Kalila menatap lawan bicaranya. Suara yang menggebu-gebu, mata yang terlihat membara, serta tangan yang sering memukul pelan meja — membuat gadis itu terpaku sejenak.
"Emang nggak boleh, ya, manusia melakukan kesalahan." ujar Alhia, lawan bicara Kalila, yang tadi memperlihatkan amarahnya, kini sedang menangkupkan wajah dengan kedua tangannya.
Kalila diam sejenak. Memikirkan apa respon selanjutnya setelah cewe di hadapanya mengungkapkan masalahnya. Jujur saja, dia bingung.
"Kok diem aja, sih, bukannya lo harus kasih tanggapan, ya."
"Ya, kan?"
"Hah?"
Kalila mengedipkan matanya dua kali — merasa bodoh. Seketika dia tidak ingat di mana dirinya sekarang, apa yang sedang ia lakukan, dan apa tujuannya? Lalu, sekelebat ingatannya kembali ke satu minggu yang lalu. Di mana dia menginjakan kaki ke ruangan ini, untuk pertama kali.
Saat itu setelah bel berbunyi, Kalila mendapati dirinya dikirimi pesan oleh Bu Karin, Guru BK di Sekolahnya. Isi pesannya menyuruh dirinya untuk mampir ke ruang konseling setelah bel pulang berbunyi. Ruangan yang letaknya di sudut Sekolah, yang pasti itu jauh dari kelasnya, membuatnya enggan ke sana. Dia pun berniat untuk menolak, tapi Bu Karin mengirimi pesan lagi kalau Kalila harus menyempatkan waktu untuk datang pada saat itu juga, mau tidak mau Kalila menyetujuinya.
Alhasil kedua kakinya pun melangkah, menyusuri koridor yang ramai dengan siswa-siswi berjalan ke arah berlawanan — menuju gerbang depan — sedangkan dia menuju ke belakang Sekolah. Semakin berjalan semakin sedikit orang, dan sampai akhirnya dia diam di salah satu ruangan yang pintunya ditaruh plakat kecil bertuliskan Ruang Konseling di atasnya.
Kalila mengambil ponselnya di dalam tas, mengetik sesuatu di sana, dan mengirimkannya. Kepalanya menengok kesana-kemari, seperti mencari seseorang.
"Kalila?"
Panggil seseorang di belakangnya, membuatnya menengok.
"Ya?" Kalila melihat seorang gadis dengan tinggi tak jauh darinya, rambutnya dipakaikan aksesoris bergambar ceri, dan memakai cardigan berwarna biru muda, "Lu pangil gue?"
"Gue Gwen." ujarnya sembari mengulurkan tangan, "Gue disuruh Bu Karin ke sini buat nemuin lo."
"Oh..." Kalila menerima uluran tangan dari cewek, "salam kenal, ya." lanjutnya.
Gwen mengangguk dan melepaskan jabatan tangan mereka. Lalu dia mengambil ponsel di saku rok dan memperlihatkan layarnya ke Kalila, "kata Bu Karin kuncinya ada di bawah pot bunga."
"Ya?" Kalila terkejut tiba-tiba depan wajahnya disodorkan layar ponsel yang menampilkan obrolan di salah satu aplikasi. Selanjutnya dia langsung menunduk dan memindahkan pot bunga yang berada di sebelah pintu lalu menemukan kunci beserta satu lembar kertas.
"Ada kertas." ujar Kalila menyerahkan kertas tersebut ke Gwen, sedangkan dirinya mencoba untuk membuka pintu ruangan dengan kunci yang ia temukan.
"Kalila Kaimana?"
"Ya?"
Gwen mengangkat kertas, "ada dua orang lagi selain kita."
Setelah berhasil membuka pintu, Kalila mendekati Gwen dan ikut melihat kertas itu, "Reblian Archie sama Ravindika Nabeel..." ujarnya mengikuti tulisan di kertas, "Lo kenal mereka?"
Gwen menggelengkan kepalanya, "ini kita disuruh ngapain, sih?"
Kalila mengangkat kedua bahu dan menggelengkan kepalanya, "nggak tau juga... masuk dulu nggak, sih?"
Gwen mengangguk dan Kalila pun menarik knop pintu. Matanya langsung disapa dengan ruangan kecil yang ukurannya mungkin tak lebih dari tiga meter kali tiga, dicat warna krem pastel. Di dalamnya terdapat dua kursi kayu saling berhadapan dengan meja sebagai pembatas. Terpasang juga jendela pada dua sisi, di sebelah kiri menghadap ke lapangan, sedangkan jendela yang lurus dengan pintu masuk menghadap langsung ke kebun belakang sekolah. Suasana yang asri membuat ruangan ini tampak tenang dan nyaman. Apalagi karena sudah jam pulang sekolah, membuat ruangan lebih hening, hanya ada suara samar murid yang bermain basket dari arah lapangan, dan suara burung dari arah kebun.
