"Tumben pagi." ujar Rua.

"Iya." Kalila berjalan ke bangkunya dan menaruh tasnya di sana.

Buku-buku yang berserakan di meja mereka membuat Kalila heran. Dia mengambil salah satu buku dan membaca sampulnya. "Buku kreatif osis?"

Rua menoleh dan tersenyum. "Buku-buku osis lagi gue bawa ke sini. Maaf ya. Bentar lagi gue beresin."

Kalila mengangguk kecil. "Santai aja."

Kalila pun duduk di kursinya dan mengambil ponsel untuk mengabari Ibunya kalau dia sudah di kelas. Namun, satu pesan masuk membuatnya menaikan sebelah alisnya.

[Maaf, Kal. Gue lupa harus kontrol dokter hari ini. Pulang barengnya kapan-kapan aja ya.]

Pesan itu dari Ravin. Kalila jadi ingat kalau kemarin dirinya juga diberitahu akan hal itu, tapi malah Ravin mengajak Kalila pulang bareng di hari yang sama dengan jadwal dia kontrol, membuatnya sedikit heran. Namun hal selanjutnya yang ia lakukan adalah mengetikan sesuatu untuk membalas pesan Ravin.

[Iya kan, gue juga baru inget kemarin lu juga ngasih tau. Gampang kapan-kapan aja. Cepet sembuh, ya.]

"Kemarin gue ketemu Kak Aarav di parkiran motor pas balik rapat osis." tanya Rua yang masih dengan aktivitasnya menulis sesuatu di salah satu buku yang berserakan di meja. "Katanya lagi nungguin lo."

"Oh, iya." Kalila menyimpan kembali ponselnya di tas.

"Ada kegiatan, kah?" tanya Rua.

Kalila mengangguk, "ada tugas dari Bu Karin."

"Bu Karin?" Rua berhenti menulis lalu menoleh ke arah Kalila, "bukannya lagi cuti?"

Kalila menaikan kedua alisnya lalu mengangguk. "Program beliau gitu. Lagi dilanjutin sama empat orang, termasuk gue."

"Yang di ruang konseling belakang itu?" tanya Rua.

Kalila mengangguk kembali.

Kini Rua menutup bukunya dan menatap Kalila. "Yang bareng Ravin si red flag dan Gwen si emo nggak, sih?"

Kalila mengernyit, "red flag sama emo?"

"Ih.. " Rua kini meluruskan duduknya untuk berhadapan dengan Kalila. "Lu nggak denger berita mereka berdua?"

Kalila menggelengkan kepalanya.

"Ravin anak XI C yang juga anak karya ilmiah remaja, terkenal karena suka deketin cewe tapi abis itu ditinggal." ujar Rua dengan mata yang menyipit tajam dan perkataan penuh tekanan. "Pokoknya lu jangan deket-deket sama dia."

"Masa sih, gitu." Kalila mengibaskan tangannya ke depan wajah Rua, "nggak mungkin gitu, lah."

"Yaudah kalau lu nggak mau percaya."

"Trus kok Gwen disebut cewe emo?" Kalila yang biasanya tidak terlalu penasaran dengan hal-hal kayak gitu, tapi entah kenapa dia jadi penasaran kali ini.

"Gwen dulu juga anak osis dan deket banget sama salah satu cowok, kayaknya mereka udah temenan dari kecil, deh. Tapi semenjak cowo itu pindah sekolah, Gwen yang dulunya anak aktif dan ceria tiba-tiba jadi murung bahkan sampai keluar dari osis. Trus pada saat itu ada salah satu anak osis nyeletuk dia cewek emo. Itu, loh, trend tiktok yang pake sound Monster, How should i feel." Rua bernyanyi dengan tangan kanannya menutupi setengah wajah dan menampilkan ekspresi mata sedih dengan mulut yang dipoutkan.

"Enggak mungkin lah. Hiperbolanya kelewatan." Kalila menegakan duduknya. Omongan Rua barusan sangat tidak masuk akal.

"Kalau nggak percaya. Ya udah." Rua mengangkat kedua bahunya lalu kembali menuliskan sesuatu di bukunya.

