“Gue boleh main ke rumah lo?”
Keiza tetiba ingat waktu pertama kali Radhina mencetuskan ide hang out. Seperti anak SMA kebanyakan, yang jiwa mainnya masih kental teraduk dalam diri, Radhina tentu sering mengajak Keiza pergi. Entah ke mall, kebun binatang, atau planetarium. Mulai dari Taman Bunga di Cibodas sampai ke Taman Bunga Keukenhof di kota Lisse. Ya, tentu semua ajakan itu cuma wacana. Pada akhirnya, lokasi pertama yang mereka berdua kunjungi untuk main adalah rumah Keiza.
Sepengetahuan Keiza, Radhina anak tunggal. Cewek itu hampir tak pernah bercerita tentang keluarganya, kecuali kalau Ayah Keiza yang bertanya. Radhina selalu datang ke sekolah dengan membawa berita terbaru tentang game atau anime terbaru. Berbaur tanpa sedikitpun menyentuh topik lebih dalam tentang Ayah, Ibu ataupun saudara.
Keiza sendiri senang-senang saja membawa Radhina main ke rumah. Dulu teman SMPnya juga suka datang. Bertemu dengan Ayah, juga dengan Kiara. Yang paling jarang ditemui adalah ibu Keiza yang memang baru sampai rumah selepas maghrib atau isya. Singkat cerita, Radhina juga begitu. Ia lebih suka main ke rumah Avissena atau mengerjakan tugas di rumah Keiza. Dimana Radhina bisa disambut dengan sapaan, disuguhi sirop, jus atau kue kering. Diisengi Kiara yang sesekali datang mengerecok atau menumpang menonton anime kesukaan di perpustakaan keluarga Avissena. Intinya, ia tak pernah langsung pulang ke rumah.
Sekali Radhina pernah bilang, di masa depan ia akan gantian mengundang Keiza ke rumah. Namun, tak ada kata ‘abang’ dalam wacana itu. Karenanya, saat hari ini Keiza mendengar sebutan kakak laki-laki ala betawi terucap dari mulut Radhi, ia jadi heran sendiri. Abang seperti apa yang Radhi maksud?
“Abang ketemu gede? Abang-abangan? Avissena juga dipanggil Abang.” Keiza menyebut istilah gaul untuk teman laki-laki lebih tua.
“Bukan! Abang beneran. Abang Kandung! Avis mah, emang bentar lagi punya adik, dia.”
“Serius kamu, Dhi?” mata Keiza terbelalak. Ia sempat terdistraksi dengan berita kedua. Tapi kemudian ia menarik dirinya untuk fokus pada cerita Radhina. Berusaha agar suaranya tetap tersamar, walau dalam toilet siapa tahu ada anak yang akan masuk tiba-tiba.
“Gue jarang cerita ke orang-orang, tapi sebenernya gue punya kakak, namanya Rakesha.”
“Ah!” Keiza mulai menyambungkan informasi ini dengan perkataan Bu Mira kemarin. Tapi ia segera menahan mulut. Terbongkarnya nama Rakesha bukan berarti Keiza bisa lancang asal sebut nama itu. Apalagi Bu Mira kelihatannya hanya keceplosan saat menyebutkannya.
“Avis tahu kamu punya kakak, Dhi?” Keiza memilih pertanyaan paling aman.
Radhina mengangguk. “Tapi dia nggak tahu kalo gue ketemu lagi sama abang gue. Makanya lo diem-diem, jangan ngomong sama siapa-siapa.”
Keiza langsung merapatkan bibir. Sadar kalau topik ini tak bisa dibicarakan di sekolah. Ada suatu dorongan dalam diri Keiza yang ingin menceritakan kepada Radhi soal Bu Mira. Tetapi ia berusaha sekuat tenaga menahannya. Kebetulan, pas sekali seorang siswi masuk ke dalam toilet. Membuat mereka akhirnya memutuskan untuk keluar. Abella dan Rere pasti sudah menunggu mereka di meja kantin biasa. Bisa jadi mereka sudah memesan sesuatu. Daripada mendengar Rere ribut, Radhina dan Keiza bergegas menuju kantin. Namun di sela-sela perjalanan mereka, Radhina berbisik, “jangan kasih tahu siapapun soal ini pokoknya. Terutama Avissena.”
oOo
Empat jam kemudian Keiza dan Radhina sudah terdampar di pelataran mall yang jaraknya hanya beberapa menit dari sekolah. Radhina memohon kepada Keiza untuk menemaninya menemui Rakesha. Awalnya Keiza enggan, tetapi setelah meminta izin pada ayahnya dan diperbolehkan, cewek itu berangkat juga. Hanya perjalanan tujuh menit menggunakan ojek online yang berkendara beriringan, mereka sampai.
