Hari ini adalah hari terakhir penentuan antara mengambil atau abaikan dan mendaftar di tempat lain, untuk menentukan itu semua Dini harus meminta persetujuan ibunya terlebih dahulu, tapi yang ada di depannya sekarang adalah sebuah keputusasaan, pasalnya sedari tadi telponnya belum di angkat juga, dan sekarang dia hanya memandangi ponsel itu penuh kehampaan dan rasa lelah, padahal ponsel yang dia pegang bukan miliknya tapi milik gurunya, dan sekarang di belakangnya sudah banyak yang mengantri untuk menelpon juga. Apa yang harus di lakukannya sekarang, tanpa persetujuan orang tuanya, dia tidak bisa mengurus daftar ulang perkuliahannya.
"Dini sudah kah?" Panggilan keramat yang membuat dirinya harus mengakhiri telponnya segera, tapi dia masih diam tak berkutit sampai panggilan ke dua terdengar, membuat dirinya harus ikhlas memberikan ponsel itu kepada temannya yang lain.
"Kau kenapa murung gitu, kayak jemuran kusut aja" ejekan itu tidak di gubrisnya, dia berlalu pergi begitu saja dan segera menuju komputer yang telah dia tinggal sepersekian menit tadi, dan di sana masih menampilkan beranda pendaftaran kampus impiannya. Tidak ada apa-apa, kecuali data pribadinya saja yang terisi, sisanya masih kosong momplong.
"Dini ada telfon dari ibumu tuh cepet angkat"
Dia sedikit terperanjat kaget, tanpa aba-aba dia segera mengambil ponsel itu dari genggaman temannya. Suara yang sangat dia kenali itu akhirnya bisa terdengar setelah beberapa menit yang lalu dia menunggunya. Tanpa banyak basa-basi dia segera menyampaikan apa yang ingin di sampaikannya, dengan detail tanpa mengurangi atau melebihkan. Tapi ternyata harapan tidak sesuai keinginannya, dia berharap ibunya tidak menyetujui agar dia bisa daftar di kampus impiannya, tapi nyatanya, jawaban yang di berikan ibunya adalah kata 'iya' tanpa penjelasan apa-apa. Padahal, dia ingin ibunya memberi alasan di balik kata iya yang dia berikan.
Hal itu adalah sebuah persetujuan yang tidak di harapkan, memang di iya kan tapi mengecewakan. Kapan ibunya bisa di ajak berdiskusi untuk mempertimbangkannya, bukan malah hanya berkata iya atau tidak yang berujung nanti menyalahkan sebelah pihak, dari dulu ibunya tidak pernah berubah soal membahas masa depannya. Padahal, dia ingin sekali ngobrol empat mata untuk mengutarakan pendapat dari berbagai pihak. Tapi kenyataan tidak sesuai harapan, yang nantinya akan menyebabkan kesalah pahaman yang berujung saling menyalahkan.