Namun hal itu mampu membuat Kalila berfikir. Apakah teman yang baru ia kenal beberapa hari lalu sesuai dengan apa yang diucapkan Rua. Tanpa sadar tangan Kalila naik, menutupi sebelah wajahnya, lalu dalam hatinya tiba-tiba menyanyikan Monster, How should ... Kalila langsung menggelengkan kepalanya. Berusaha untuk menyadarkannya kembali ke dunia. 

Dan setelah itu, suasana kelas menjadi mulai ramai orang. Kalila melihat jam di tangannya sudah menunjukan pukul tujuh kurang lima. Wah, sepertinya Rua bisa menjadi story teller yang baik, karena dari dia Kalila sampai tak ingat waktu untuk mendengar review orang lain darinya.

====

"Temenin bentar, dong. Nggak ada sepuluh menit. Mau ngumpulin buku ini ke ruang osis dulu." Rua memegang lengan Kalila. "Tolong banget, kali ini aja... Gue nggak bisa banget kalau masuk ruang osis sendirian, harus ada saksi lain."

Kalila menoleh ke arah Rua, lalu memasukan buku dan kawan-kawannya ke dalam tas. Bel pulang sudah berbunyi beberapa menit lalu. Sebenarnya bisa saja dia menemani Rua, namun dia ingat, kalau dia sudah ada janji dengan Aaraf untuk menemaninya beli buku di Gramedia.

"Anggota lain pada nggak bisa?" tanya Kalila.

"Nggak bisa," jawab Rua. "Pada ada urusan masing-masing. Tadi gue chat di grup nggak ada yang di ruang osis."

Kalila berfikir sejenak, lalu mengambil ponselnya dan mengirim satu buah pesan.

Kak Aaraf

[Kak aku izin ada urusan bentar sama temen]

Kalila lalu menyimpan ponselnya kembali ke dalam tas, lalu menoleh ke Rua. "Sebentar aja, kan." ucap Kalila.

"Serius?" Mata Rua membelo dan langsung tersenyum. "Makasih banget ya..."

Rua langsung menarik tubuh Kalila untuk bangkit dari tempat duduk. Selanjutnya mereka berjalan keluar kelas menuju ruangan osis yang letaknya lantai atas dalam satu gedung sama dengan kelas mereka.

"Lu ke ruang konseling kapan aja?" tanya Rua, tangannya kini menggandeng tangan Kalila, entah tujuannya untuk apa, padahal Kalila juga tak berniat untuk kabur.

"Hari kamis aja si." Kalila mencoba untuk menjajarkan langkah Rua karena langkah gadis itu lebih cepat dari pada Kalila.

"Ruang konseling buka hari apa aja, kah? Kemarin gue liat di mading, tapi lupa." tanya Rua sembari menaiki anak tangga dengan tangan yang masih menggandeng sebelah tangan Kalila.

"Senin, Rabu, Kamis, Jum'at. Sesuai sama jumlah anggota si ... boleh lepas dulu nggak tangannya, sempit tau." Kalila berusaha menarik tangannya dari Rua.

"Sorry," Rua melepaskan gandengannya. "Gue takut lo pergi."

"Enggak, lah." Kini Kalila mundur satu langkah agar dia bisa berjalan sendirian di anak tangga yang kecil itu.

"Tapi gue pikir-pikir random juga, ya, Bu Karin milihnya. Lu dari minat sosial, Ravin si red flag dari sains, trus dua orang lagi juga dari minat yang berbeda." Rua memutar tubuhnya, menghadap Kalila. "Apa kalian ikut audisi diem-diem?"

Kalila mengangkat sebelah alisnya. "Audisi diem-diem?"

Rua mengangguk, lalu memutar kembali tubuhnya untuk melanjutkan jalannya menaiki anak tangga. "Karena tiba-tiba aja gitu ada program kayak gini di sekolah kita."

Jangankan Rua. Sampai saat ini, Kalila pun belum tau apa yang sedang direncanakan oleh guru bk-nya itu.

"Apa jangan-jangan ini ada sangkut pautnya sama Ibu lu yang Psikiater?" tanya Rua. Kini mereka berdua sudah sampai di lantai ruang osis berada.

