“Selingkuhan Ayah kamu?!” Keiza terkejut, tapi ia berusaha bicara dengan bisikan.
Radhina diam saja sembari terus memperhatikan situasi di depannya. Mall ini sepertinya sudah disetting untuk memberi Radhina kejutan paling menjijikkan sepanjang hidupnya. Suara musik pop Korea dari toko aksesoris memekakkan telinga, tapi jantung Radhina berdebar lebih kencang dari itu. Radhina berdiri di balik tiang besar lantai dua Mall X, tangan gemetar memegang paper bag kecil berisi sepatu yang baru saja ia beli. Keiza ada di sampingnya. Kaget, tentu saja. Siapa yang sangka jadwal ‘hang out untuk ketemu Abang teman’ ini tiba-tiba berubah judul jadi ‘ketemu selingkuhan papanya teman’.
Selingkuhan Papa Radhina, sedang duduk di cafe depan sana. Bersama seorang remaja laki-laki. Mata Radhi menajam. Laki-laki itu bukan Papanya. Bukan pula rekan kerja. Tapi... laki-laki yang muda dengan jaket hitam dan celana jeans, terlihat urakan memandang perempuan itu dengan tatapan benci. Selingkuhan Papa sendiri memakai baju terusan tanpa lengan dan aksesori mahal, seperti tas juga perhiasan. Darah Radhina semakin mendidih ketika tangannya terlihat berusaha meraih laki-laki itu.
Radhina maju begitu saja. Keiza sempat berpikir kalau Radhina gila. Namun sepersekian detik ia mengerti kalau temannya ini paling tak bisa bertoleransi pada kepura-puraan.
“Rakesha!” panggil Radhina, menahan gemetar. “Lo ngapain?!”
Mereka berdua menoleh. Rakesha terlihat lega saat melihat adiknya datang. Dan perempuan itu? Tampak terkejut awalnya, tetapi kemudian ia memunculkan senyum. Astaga, masih bisa SENYUM? Radhina memaki dalam hati.
“Dhin,” Rakesha berdiri dari duduknya. Keiza memperhatikan orang yang Radhina sebut ‘Abang’, orang yang membuat janji di ponsel itu.
Rakesha bukan tipe cowok yang langsung menarik perhatian karena wajah tampan seperti idol Korea—tapi auranya? Berat. Mencolok. Seperti magnet berbahaya yang bisa membuat orang otomatis menyingkir, tapi diam-diam bikin penasaran.
Kulitnya sawo matang, tinggi badannya sekitar 178 cm, dengan bahu lebar dan tubuh ramping berotot—bukan dari gym, tapi dari seringnya ia naik motor tengah malam dan lari dari kejaran masalah. Rambutnya hitam legam, sedikit gondrong dan sering dibiarkan berantakan. Matanya tajam, dalam, dengan sorot sinis yang seperti selalu menyimpan kemarahan—atau rahasia yang tak ingin dibagi siapa pun. Alisnya tebal, memberi kesan wajahnya selalu serius. Di lehernya tergantung rantai tipis dari baja hitam, jaket kulit hitam lusuh dan celana jeans belel, lengkap dengan sepatu boots yang terlihat sering menghantam aspal.
“Gue nggak suka panggilan itu,” Radhina melirik Rakesha gusar.
“Kebetulan sekali, saya pengin banget ketemu kalian.” Suara Faradina Senjani membuat Radhina mual. “Gimana kabar kamu, Radhina? Aku senang kamu dan Rakesha kelihatan sehat.”
“Nggak ada urusannya sama pelakor,” balas Radhina ketus. Orang-orang mulai memperhatikan. Keiza bisa merasakan tatapan dari meja sebelah. Tapi Radhina sama sekali tak peduli.
“Kita pergi aja ke tempat lain, lah.” Rakesha beranjak, tetapi Dina menahan tangan remaja itu. Refleks Rakesha menarik tangannya.
“Rakes, Radhi, ini udah lima tahun, kalian harus terima kenyataan kalau aku ini sekarang Ibu kalian,” Dina berdiri, suaranya terdengar membujuk. Tetapi Radhina tahu kalau itu semua hanya akal-akalan. Bisa jadi akting. Mendekati Radhina dengan dalih melatih gadis itu basket, seolah berusaha memperpendek jarak. Sampai akhirnya berita perselingkuhan itu terdengar dari mulut Mamanya sendiri. Disusul oleh hengkangnya Mama dan Rakesha dari rumah. Semua kejadian itu membuat Radhina jijik setiap kali ia melihat tubuh Dina yang atletis itu.
“Mau lima tahun, kek, sepuluh, kek, lo nggak akan pernah kami akui!” Radhina menarik Rakesha keluar dari café. Keiza mengekor seperti orang bingung. Dia benar-benar bingung. Kejadian ini begitu cepat untuk kapasitas otak Keiza. Ia bisa membuat draft pidato, atau merancang desain poster, atau menyusun materi presentasi bertingkat. Namun menemai Radhina dan ikut menyaksikan drama keluarganya tentu lebih rumit dari itu semua.
oOo