“Kita lihat CCTV.”
“Nggak usah. Dia juga udah nggak percaya sama saya.” Keiza berkata dingin. Rasa kecewa rupanya masih menguasai hati gadis itu.
“Katanya marahnya udah selesai?” Andaru menyindir. Keiza membalasnya dengan lirikan tajam. Ia terdiam sebentar lalu menghela nafas, membuang segala emosi yang tersisa. Kedua orang itu kini sedang ada di ruang server, tempat memonitor semua CCTV yang terpasang di sudut-sudut gedung Teruna Angkasa.
Ruang kecil itu tersembunyi di balik pintu besi kusam, di dekat ruang TU yang jarang dilewati siswa. Tidak ada papan nama. Hanya stiker bertuliskan “Teknisi Khusus – Dilarang Masuk” yang sudah mengelupas di ujung.
Begitu pintu dibuka, hawa panas langsung menyergap—berbanding terbalik dengan ruangan ber-AC lainnya. Deretan rak server berdengung pelan seperti bisikan rahasia. Di salah satu sudut, tiga monitor menyala nonstop menampilkan belasan kamera pengawas: lorong kelas, tangga belakang, halaman parkir, hingga kantin.
Kabel-kabel menjuntai dari atas plafon dan belakang rak, membuat ruangan itu tampak seperti jantung sekolah yang berdetak diam-diam—mengamati semua orang tanpa pernah disadari.
Meja operatornya sempit, penuh sticky note dari kakak kelas jurusan TKJ yang isinya campur aduk: jadwal perawatan server, password kamera, bahkan catatan lucu seperti “Jangan intip ruang guru, dosa.”
Bagi sebagian siswa, ruangan ini cuma tempat teknisi mondar-mandir. Tapi bagi mereka yang tahu cara memakainya, ruang CCTV itu bisa jadi mesin waktu, pengintai rahasia... atau alat untuk membongkar kebenaran yang disembunyikan sekolah.
Ruang server tentu saja ada dalam penjagaan Bapak security berseragam hitam-hitam yang berpatroli di jam-jam tertentu. Para siswa sebenarnya tak diperbolehkan asal masuk ke dalam ruangan itu. Hanya anak-anak Teknologi Komputer Jaringan, itupun untuk kebutuhan menambah keahlian. Namun bukan Andaru namanya kalau tak bisa minta akses untuk melihat rekaman CCTV demi kepentingannya sendiri.
“Walau tulisan dan foto itu udah saya cabut, Bu Sulastri emang bilang saya harus tetep usut,” ucap Keiza setelah kewarasannya benar-benar kembali.
“Tulisan itu nggak disebar di sosial media, kemungkinan orang ini emang sengaja bikin kalian berantem,” Andaru berkata tenang.
Keiza terbelalak mendengar asumsi itu, “bisa jadi, Kak! Kenapa saya nggak kepikiran sampai sana, ya?” cewek itu merasa bodoh.
Andaru tersenyum kecil, “ngikutin emosi itu emang nggak akan pernah bagus hasilnya, Za.” Dengan suara pelan, Andaru menasihati sembari duduk di meja operator.
“Awalnya saya juga mau minta tolong sama Pak Satpam biar ngizinin saya lihat CCTV,” Keiza beralasan.
“Then, beg me now.” Perintah Andaru dengan senyumnya yang penuh muslihat, seperti biasa.
Keiza hanya mendengkus untuk merespon kejahilan itu. Ia entah bagaimana sudah terbiasa dengan sikap semena-mena Andaru. Meski begitu sebenarnya kakak kelasnya ini orang baik. Andaru melebarkan senyuman, ia kemudian fokus mengarahkan kursor demi mencari lokasi-lokasi kamera yang menyorot ke arah mading. Keiza agak kagum dengan kemampuan Andaru mengoperasikan aplikasi CCTV dengan mahir. Baru Keiza mau membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, ponselnya bergetar di saku rok. Saat melihat ke layar ponsel, alis Keiza mengerut lagi.
Bunda?
oOo
Keiza tak begitu paham ketika Bundanya menelpon dengan suara bergetar. Bahkan ketika ia bertemu Pak Ojo—tukang ojek langganan kalau-kalau Ayah tak bisa antar, Keiza memberanikan diri untuk bertanya. Rumah Pak Ojo tak jauh dari rumahnya. Keiza pikir Pak Ojo pasti tahu jika ada sesuatu yang gawat terjadi di rumah. Nyatanya Pak Ojo menggelengkan kepala. Ia mengaku hanya ditelepon oleh Ayah Keiza dan minta tolong untuk menjemput gadis itu dari sekolah.