Kalila menggelengkan kepalanya lagi. "Nggak, lah. Buat apa gitu."

Mereka berdua pun sudah berada di depan pintu ruang osis. Rua kini sedang memutar kunci berusaha membuka pintu, sedangkan Kalila lebih memilih bersandar di pagar balkon dan memandangi lingkungan di sekolahnya dari atas. Sudah mulai sepi, tapi masih ada beberapa siswa yang mengendarai motor menuju gerbang. Sebagai murid yang hanya sekolah untuk belajar lalu pulang tanpa adanya kesibukan lain, Kalila rasa ini suasana baru untuknya.

Kalila menoleh untuk melihat keadaan Rua, karena sepertinya dia belum berhasil membuka pintu. Benar saja. Pintu masih tertutup dan justru kini Rua sedang mengetik sesuatu di ponsel, yang sepertinya ada sangkut pautnya dengan keadaan pintu yang sampai saat ini belum terbuka.

Kalila pun memutar tubuhnya untuk kembali melihat keadaan di bawah. Tersisa beberapa siswa yang sedang berjalan ke luar sekolah, namun matanya menemukan sosok tak asing yang sedang berjalan masuk ke area sekolah. Gadis dengan aksesoris ceri dan kardigan biru muda, yang baru saja Kalila dapat julukan baru untuknya pagi ini. Oh, tidak, itu terlalu kejam untuk seseorang yang terlihat anggun dengan langkahnya yang ringan, seragam yang terlihat rapih walau dibalut dengan kardigan, serta wajah yang tegas menatap lurus ke depan. Cewek emo? sepertinya tidak cocok untuknya.

"Ayo temenin ke dalem."

Perintah Rua yang mampu membuyarkan pikiran Kalila. Akhirnya gadis itu pun mengikuti langkah Rua masuk ke dalam ruang osis.

====

"Halo." Kalila mengangkat telfon dan menempelkan ke telinga. "Iya, kak. Aku lagi jalan ke situ."

Setelah menemani Rua ke ruang osis. Kalila kini berjalan ke parkiran sekolah untuk menemui Kak Aarav yang sudah menunggunya dari tadi. Rua sedikit meleset dari janjinya. Dia bilang tak lebih dari sepuluh menit, tapi ternyata sampai jam empat lebih lima belas sore. Yang berarti dirinya menemani gadis itu lebih dari empat puluh menit. Kalila jadi harus meminta maaf kepada Kak Aarav karena menunggunya lama.

Kaki Kalila tak sengaja menuntunnya untuk melewati ruang konseling. Kalila menoleh sebentar tak berniat untuk menghentikan langkahnya, namun suara Gwen dari dalam ruangan sedikit membuatnya tertarik. Dia pun terdiam. 

"Rasa saling menghargai itu hal dasar di kehidupan. Bukan sesuatu hal yang harus dipenuhi agar layak." Mendengar pernyataan Gwen, membuat tubuh Kalila otomatis lebih mendekat, bahkan telinganya sudah menempel pada pintu. "Mungkin mereka hanya tidak suka pernyataanmu. Bukan tidak suka keseluruhan dari kamu sebagai manusia."

"Wah ... " seru Kalila dengan tak sadar. Sepertinya perkataan Rua tadi pagi sungguh keterlaluan. Bagaimana Gwen bisa mendapatkan julukan gadis emo dari teman-teman osisnya. Kalila menggelengkan kepala, miris. "Teman-teman yang mengerikan."

"Kamu ngapain di situ?"

"Hah?"

Kalila melihat Kak Aarav menaikan sebelah alisnya. Selanjutnya dia berjalan mendekat, lalu ikut menunduk seperti yang dilakukan gadis itu. "Ada sesuatu, kah, di dalem?"

Kedua mata Kalila membelalak. Dia langsung berdiri tegak. "Nggak ada apa-apa. Ayo kita pergi." Kalila melangkahkan kakinya menuju parkiran yang diikuti Aarav di belakangnya.

"Nanti mau nyari buku apa, kak?" tanya Kalila berusaha untuk menfokuskan Kak Aarav pada hal yang lain. 