“Aku dititipin belanjaan yang agak banyakan. Ya ampun, duit bulananku udah menipis,” keluh Keiza sembari membetulkan jilbab selepas membuka helm. “Kiara minta titip beliin blocknote.”
“Mo pake duit gue dulu.” Radhina menawarkan.
“Nggak apa-apa, takut tuman.”
“Serius nih, gue baru dapet transferan.” Radhina kembali menawarkan. Matanya meledek seperti orang yang baru dapat harta warisan. Keiza menggeleng, membuat ekspresi wajah ‘nggak, makasih’ andalannya.
Radhina terkekeh kemudian matanya menangkap mobil sport berwarna hitam yang sangat ia kenal. Letaknya sepuluh meter dari tempat mereka berdiri. Posisi di muka mall, menggunakan parkir khusus valet. Baru Radhina mau mendekati mobil hitam itu tapi Keiza keburu memanggilnya.
“Dhi, ayo! Nanti keburu sore.”
“Hah.” Radhina menoleh linglung. Ia tidak jadi mendekati mobil hitam itu. Mungkin saja apa yang ia pikirkan salah. Model mobil itu kan, lagi nge-trend. Siapa tahu itu mobil milik orang lain. Ah… atau berbalik sebentar untuk lihat plat nomornya ya?
“Kenapa sih?” Tanya Keiza yang terpaksa kembali untuk mengecek keadaan Radhi.
“Mm, gue ngeliat mobil yang gue kenal…kayaknya.”
“Mobil siapa?”
Bokap gue. Namun Radhina tak menyuarakannya. Ia akhirnya memutuskan untuk mengabaikan mobil itu dan masuk ke area dalam mall bersama Keiza. Hampir mustahil Papanya yang seorang pejabat mau mampir ke mall di jam-jam segini.
“Apa kita balik aja, Dhi?” Keiza bertanya begitu mereka melangkahkan kaki di ekskalator. Baru kali ini Keiza melihat Radhina sangat gugup. Tampilan luarnya biasa saja, tapi dari gerak-gerik yang kaku dan beberapa kali space out, Keiza yakin kalau Radhina benar sedang gugup.
“Nggak lah, ngapain, udah sampe sini.” Radhina mengibaskan tangan, semasa bodoh jika memang itu mobil ayahnya. Jika bertemu ya tinggal salam saja lalu pamit pergi. Toh sepertinya Papa juga tak akan berlama-lama mengobrol dengan Radhina. Masalahnya adalah jika Papanya bertemu dengan Rakesha. Pikiran itulah yang mengganggu Radhina sedari tadi.
“Dhi, kamu nggak apa-apa, kan?” Keiza mengangkat kedua alisnya, memperhatikan Radhina prihatin.
“Nggak apa-apa, tenang.” Radhina sekali lagi mengibaskan tangan. “Serius nih, lo nggak mau pake duit gue?” Cewek itu malah mengalihkan obrolan ke topik lain. Keiza sampai gemas dan segera mencubit tengkuk Radhi layaknya anak kucing. Tentu saja Radhina berhasil menghindar.
“Pengutang tak boleh melakukan kekerasan pada yang dihutang,” ledek Radhina.
“Aku nggak ngutang!” sergah Keiza, tapi tak lama karena matanya menangkap sosok yang ia kenal. Annara Sukma, sang anggota ekskul Paskibra sedang duduk di bangku pojok sebuah kafe. Matanya menatap keluar jendela, seperti menunggu seseorang.
“Emang dasar ini mall deket sekolah kali ya. Yang dilihat anak Teruna mulu.” Radhina berkomentar. Rupanya ia juga melihat sosok Anna.
