Jam istirahat pertama, Keiza kembali mencoba mengajak Radhi bicara. Namun sepertinya percuma, Radhi terus saja bungkam sembari menyumbat telinga dengan earbuds bluetooth. Untung Keiza bukan tipe yang gampang menyerah, dalam artian lain, bebal. Cewek itu bersabar dan menunggu saat yang tepat. Jam istirahat kedua terlewat, Radhi sekali lagi pergi entah kemana.
Sampai akhirnya jam pulang, Radhina sudah siap menggendong tas. Keiza juga mempercepat gerakannya, ia ingin mencoba bicara lagi. Sayangnya Radhina keburu bangkit dan berjalan keluar dari pintu. Keiza hendak memanggil namun terhenti karena Avissena muncul di ambang pintu.
“Kita ke Lab. Multimedia, Dhi,” ucapnya sembari memberi tatapan kode pada Keiza sekilas. Avissena sudah mendengar kesaksian Keiza tentang foto dan bulletin yang tertempel di mading pagi ini. Keiza meminta Avissena untuk menjadi mediator baginya dan Radhina.
“Gue nggak mau,” Radhina menolak mentah-mentah, melangkahkan kaki hendak pulang.
“Dhi, denger dulu. Aku sama sekali nggak pernah ngomong tentang apapun soal kamu ke orang lain, apalagi bikin berita itu! Aku juga dipanggil sama Bu Sulastri karena tulisan itu. Saat ini kita lagi nyari tahu siapa orangnya—” Keiza mencegatnya.
Radhina terus saja mengabaikan Keiza, seolah cewek itu tak ada dihadapannya. Radhi kemudian dengan sengaja membuka tas, ingin mengambil earbuds bluetoothnya. Ia membuka tas bagian depan. Lalu tanpa sengaja sebuah benda asing nan tabu jatuh dari bagian dalam tas Radhi.
“Rokok?” Keiza menatap Radhi nanar. Radhina segera meraup benda itu dan berjalan cepat menuju tempat sampah terbesar untuk membuangnya sebelum banyak mata yang memperhatikan. Keiza mengikuti gerakan Radhina yang tergesa-gesa.
“Kamu ngerokok, Dhi?” Desis Keiza. Radhina hanya memasang wajah muak. Keiza yang juga merasa muak dengan semua tingkah Radhi hari ini lantas berkata. “Dhi, sebenernya kamu sadar nggak sih, sama apa yang kamu lakuin? Berkali-kali kamu bolos terus sekarang kamu bawa rokok ke sekolah?!” Keiza menuntut sembari berusaha menjaga suaranya agar tetap rendah.
“Emang gue seharusnya kayak gimana?!” justru Radhina yang meledak, menepis tangan Keiza yang berusaha meraih lengannya. “Kayak lo yang berprestasi, jadi ketua ekskul, populer dan banyak followers, gitu?!” Radhi meracau, menunjuk wajah Keiza gusar. Nada suaranya yang meninggi membuat beberapa anak yang lewat di lorong menoleh kepada mereka. Termasuk kelas sebelas DKV satu yang penasaran, keributan apa yang Radhina buat kali ini.
“Kamu cukup jadi Radhina yang dulu aku kenal. Yang nggak bolos, yang nggak bawa barang aneh-aneh ke sekolah!” Keiza berusaha menyampaikan maksud hatinya.
Radhina langsung memotong, “ngapain lo ngatur-ngatur gue?! Ini hidup-hidup gue, ya suka-suka gue! Mau gue bawa rokok, mau bawa piso!”
“Radhi!” Keiza membentak, tak tahan dengan apa yang Radhi katakan.
“JA, LO NGGAK TAHU APA YANG GUE RASAIN! JANGAN SOK TAHU!” Radhina balas membentak. Sementara semua mata sudah tertuju ke arah mereka. Sejenak keduanya kehilangan suara. Hanya saling tatap dengan mata penuh amarah. Baik Keiza dan Radhi, udara serasa tipis, menekan. Darah menggelegak, serasa ingin ditumpahkan semua kesal dengan sumpah serapah. Namun kemudian Radhina merasa ada yang merengkuhnya dari belakang. Membawanya mundur beberapa langkah. Ternyata itu tangan Avissena yang menangkap bahunya. Radhina bisa merasakan sosok cowok itu hanya beberapa senti di belakangnya.