"Bu Kiran tanya kita udah sampai belum." Suara Gwen membuyarkan lamunan Kalila yang terpaku dengan keindahan ruangan itu.
"Hmm?" Kalila mendekat ke gadis itu yang kini sudah duduk di salah satu kursi.
"Gue bales baru kita berdua," ujar Gwen.
"Sorry, gue telat."
Kalila dan Gwen otomatis menengok berbarengan ke sumber suara.
Terlihat seseorang berdiri di depan pintu. Dia memakai jaket bomber polos berwarna hitam, kacamata dengan frame transparan, dan tas yang ia jinjing di sebelah bahunya. "Gue harus ngurus sesuatu dulu tadi." ujarnya lagi.
"Iya nggak apa-apa. Kita juga baru sampe." ucap Kalila.
Cowok tadi mendekat ke arah mereka berdua, lalu menyerahkan susu cokelat, "anggap aja benda perkenalan." ujarnya.
Kalila menerima pemberian itu, "makasih."
Cowo itu menggangguk, "nama gue Ravin. Kalo kalian?"
"Gue Kalila," Kalila menunjuk dirinya lalu menunjuk Gwen yang masih duduk, "kalau dia Gwen."
"Oke." Ravin mengangguk, "salam kenal, ya."
"Ravindika Nabeel?" kini Gwen yang berbicara lalu dia bangkit dari duduknya.
"Ya?" tanya Ravin bingung, "lu tau nama panjang gue?"
Gwen langsung memperlihatkan layar ponselnya, "Bu Karin yang ngasih tau."
Ravin mengangguk, "oh.."
"Ini kita harus ngapain, sih?, ada yang tau gak?" tanya Kalila. Dia masih belum bisa memproses apa yang sedang ia lakukan. Karena tiba-tiba saja dia disuruh ke ruang konseling, disuruh mengangkat pot untuk ngambil kunci, dan sekarang dia berada di ruangan dengan dua orang yang belum ia kenal sebelumnya.
"Belum tau, eh, bentar... Bu Karin telfon," ujar Gwen yang membuat Kalila dan Ravin otomatis mendekat.
"Halo teman-teman." terdengar sapaan berasal dari speaker telepon Gwen. Suara yang ramah dan sedikit nyaring itu membuat Kalila akrab dengan suaranya.
"Apa kabar kalian? Di situ udah ada siapa aja?" tanya Bu Karin.
Gwen mengedarkan pandangannya lalu menjawab, "Saya, Kalila, dan Ravin, Bu."
"Oke. Ebi belum ke situ, ya?"
"Maaf gue telat." suara yang hadir disertai nafas terburu-buru membuat mereka melihat ke sumber suara. "Gue abis jemput adek gue." lanjutnya dengan tubuh membungkuk dan tangan yang ia taruh di lutut untuk menompang tubuhnya.
"Iya nggak apa-apa." ucap Kalila sedikit iba dengan keadaan cowok yang baru datang itu. Dia terlihat habis lari terbirit-birit.
"Ebi sudah datang, ya." ucap Bu Karin membuat fokus mereka berganti ke telepon yang masih dipegang Gwen. Ebi pun ikut bergabung.
"Ya. Jadi sudah kumpul semua, ya." Yang tadinya mode telepon suara, Bu Karin mengajukan telepon video, Gwen menerimanya. "Kalian inget nggak beberapa bulan lalu Ibu kasih tugas ke kalian untuk membaca salah satu buku yang Ibu rekomendasikan?" tanya Bu Karin di telepon.
Kalila mengangguk, dia juga melihat ketiga teman barunya melakukan hal yang sama.
"Yap... Setelah saya bertanya di kelas siapa yang selesai membaca. Kalian berempat, lah, yang mengaku sudah selesai. Saat saya bertanya, kalian lah juga yang bisa menjawab." ujar Bu Karin. "Maka dari itu... saya mengumpulkan kalian."
Keempat orang yang berada di dalam ruang itu hanya diam, apalagi Kalila, dia bingung menerjemahkan apa yang sedang ingin guru bknya itu sampaikan.
"Saya mau kasih kalian tugas." ujar Bu Karin dan tak lama denting ponsel langsung berbunyi serentak, "itu tugas kalian. Tidak lama, hanya beberapa bulan sampai saya selesai cuti hamil."