“Jodoh banget ngeliat dia lagi, dia lagi.” Keiza menghela nafas.
“Ja, coba lo tebak, kenapa dia duduk sendirian bengong dipojokan begitu?” Radhi melipat tangan di depan dada, memincingkan mata penuh selidik.
“Mm… mau kerja kelom—“
“Yakali kerja kelompok di kafe, ngabisin duit doang itu mah.” Radhina menyela bahkan sebelum Keiza selesai bicara. “Gue tebak dia lagi patah hati, terus menggalau.” Cewek itu melanjutkan asal.
“Salah.” Suara seorang cowok membuat keduanya terlonjak. Terutama Radhi yang langsung menarik tangan Keiza untuk kabur. Sayang tangan si cowok lebih cepat menangkap lengan Radhina, menahan cewek itu tetap di tempat.
“Dia lagi nungguin saya.” Andaru bicara terlebih dulu pada Keiza sebelum mata elangnya menangkap Radhi yang sibuk memberontak. “Mau sampai kapan lo ngehindarin gue?”
Untuk yang pertama kalinya, Keiza mendengar Andaru bicara dengan kata panggil non formal.
“Siapa yang ngehindarin lo, ih, sok tahu!” Radhina masih terus berusaha melepaskan cekalan tangan Andaru. “Lepasin gue, Ru!”
Andaru melepas cekalan tangannya. Ia kembali beralih melihat Keiza, “kamu masih ada hutang sama saya.”
Hah? Keiza jelas kebingungan. Dihutangi Radhina saja ia tidak mau, apalagi berhutang pada Andaru? Tapi pemikiran itu segera tersingkir ketika Andaru mengucapkan kata-kata yang menjadi kunci utama.
“Tugas Bu Linda.”
Kesadaran seolah baru menghampiri diri Keiza. Jadi ini yang dimaksud Andaru soal ‘nggak gratis’, tapi kan waktu Andaru bilang kalau cuma bercanda.
“Gimana kalau dilunasi pakai kopi itu?” Tawar Andaru, tanpa memberi Keiza kesempatan untuk bertanya. Bagaimana mau bertanya, menjawab iya dan tidak saja ia tak sempat. Andaru langsung mengambil langkah menuju Kafe.
Radhina menggamit Keiza, “Ja, udah kita pergi aja!”
Tetapi Keiza bergeming, menatap punggung Andaru yang menjauh, pergi ke tempat Anna duduk.
“Dhi… kayaknya… aku harus pinjem uang kamu.”
oOo
Radhina frustasi. Meski begitu ia tetap mengekor di belakang Keiza saat cewek itu memesan es kopi untuk Andaru. “Lo ngapain sih beliin dia es kopi segala? Udah kita pergi aja ga usah kepancing sama kata-kata dia. Duit dia banyak! Lo lupa kita ke sini buat ketemu siapa?” Radhi terus memprotes, meminta Keiza untuk segera hengkang dari kafe ini.
“Aku cuma mau melunasi hutang.” Balas Keiza, membayar kasir dengan menggunakan online pay. Setelah itu ia mengambil pesanan kopi, pergi menghampiri Andaru yang sudah duduk berhadap-hadapan dengan Anna. Keiza meletakkan gelas plastik estetik berisi kopi ke hadapan Andaru, mengabaikan tatapan sinis Anna dan pamit pergi.
“Kalian duduk di sini aja dulu,” ucap Andaru, menawarkan Keiza untuk duduk. “Kenapa buru-buru?”
“Soalnya agenda kita banyak!” Radhina menyalak, “dan nggak ada satupun list yang nyebut duduk bareng sama lo sambil ngopi!” Lanjutnya sadis, membuat Anna semakin melotot di kursinya.
“Tapi lo harus denger, ini tentang Rakesha.”
Begitu Andaru menyebut nama kakak laki-lakinya, Radhina terdiam. Tangannya mencengkeram, bimbang, antara penasaran tapi takut ini hanya akal-akalan Andaru supaya Radhina menjauh lagi dari Rakesha.
“Kenapa, Rakesha?” Tangan Radhina mengepal. Alasan cewek itu menjauh dari Andaru sebenarnya karena cowok itu sangat berisik soal Rakesha. Jauh lebih berisik dari Avissena. bahkan bukan hanya berisik, tapi juga sebisa mungkin membuat Radhina dan Rakesha tidak bertemu.
