Waktu terus merangkak maju, membawa serta penyembuhan yang perlahan namun pasti. Setelah kebenaran menghantamku, aku merasa seperti kanvas kosong yang baru. Semua coretan lama tentang Adit, Maya, dan Mayadi dalam imajinasiku telah terhapus, digantikan oleh goresan-goresan baru dari kenyataan. Aku mulai menerima fakta bahwa tragedi kecelakaan itu adalah kesalahanku, bukan takdir yang kejam semata. Rasa bersalah itu masih ada, namun kini dibalut dengan pemahaman yang lebih jernih dan keinginan untuk menebusnya.
Mayadi menjadi pilar terpenting dalam proses penyembuhanku. Ia tak pernah pergi. Setiap sore, setelah pulang sekolah, ia akan datang ke rumah, membawa gitar, dan kami akan duduk di beranda, sekadar berbagi cerita. Ia menceritakan bagaimana ia melangkah maju di sekolah, bagaimana ia memimpin band, dan bagaimana ia mempersiapkan diri untuk Berklee. Ia tidak lagi menjadi kekasih di dalam mimpi, melainkan sahabat karib yang tulus di dunia nyata. Rasa nyaman yang ia berikan kini terasa lebih murni, tanpa beban ekspektasi romantis.
"Kamu sudah lebih baik," kata Mayadi suatu hari, senyumnya hangat. "Aku bisa melihatnya."
Aku mengangguk. "Aku mencoba."
"Dan novelmu?" tanyanya, matanya berbinar. "Sudah sejauh mana?"
Aku meraih buku catatan baruku, yang kini bersampul biru tua. Buku ini adalah simbol kebangkitanku. Di dalamnya, kuceritakan semua yang telah kulalui: duka yang menghancurkan, ilusi yang menyesatkan, hingga kebenaran pahit yang membebaskan. Aku menulis tentang Adit, bukan sebagai sosok yang sempurna atau pecundang, melainkan sebagai manusia biasa dengan impian dan pergumulannya sendiri. Aku menulis tentang Maya dan Mayadi, sebagai teman yang peduli di tengah kekacauan. Dan yang terpenting, aku menulis tentang diriku sendiri.
"Hampir selesai," jawabku, merasa bangga. "Aku akan mengirimkannya ke kompetisi Tinlit."
Mayadi tersenyum lebar. "Aku tahu kamu bisa, Lil. Kamu penulis yang hebat."
Pujian itu terasa begitu nyata, begitu membangkitkan semangat. Ini bukan pujian dari bayangan, melainkan dari seorang sahabat yang percaya padaku.
Maya juga datang menjengukku beberapa kali. Awalnya terasa canggung. Aku tahu semua "pengkhianatan" dalam mimpiku tidak nyata, tapi ada jejak emosi yang tertinggal. Namun, Maya begitu tulus. Ia bercerita tentang betapa ia khawatir saat aku koma, tentang bagaimana ia merasa tidak berdaya. Ia juga berbagi sedikit cerita tentang persahabatannya dengan Adit di masa lalu, yang kini terasa begitu sederhana dan jauh dari drama yang kubayangkan. Perlahan, dinding di antara kami mulai runtuh. Aku mulai bisa memandang Maya sebagai teman biasa, tanpa bayang-bayang masa lalu yang menyakitkan.
Keluarga Adit, terutama Ibu Adit, sering menghubungiku. Mereka memastikan aku baik-baik saja, dan sesekali mengajakku makan bersama. Hubungan kami kini dilandasi oleh pengertian dan maaf. James, adik Adit, juga mulai sering bermain ke rumah, dan kami bisa berbagi cerita tentang Adit tanpa rasa canggung atau sakit hati. Aku menceritakan padanya tentang sisi Adit yang kulihat dari buku catatan hariannya, tentang mimpi musiknya yang terpendam. Itu membantu James untuk memahami kakaknya lebih baik.
Waktu pendaftaran Harvard jalur reguler semakin dekat. Aku tahu ini adalah langkah besar. Aku tidak lagi terikat pada harapan Adit, atau pada imajinasi masa laluku. Ini adalah impianku sendiri. Aku menyelesaikan personal statement itu dengan hati yang penuh kejujuran, menceritakan seluruh perjalananku dari kegelapan menuju cahaya. Dari ketergantungan menjadi kemandirian. Dari ilusi menuju realitas.
Hari pengumuman penerimaan universitas tiba, dan aku tidak setegang dulu. Aku sudah belajar bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana, dan kadang, jalan memutar justru membawa kita ke tempat yang seharusnya. Aku membuka email dari Harvard. Dan ya, aku diterima.
Senyum merekah di wajahku. Ini adalah hasil dari kerja kerasku sendiri, tanpa campur tangan ilusi, tanpa beban masa lalu yang menyesatkan. Aku diterima di Harvard, bukan karena bayangan Adit, melainkan karena Lily.
Mayadi meneleponku setelah pengumuman. "Selamat, Lily! Aku tahu kamu pasti diterima!" suaranya penuh kebahagiaan.
"Terima kasih, Mayadi," kataku, hatiku dipenuhi rasa syukur. "Bagaimana denganmu? Berklee?"
"Sudah kutegaskan," jawabnya dengan nada ceria. "Beasiswa penuh! Aku akan terbang bulan Agustus."
Kami berdua tertawa. Dua sahabat yang akan mengejar impian masing-masing di tempat berbeda, namun dengan dukungan yang tak terbatas.
Aku tahu jalan di depanku tidak akan mudah. Trauma dari kecelakaan itu akan selalu menjadi bagian dari diriku, begitu juga rasa bersalah yang akan terus kupanggul. Namun, aku tidak lagi sendirian. Aku memiliki keluarga yang mendukung, teman-teman yang peduli, dan sebuah cerita untuk dibagi.
Novelku, "Pacarku Pergi ke Surga, Tapi Dia Lupa Membawa Buku Catatan Biru Tua Itu," akhirnya rampung. Aku mengeditnya berulang kali, memastikan setiap kata menyampaikan esensi perjalananku. Ini adalah pengakuan. Sebuah penebusan. Dan sebuah perayaan untuk menemukan jati diri setelah badai.
Aku mengirimkan naskah itu ke kompetisi Tinlit Writing Marathon 2025 x Bentang Belia, tepat pada batas waktu. Aku tidak tahu apakah akan menang, atau bahkan diterbitkan. Tapi itu tidak lagi menjadi tujuan utamaku. Tujuan utamaku adalah menulis. Menulis untuk menyembuhkan. Menulis untuk memahami. Dan menulis untuk mengukir jejakku sendiri di dunia.
Kini, setiap kali aku melihat buku catatan biru tua itu, aku tidak lagi melihat bayangan Adit yang menghantuiku. Aku melihat jejak. Jejak dari perjalanan yang kelam, yang membuatku nyaris hancur, namun juga jejak yang membimbingku untuk menemukan kekuatan yang tidak pernah kubayangkan kumiliki.
Peta hanyalah panduan. Jiwa yang tersesat tidak membutuhkan peta yang sempurna. Mereka hanya membutuhkan langkah yang berani.
Dan aku, Lily, akan terus melangkah. Dengan berani. Menuju masa depan yang kubangun sendiri.
ππππ
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"