Aarav menjajarkan jalannya dengan Kalila. "Mau cari buku tentang AI gitu."

"Kakak yakin mau lanjut di Malaysia?" Kalila menyingkirkan kerikil yang berada di pintu parkiran dan berjalan mengikuti Aarav yang sedang menuju ke motor lalu memakai helm di kepalanya.

"Kalau bisa di sana." Aarav membuka bagasi motor, mengambil satu helm yang disimpan di sana, lalu menyerahkan kepada Kalila.

Kalila menerimanya. "Di Indonesia kan udah banyak jurusan itu, kak." Dia memasangkan helmnya. "Kenapa nggak di sini aja?" Lalu kesulitan untuk mengunci pengaman di helm itu.

"Di sini emang udah ada." Aarav membantu mengaitkan pengamannya di bawah dagu Kalila. "Tapi aku mau sekalian jagain Oma di sana."

"Bakalan kangen dong nanti." Kalila mempoutkan bibirnya.

"Tiap libur nanti juga bakal pulang, kok." ujar Aarav lalu menaiki motornya. "Yuk, buruan. Keburu gelap."

Akhirnya Kalila menaiki jok belakang dan tak lama motor itu melaju.

Angin sore menyapa dirinya. Langit berwarna jingga pun ikut menemaninya sore ini. Kalila mencoba memejamkan matanya, merasakan hembusan angin yang berlomba masuk ke dalam alat pernafasannya. Namun, salah, dia lupa kalau dia berada di kota besar. Bukannya udara segar, justru udara penuh asap kendaraan yang menyapa. Membuat Kalila terbatuk beberapa kali.

Dia pun mencoba untuk menetralkan pernafasannya. Lalu memilih untuk melihat keadaan sekitar. Sudah hampir jam 5 sore. Pantas saja banyak sekali kendaraan yang berlalu lalang. Bukan hanya motor dan mobil terlihat padat, bahkan kendaraan umum pun terlihat sesak keadaannya di sana.

Kalila melihat beberapa orang yang kini sedang berhenti di lampu merah. Ada yang masih memakai baju sekolah — seperti dirinya — , ada yang memakai seragam kantor, ada yang pakai baju rapih seperti siap untuk hang out, dan sebentar ... sepertinya ia kenal dengan cowok yang kini sedang tersenyum sembari memberikan uang ke pengamen. Punggung tegapnya tak asing. Dia memakai leather jacket dan mengendarai motor Benelli Motobi 200 Evo — Kalila yakin serinya, karena motor itu persis seperti milik Ayahnya —  membuatnya ragu kalau itu orang yang sama dengan orang yang ia temui pagi ini, karena keadaannya sangat berbeda. Kalila mencoba mengabaikannya, siapa tau hanya mirip, punggung, kan, banyak yang sama, ya. Kalila mengangguk. Lalu kembali mengedarkan pandangannya ke segala arah, melihat lampu merah, melihat keadaan bis yang masih terasa sesak, melihat anak-anak kecil yang menjual tissue, lalu melihat Ebi.

Sebentar ... melihat Ebi?

Dia beneran Ebi?.

Seketika mulut Kalila menganga. 