“Tenang, Dhi. Kita di lorong sekolah,” suara itu lembut menenangkan.
Tinggal Keiza yang menatap gerakan itu dengan hati meletup-letup. Ia mencoba untuk mengendalikan diri, tapi rasanya sangat sulit. Butuh pertahanan lebih, Keiza menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Berusaha tetap bungkam. Sampai hasrat ingi memaki tadi perlahan berubah menjadi kekecewaan.
Sebuah lubang menganga, tercipta di sudut hatinya. Apalagi saat menyadari kalau Avissena berdiri di belakang Radhi, menenangkannya. Ada sesuatu yang mengganjal di dalam dada Keiza. Bukan marah. Bukan juga benci. Lebih seperti... perasaan aneh yang panas tapi diam.
Perasaan apa ini?!
Lalu tiba-tiba lengannya sendiri ditarik seseorang.
Andaru!
Cowok itu membawanya menjauh dari tempat Avissena dan Radhi berdiri sekarang. Keiza terpaksa melangkahkan kaki, mengikuti Andaru. Terpaksa melihat punggungnya yang bidang dan tegap. Juga anak-anak rambut hitam legam yang ada di sekitar tengkuk. Melintasi tatapan mata para murid yang penasaran. Hari ini sudah cukup banyak kegaduhan, sudah cukup banyak lintasan emosi. Andaru kini membawa Keiza pergi. Akankah cowok itu kembali membawa topik tentang Radhi?
Refleks Keiza menarik tangannya. Melepaskan diri dari cekalan Andaru. Kewarasannya sudah kembali. Di tahun pertama sekolah mungkin Keiza asing dengan perasaan ini. Namun setelah setahun berinteraksi, akhirnya Keiza sadar bahwa ia sedang merasa iri. Ia iri dengan semua yang Radhi miliki. Harta, sudut pandang, sahabat cowok yang loyal….
“Dia harusnya nggak kayak gitu,” gumam Keiza. “Dia harusnya sadar dia punya banyak hal! Nggak seharusnya dia nyia-nyiain semuanya!” Keiza mulai menitikkan air mata. Sekarang ia tidak hanya merasa iri, tapi juga marah dan kecewa. Ia marah kenapa Radhi menjauh dan mulai berhenti curhat padanya. Ia juga kecewa karena Radhina menyia-nyiakan sekolah. Bolos, bawa rokok, tanpa mau menceritakan lebih detil tentang masalahnya!
Keiza yang menyadari dirinya menangis segera menyeka mata. Ia kembali menggigit bibir, menahan apa segara rasa sakit yang ada. Meski Andaru sudah membawa Keiza ke koridor yang lebih sepi, tetap saja mereka ada di area sekolah. Ia tak bisa membiarkan orang lain melihat ia merengek seperti anak-anak. Terutama Andaru.
“Kamu nggak berhak menahan air mata saat dia pengen keluar.”
Mendengar komentar itu, Keiza semakin terisak. Andaru hanya bisa memperhatikan Keiza menangis sembari menyandarkan diri pada dinding koridor sembari melipat kedua tangan. Selang beberapa detik, Andaru berhenti bersandar dan bergerak menuju ke sebuah ruangan sembari berkata, “sebentar.”
Cowok itu lalu kembali sembari membawa setumpuk tisu bersama dengan kotak-kotaknya. Mau tidak mau, ditengah isakkannya itu, Keiza menyunggingkan seulas senyum miris. Rasa lucu dan nahas bercampur saat ia melihat kotak kayu yang terbuat dari bahan daur ulang itu disodorkan kepadanya.
“Makasih, Kak.” Ucap Keiza sembari mencabut beberapa helai tisu. Keiza membersit hidung dan menghapus habis sisa air matanya seraya berkata, “udah. Saya udah selesai.”
“Yakin?” Andaru sangsi, Keiza masih sesunggukkan begini. Keiza mengambil beberapa tisu lagi dan mengelap air matanya yang masih keluar sedikit-sedikit. Setelah beberapa saat, akhirnya Keiza mendongak dan menatap Andaru dengan matanya yang memerah.