Sesampai di rumah Keiza menemukan kedua orang tuanya sedang terduduk di sofa ruang tengah. Terdiam. Keiza pernah berada di situasi seperti ini. Saat kedua orang tuanya sedang bertengkar karena sesuatu. Biasanya yang memicu pertengkaran mereka karena kelelahan atau uang. Jika itu terjadi Keiza pasti akan membawa Kiara bermain keluar. Entah ke rumah Pak Ojo, ke taman, atau main ke rumah Bu RT yang baik hati. Mereka baru pulang kalau Ayah atau Bunda datang menjemput.
“Assalamu’alaikum,” sapa Keiza setelah melepas sepatu. Ia ingin sekali pergi, kabur ke rumah Bu RT atau… kembali ke Teruna Angkasa. Andaru mungkin masih di ruang server. Cowok itu mengizinkan Keiza pulang, malah cenderung mengusir, dan memintan Keiza mempercayakan perihal CCTV kepadanya dan Avissena. Andaru hanya butuh keterangan warna kertas dan di lokasi mading mana saja tempat berita itu muncul. Keiza akhirnya terpaksa pulang duluan.
Mengingat Pak Ojo sampai diminta untuk menjemput Keiza ke sekolah, pastilah kedua orang tuanya punya maksud yang penting. Keiza tak tahu apa itu, tetapi jantungnya sudah berdebar hebat. Entah kenapa… ia merasa takut. Terutama saat mencermati wajah Bunda terdapat jejak tangis. Matanya merah dan bengkak. Tangannya bersedekap, menahan, seolah bila dekapan itu terlepas ia akan terguncang.
“Keiza, duduk sini.” Ayah memerintahkan setelah Keiza mencium telapak tangan kedua orang tuanya dan hendak masuk ke kamar. Tak ingin berlama-lama dalam suasana yang mencekik itu. Keiza tak ingin menuruti Ayah, tetapi kakinya tetap melangkah untuk mengambil posisi duduk. Kedua orang tuanya, adalah orang yang tak akan pernah bisa ia bantah.
Meski ada jejak tangis di wajah Bunda, tetapi bahasa tubuhnya tetap tegak. Ayah juga menampilkan raut wajah yang letih, tetapi juga tenang dan rapi. Tinggal Keiza yang kebingungan dibuatnya. Sebenarnya… ada apa?
“Bun… Bunda kenapa?” Keiza bertanya takut-takut, menggeser duduk ke samping Ibundanya. Lalu pelan-pelan, kedua orang tuanya bicara.
“Bunda dan Ayahmu akan berpisah," kata Rika pelan. Suaranya datar, seperti membaca teks dari buku.
“Kenapa?” tanya Keiza, hampir berbisik.
Rika menatap Keiza. Lama. Lalu ia berkata, “Karena kadang, yang paling menyakitkan bukan bertengkar, Za. Tapi diam-diam saling hilang, sambil pura-pura baik-baik saja.”
Ayah Keiza menelan ludah, mengepalkan tangan sembari mengalihkan matanya pada objek lain. Keiza bisa melihat kesedihan semakin terasa nyata tercetak di wajah Ayahnya. Keiza memang sudah lama menyadarinya. Di rumah ini tak ada teriakan, tak ada perselingkuh. Tapi juga tak ada tawa, tak ada pelukan. Hanya dua orang dewasa yang menjalani hidup dalam jadwal berbeda. Keiza dan Kiara hanya menjadi “penghubung”, bukan pusat. Dan ketika akhirnya ibunya mengemasi koper, dan ayahnya hanya berkata, “Baik.”
Dan itulah akhir dari segalanya.
Awalnya Keiza takut, lalu bingung sampai tercengang. Setiap kata yang keluar dari mulut kedua orang tuanya membuat Keiza tercabik di dalam. Sehingga Keiza memutuskan untuk tak mendengarkan mereka. Namun suara-suara itu tetap melesak masuk, membuat Keiza bisa menangkap kalimat,
“…kamu sudah dewasa…”
“Kiara juga akan mengerti…”
Atau banyak lagi kata yang di telinga Keiza terdengar bagai omong kosong. Merasa tak mampu menahan kekecewaan itu, Keiza melangkah cepat ke dalam kamar. Mengurung diri. Berusaha menafikkan satu kalimat yang paling ia benci.
“Ayah dan Bunda… memutuskan untuk berpisah.”