Ebi. Cowo yang sejak tadi pagi amat sangat dikasihani oleh Kalila. Tiba-tiba di sore hari ini, dia membuat Kalila Kaimana terkejut dengan perubahannya. 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Selaras Yang Bertepi
329      248     0     
Romance
"Kita sengaja dipisahkan oleh waktu, tapi aku takut bilang rindu" Selaras yang bertepi, bermula pada persahabatan Rendra dan Elin. Masa remaja yang berlalu dengan tawa bersembunyi dibalik rasa, saling memperhatikan satu sama lain. Hingga salah satu dari mereka mulai jatuh cinta, Rendra berhasil menyembunyikan perasaan ini diam-diam. Sedangkan Elin jatuh cinta sama orang lain, mengagumi dalam ...
Campus Love Story
8631      1965     1     
Romance
Dua anak remaja, yang tiap hari bertengkar tanpa alasan hingga dipanggil sebagai pasangan drama. Awal sebab Henan yang mempermasalahkan cara Gina makan bubur ayam, beranjak menjadi lebih sering bertemu karena boneka koleksi kesukaannya yang hilang ada pada gadis itu. Berangkat ke kampus bersama sebagai bentuk terima kasih, malah merambat menjadi ingin menjalin kasih. Lantas, semulus apa perjal...
Bifurkasi Rasa
147      125     0     
Romance
Bifurkasi Rasa Tentang rasa yang terbagi dua Tentang luka yang pilu Tentang senyum penyembuh Dan Tentang rasa sesal yang tak akan pernah bisa mengembalikan waktu seperti sedia kala Aku tahu, menyesal tak akan pernah mengubah waktu. Namun biarlah rasa sesal ini tetap ada, agar aku bisa merasakan kehadiranmu yang telah pergi. --Nara "Kalau suatu saat ada yang bisa mencintai kamu sedal...
7°49′S 112°0′E: Titik Nol dari Sebuah Awal yang Besar
463      315     0     
Inspirational
Di masa depan ketika umat manusia menjelajah waktu dan ruang, seorang pemuda terbangun di dalam sebuah kapsul ruang-waktu yang terdampar di koordinat 7°49′S 112°0′E, sebuah titik di Bumi yang tampaknya berasal dari Kota Kediri, Indonesia. Tanpa ingatan tentang siapa dirinya, tapi dengan suara dalam sistem kapal bernama "ORIGIN" yang terus membisikkan satu misi: "Temukan alasan kamu dikirim ...
SiadianDela
9117      2381     1     
Romance
Kebahagiaan hanya bisa dicapai ketika kita menikmatinya bersama orang yang kita sayangi. Karena hampir tak ada orang yang bisa bahagia, jika dia tinggal sendiri, tak ada yang membutuhkannya, tak ada orang yang ingin dia tolong, dan mungkin tak ada yang menyadari keberadaanya. Sama halnya dengan Dela, keinginan bunuh diri yang secara tidak sadar menjalar dikepalanya ketika iya merasa sudah tidak d...
Salendrina
2459      913     7     
Horror
Salendrina adalah boneka milik seorang siswa bernama Gisella Areta. Dia selalu membawa Boneka Salendrina kemanapun ia pergi, termasuk ke sekolahnya. Sesuatu terjadi kepada Gisella ketika menginjakan kaki di kelas dua SMA. Perempuan itu mati dengan keadaan tanpa kepala di ruang guru. Amat mengenaskan. Tak ada yang tahu pasti penyebab kematian Gisella. Satu tahu berlalu, rumor kematian Gisella mu...
Sahara
22902      3469     6     
Romance
Bagi Yura, mimpi adalah angan yang cuman buang-buang waktu. Untuk apa punya mimpi kalau yang menang cuman orang-orang yang berbakat? Bagi Hara, mimpi adalah sesuatu yang membuatnya semangat tiap hari. Nggak peduli sebanyak apapun dia kalah, yang penting dia harus terus berlatih dan semangat. Dia percaya, bahwa usaha gak pernah menghianati hasil. Buktinya, meski tubuh dia pendek, dia dapat menja...
Dearest Friend Nirluka
1560      798     1     
Mystery
Kasus bullying di masa lalu yang disembunyikan oleh Akademi menyebabkan seorang siswi bernama Nirluka menghilang dari peradaban, menyeret Manik serta Abigail yang kini harus berhadapan dengan seluruh masa lalu Nirluka. Bersama, mereka harus melewati musim panas yang tak berkesudahan di Akademi dengan mengalahkan seluruh sisa-sisa kehidupan milik Nirluka. Menghadapi untaian tanya yang bahkan ol...
Koude
3582      1275     3     
Romance
Menjadi sahabat dekat dari seorang laki-laki dingin nan tampan seperti Dyvan, membuat Karlee dijauhi oleh teman-teman perempuan di sekolahnya. Tak hanya itu, ia bahkan seringkali mendapat hujatan karena sangat dekat dengan Dyvan, dan juga tinggal satu rumah dengan laki-laki itu. Hingga Clyrissa datang kepada mereka, dan menjadi teman perempuan satu-satunya yang Karlee punya. Tetapi kedatanga...
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
221      187     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...