Kalila memperhatikan pesan yang baru dikirim Bu Karin. Satu buah foto berisi informasi mengenai konseling sebaya serta satu file pdf yang berisi asas-asas dan juga kode etik konselor. Sedikit membuat Kalila teringat dengan buku yang ia baca beberapa minggu lalu.
"Tapi, bu.." sepertinya Gwen ingin berpendapat.
"Tidak tapi-tapi." dan sepertinya Bu Karin tak ingin didebat. "Saya sudah dapat izin dari orang tua kalian dan itu juga sesuai dengan keinginan kalian di masa depan, kok. Berlatihlah sekarang, jangan ragu untuk tanya apapun ke Saya akan hal ini. Dadah." Lalu telepon terputus.
Lalu mereka berempat pun terdiam serentak.
Seminggu setelahnya, di sinilah Kalila berada. Di ruang BK, duduk sebagai konselor, dan menghadapi Alhia yang menjadi klien pertamanya.
"Jadi kamu melakukan kesalahan pada saat live tiktok dan bikin kamu di cap jelek sama followersmu?" ujar Kalila, mencoba untuk mengulang permasalahan yang dihadapi Alhia, sesuai dengan prosedur yang Bu Karin ajarkan. Semoga saja.
Alhia mengangguk, "jujur gue nggak nyangka bakal seviral ini." dia menunduk, "gue juga nggak tau kalau ngatain botak ke orang botak itu termasuk pembullyan."
Kalila diam sebentar, mencoba untuk mengingat-ingat isi buku yang pernah ditugaskan oleh guru bk-nya. Bagaimana cara melakukan konseling yang benar dan bagaimana merespon permasalahan yang dilontarkan Alhia ini.
"Gimana kalau beliin obat penumbuh rambut?" ujar Kalila.
Alhia menatap Kalila bingung.
"Kamu, kan, ngelakuin hal yang menurutmu salah. Gimana kalau kamu kasih dia solusi."
======
Kalila menghela nafasnya. Menatap kursi yang tadi diisi oleh seseorang, kini sudah kosong. "Tadi gue salah ngomong gak, sih?" tanyanya kepada... diri sendiri?.
Dia pun menyenderkan punggungnya ke senderan kursi kayu. Matanya melihat langit-langit ruangan yang sudah mulai berwarna kekuning-kuningan. Sejenak ia pun memejamkan mata, namun tak lama terdengar suara ketukan meja, membuatnya membuka mata. Di sana hadir Ravin dengan memperlihatkan layar ponsel yang bertuliskan sesuatu.
[Udah selesai?]
Kalila mengangguk.
[Mau pulang?]
Kalila mengangguk lagi.
[Sama siapa?]
"Kak Aarav."
Kini giliran Ravin yang mengangguk.
Kalila mengambil buku tulis yang tadi ia gunakan saat konseling, terus pulpen, dan barang-barang miliknya di atas meja untuk dimasukan ke dalam tas, "masih harus puasa ngomong?" tanya Kalila disela-sela aktivitasnya.
Karena tidak mendengar jawaban apa-apa, Kalila pun mendongak. Terlihat Ravin mengetik sesuatu di ponselnya.
[Masih. Besok jadwal kontrol. Semoga segera bisa ngomong lagi.]
Kalila bangkit dari kursinya setelah selesai berkemas. Dia mendekat ke Ravin lalu menepuk pundaknya, "get well soon, ya."
Ravin tersenyum kecil dan mereka berdua berjalan keluar dari ruangan.
"Berarti udah berapa hari, sih, sejak operasi amandel lu itu?" tanya Kalila sembari mengunci pintu ruangan.
Ravin memperlihatkan kelima jarinya.
"Oh, udah lima hari, ya." ucapnya sembari mencabut kunci dari lubang knop pintu.
[Maaf ya belum bisa bantu.]
Kalila memperhatikan layar ponsel yang ditunjukan Ravin, lalu menggelengkan kepalanya pelan, "nggak apa-apa, lu fokus sama penyembuhan aja."
Mereka jalan berdua menuju parkiran yang berada tak jauh dari ruang konseling. Tidak banyak obrolan diantara mereka, Kalila lebih memilih diam karena sejak tadi Aarav mengirimi dia pesan untuk menanyakan di mana posisinya.
Setelah sampai di parkiran, Kalila menemukan Aarav sedang duduk di atas motor. Posisi yang tak jauh dari pintu parkir, membuatnya lebih mudah terlihat.
"Gue duluan, ya, Vin." Kalila menoleh ke arah Ravin, berniat pamit, tapi tiba-tiba cowok itu mengulurkan ponsel yang layarnya memperlihatkan,
[bisa nggak kalau besok kita pulang bareng?]