Keiza tidak menangis. Mungkin karena sebagian dari dirinya sudah menyadari itu, jauh sebelum mereka mengatakannya. Tapi tetap saja, rasanya seperti semua ruang di dalam rumah tiba-tiba menjadi terlalu kosong. Dan terlalu dingin.
oOo
Suara hujan pagi ini membuat Keiza Mazaya semakin tak ingin keluar dari tempat tidur. Bukan, ini bukan tentang hawa dingin yang membuat orang lebih nyaman merebah di balik selimut. Ini tentang adu kekuatan di dalam diri. Tentang menahan marah dan sedih yang menggila di dalam kepala sendiri.
Pintu kamar Keiza diketuk berkali-kali. Gadis itu bergeming. Suara Bunda yang memanggil-manggil malah membuat gadis itu tetap bertahan di tempat tidurnya. Menyembunyikan diri dari rasa sakit saat melihat kedua orang tuanya. Ia tidak ingin melihat mereka. Tidak sekarang… sampai nanti entah kapan.
Tadi malam, ketika ia berhasil menarik kesimpulan, akhirnya Keiza menangis tersedu dan masih berlanjut sampai kini. Sesekali tangisannya berhenti, ia kembali berpikir.
Keiza tidak mengerti.
Berita itu datang menghantam tadi kemarin sore. Menarik Keiza ke dasar mimpi buruk yang sangat kelam. Tidurnya tak nyaman hingga akhirnya ia memutuskan tetap terjaga untuk menangis semalaman.
Kenapa harus pisah? Kenapa harus pindah? Bukannya selama ini semua baik-baik saja?
Pertanyaan-pertanyaan itu bermunculan bagai panah yang melesat cepat, menusuk ke tempat yang tepat. Panah yang tak membuatnya mati, tapi cukup membuatnya sekarat sendiri. Denyut di pelipisnya semakin terasa cepat, menarik-narik kulit sampai Keiza ingin memukulkan kepalanya ke benda apapun. Bantal, tangan, buku… tembok.
Jangan bego, Keiza!
Astaghfirullahaladzim!
Keiza menekan telingannya kuat-kuat. Akal sehatnya yang tinggal sedikit berteriak kencang. Jangan kalah, jangan kalah! Astaghfirullahaladzim! Ia tak boleh membiarkan bisikan itu berhasil melukai dirinya. Sayang …rasa sakit itu bukan hanya berasal dari isi kepala, hatinya juga sedang menjerit terluka.
Apa aku kurang baik? Apa aku udah bikin kalian kecewa? Apa aku pernah bikin salah sampai-sampai kalian harus pisah?
Keiza membalikkan tubuh, mencengkeram kepalanya untuk menghalau semua pertanyaan yang menekan itu. Namun kalimat-kalimat buruk terus dan terus bertambah. Terkatakan tanpa suara, mengirisnya dari dalam, menyeretnya ke penjara sepi. Air matanya mengalir lagi. Nafasnya tersenggal, ia sesenggukkan lagi.
“Apa ini? Kenapa sesakit ini?”
Lalu ditengah-tengah keheningan itu, ditengah-tengah kekalutannya itu, ia melihat raut wajah yang familiar. Raut wajah seseorang yang ia sedang coba selamatkan. Raut wajah dari orang yang mengajarkannya arti penting menikmati masa remaja. Seketika Keiza sadar, ternyata selama ini ia tak benar-benar melihat. Ia tak benar-benar mengerti, ketika sosok itu berteriak murka,
“LO NGGAK TAU APA YANG GUE RASAIN!”
Keiza tak benar-benar memahami. Kepedihan, kekecewaan, kebutuhan untuk terlepas dari rasa sakit dan semua alasan yang bisa membuat manusia ingin menghilang dari dunia ini. Kini Keiza mulai tahu. Perasaan kecewa ini… dan semua kata-katanya dulu, yang terasa menyakitkan jika ia mendengarnya juga dari mulut orang lain. Penyesalan mulai menghimpit dadanya. Membuat tangisnya semakin menjadi. Sederas hujan yang turun saat ini.
“Radhi… maaf.”
Kemarin, saat bertengkar dengan Radhina ada satu hal yang Keiza tak mengerti. Bagaimana ia bisa mengorbankan diri demi bergaul dengan Rakesha? Bagaimana ia bisa rela membolos, atau nekat membawa rokok ke sekolah hanya untuk bisa tahu pergaulan kakak kandungnya itu?
Kini Keiza mengerti, saat kedua orang tuanya bilang akan berpisah itu menjadi aba-aba juga untuknya. Ia mungkin harus berpisah dengan Kiara, ia mungkin juga harus berpisah… kalau tidak dengan Ayah, ya dengan Bunda. Yang jelas, semua pilihan itu hampir-hampir membuat Keiza gila.
oOo