Awal tidak sengaja membawa semua berubahan, keinginan yang di pupuk sejak lama kini sirna dalam seklebat mata, mimpi-mimpi itu lenyap tak berkabar layaknya kertas usang yang terbakar hangus, tidak ada bekas kecuali abu yang berterbangan terbawa angin. Dini tidak tahu kabar itu adalah hal baik atau hal buruk, kenyataannya semua itu tidak di inginkannya, bukan rencana yang sudah dia tata sejak awal. Dia masih ingat waktu itu sebelum semuanya berawal dia pernah mengatakan "kalo tidak ke terima tidak apa, kalo ke terima ya alhamdulillah", kata penuh penyesalan yang seharusnya saat itu tidak dia ucapkan.
Layar ponsel di genggamannya masih menyala dengan beranda yang sama, sialnya sekarang dia merasa bingung, antara menyia-nyiakan atau membiarkannya, kalau dia harus melupakan rencana awalnya, kalau membiarkan dia sendiri belum tahu suatu saat nanti dia akan mendapatkan hasil yang sama atau tidak. Otaknya kali ini terasa terbakar, menyebabkan hal ini yang menentukan masa depannya.
Adzan dhuhur berkumandang begitu lantang, saatnya dia meletakkan ponsel itu di tempatnya dan memindahkannya untuk mengambil wudhu. Setidaknya nanti saat dia sholat akan mendapat sedikit pencerahan, karena hanya dengan bersujud hati setiap hamba-Nya akan menjadi tenang dari kegundahan, dan Dini yakin setelahnya pasti ada penjelasannya, semoga saja.
Selesai sholat dia segera merapikan alat sholatnya lalu pergi meninggalkan masjid untuk pergi ke kamarnya, Dini mengambil buku diary kecil berwarna pink di rak bukunya, dia menggoreskan kata dengan kidmat hingga goresan indah itu tertulis, tulisan indah menyiratkan isi hatinya, karena dia hanya bisa melakukan hal itu. Kalau dia cerita ke orang lain, bukan mendapatkan nasehat yang tepat, dia malah akan mendapatkan cemooh yang tidak mengenakkan hati, kalau ditulis di buku kan tidak akan terjadi hal semacam itu. Dan tidak ada hati yang menyakiti dan tersakiti nantinya.
Dia menutup diary itu lalu meletakkannya lagi di tempat asal, kini guratan wajahnya terlihat penuh kekcewaan tapi terbungkus oleh senyuman, senyuman palsu untuk memanipulatif semua orang kalau dia sedang baik-baik saja, padahal di lubuk jantung, ada luka basah yang tergores berkali-kali yang enggan untuk sembuh. Dini mempunyai ketakutan besar dalam dirinya yang tidak pernah memberitahu orang lain, dia memendamnya cukup hingga semua orang tidak melihatnya. Lamanya hal itu terkurung membuat dia sendiri lupa akan ketakutannya, tapi saat ada yang berani menyentuhnya dia mulai merasa, bahwa ada ketakutan itu di dalam sana yang ingin ke luar kembali setelah dia pendam cukup dalam. Dia mencoba menenggelamkannya lagi, tapi gagal. Ketakutan itu muncul kembali, menghempit dirinya ke sebuah sudut ruang gelap yang penuh sesak. Dia ingin bangkit kembali, tapi kenyataannya dia tidak bisa memendam ketakutan itu lagi untuk sekian kalinya.
Ketakutan itu menganga menghempas habis dirinya dalam keterpurukan. Hingga dia jatuh terperosok dalam ketakutannya sendiri.