“Ya. Saya nggak apa-apa.”
oOo
“Terserah dia mau anggep gue kayak apa.” Radhi berkata muram, kedua tangannya bersedekap sementara ujung sepatunya menendang batu-batu kecil pelan. Kini ia sedang bicara dengan Avissena di taman samping sekolah. Setelah hampir adu makian dengan Keiza—syukurnya tidak jadi, Radhina langsung dibawa menjauh dari kerumunan oleh Avissena. Taman samping ada di area kelas tiga. Area yang cukup sunyi karena jauh dari kantin sekolah. Hanya ada beberapa anak senior yang memutuskan untuk belajar mempersiapkan diri sebelum ujian akhir menjelang.
“Tapi dia nggak tahu kan kalau rokok itu bukan punya—“
“Karena itu gue kesel! Dia sok tahu banget! Belom tanya apa-apa udah judge ini itu!” Potong Radhi. Avissena menggeleng tak setuju.
“Lo yakin dia nggak pernah tanya apa-apa? Lo yakin dia nggak berusaha buat peduli?”
Kerutan di pangkal hidung Radhina semakin banyak. Seseorang dalam dirinya menyadari kalau jawaban dari pertanyaan Avis adalah… ya, tentu saja Keiza pernah bertanya. Sering malah. Situasi yang tak mendukung membuat Radhi enggan bercerita. Timingnya selalu tidak tepat. Saat Radhi ingin cerita, Keiza sibuk. Begitu pula sebaliknya, saat Keiza bertanya ‘kenapa’, Radhina sedang tak ingin bicara.
Komunikasi mereka patah. Dan itulah yang akhirnya membuat keduanya merasa lelah.
“Lo dan Keiza lagi merasa capek aja,” Avissena menepuk puncak kepala Radhina dua kali. Radhi segera menepis itu dan berkata dengan nada tinggi.
“Lo juga! Sama reseknya kayak Andaru! Kenapa sih kalian berdua selalu berisik soal Rakesha?! Gue pikir lo bakal dukung gue buat rekonsil, tapi apa?!”
Raut wajah Avissena mengeras. Meski ia tahu kalau kemungkinan besar Rakesha akan dibawa ke topik ini, tetap saja ia tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. “Rakesha dan elo itu beda lingkungannya Dhi.”
“Dia Kakak gue! Gue berhak buat sambung ikatan lagi sama dia! Jangan beda-bedain gue sama dia!”
“Sambung ikatan, yes, boleh. Tapi kalo lo ikutan masuk ke circlenya, lo tahu sendiri apa yang bakal gue dan Andaru lakukan. Lagian kalian emang beda, lo cewek dia cowok.” Ucap Avis dimaksudkan agak rileks diakhir kalimat. Jangankan tersenyum, kalimat itu malah mengundang satu tabokan keras di pundak Avissena.
“Terus gimana soal foto sama tulisan di mading?! Broken home?! Siapa yang dia hina coba?!” Suara Radhina bergetar. Sedari tadi dia menahan agar amarahnya tidak tumpah menjadi air mata. Ia butuh memaki, ia sangat ingin memaki supaya amarah ini setidaknya bisa tersalurkan. Namun ketika ia dikhianati oleh Keiza, orang yang bisa membuatnya merasa iri. Keluarga yang lengkap, otak encer, bisa mengemban amanah, pokoknya tipe murid yang sangat baik. Satu tipe dengan Andaru dan Avissena. Sejujurnya, Radhina sangat iri tentang itu, saking irinya Radhina sampai jadi menghormati Keiza.
Mendadak lidahnya tertahan. Makian terhenti di pangkal tenggorokan. Membuatnya tercekat, makian itu berubah menjadi sesuatu yang memanaskan kedua pelupuk mata.
“Nangis aja, Dhi.” Avissena menangkap tangan Radhi ketika cewek itu ingin menghapus air mata yang jatuh. Radhina menepis tangan itu dan menyeka matanya kuat-kuat. Seumur hidup Radhina sering merasa kecewa. Tentang orang tuanya, tentang Rakesha… tentang teman-temannya saat SMP dulu. Meski begitu Radhi mencoba untuk bertahan, dengan hanya mengandalkan kasih sayang sahabat-sahabatnya. Keiza termasuk dalam lingkaran itu. Jadi ketika Radhi melihat tulisan itu… semua pertahanannya seolah runtuh begitu saja.
“Mungkin lo lagi marah sekarang. Nggak apa-apa… tapi nanti, coba lo pikir lagi. Keiza itu orang yang kayak gimana. Coba lo pikir lagi, dulu, apa yang bikin lo mau temenan sama dia. Coba pikir lagi… dia itu orang yang akan menyakiti lo, atau nggak.”
oOo