Hubungan keempat orang itu bisa dibilang sangat kompleks. Andaru, Avissena, Radhina dan Rakesha harusnya menjadi teman sejak kecil. Namun karena kedua orang tua Radhi bercerai saat ia berumur delapan tahun. Rakesha yang lebih tua setahun dibawa pergi oleh sang ibu. Sementara Radhina sendiri diasuh oleh Papa dan si mbok. Papa tidak pernah memberitahukan dimana Ibunya dan Rakesha tinggal. Radhina harus puas dengan hari-hari tanpa Ibu. Karena itu ia lebih sering main ke rumah Avissena atau Andaru untuk membunuh waktu.
Andaru berbeda. Ia sempat berkenalan dengan Rakesha karena mereka seusia. Andaru juga cukup pintar untuk melacak bagaimana keadaan Rakesha dan Ibunya. Awalnya, Andaru berniat menceritakan itu kepada Radhina, tetapi akhirnya Andaru memutuskan untuk merahasiakan mereka berdua.
Sampai akhirnya tiba tahun ketiga SMP. Radhina memergoki ponsel Andaru menyimpan nomor telepon Rakesha. Ia diam-diam mencatatnya lalu mengambek kepada Andaru, merasa dikhianati karena informasi itu tak sampai padanya.
“Terus, kalau ini tentang Rakesha, kenapa mesti ada dia?” mata Radhina mengerling kepada Anna.
“Ru! Kenapa sih dia harus ikutan? Emang dia kenal Rakesha juga?” Anna tak terima keberadaannya dipertanyakan oleh adik kelas kurang ajar yang satu ini. Tak rela waktu menunggunya diinterupsi oleh makhluk yang tahu-tahu masuk ke dalam obrolan super pribadi.
“Ck,” Radhina berdecak. “Gue nggak butuh informasi apa-apa dari orang yang ahli nyembunyiin informasi!” Putusnya sembari menarik tangan Keiza. Mereka berdua pergi, meninggalkan Andaru dan Anna dengan sejuta tanda tanya.
oOo
“Dhi, kayaknya… kita harus ketemu Kak Andaru dulu sebelum ketemu kakak kamu.” Keiza menyarankan saat mereka berada di toko sepatu. Memperhatikan Radhina yang sedang mencoba sepatu kets putih dengan list oranye.
“Paling dia bakal nyuruh gue pulang,” Radhina mencopot sepatu itu dan mengembalikannya ke rak semula. Ia melihat sepatu di sisi rak yang lain dan menemukan sepatu dengan model yang sama tetapi list berwarna hijau. Keiza mengekorinya.
“Gue udah berusaha ngehubungin Rakesha dari tahun lalu. Tapi chat gue nggak pernah dibales. Gue browsing di sosial media, ada akunnya tapi diprivate. Seminggu yang lalu Rakesha akhirnya ngechat gue duluan.” Radhina menyunggingkan senyum. “Dia bilang selama ini nggak enak mau ngehubungin gue karena diancem sama Andaru.”
“Kenapa? Kalian kan kakak-beradik?” Keiza mengerutkan alis.
“Nah kan! Gue juga heran!” Omel Radhina sembari mengajak Keiza menuju kasir untuk melakukan pembayaran.
“Buat apa coba dia ngelarang-larang Rakesha buat ngehubungin gue? Dia kan kakak gue! Ya meskipun gue juga udah nggak pernah ngeliat nyokap dan Rakesha. Tetep aja nggak masuk akal. Siapa dia ngatur-ngatur hubungan gue sama kakak gue.” Radhina mencabut kartu debitnya dengan gusar, lalu menyerahkannya ke Kasir. Mbak Kasir sampai mundur beberapa senti karena takut kena gelombang emosi Radhina.
“Yaudah-yaudah, sekarang kan yang penting kamu udah kontakan lagi sama Rakesha. Mungkin suatu saat, kamu bisa ketemu ibumu lagi.”
“Ck, kalo nyokap gue nggak tahu deh. Sama aja sibuknya sama bokap.” Radhina geleng-geleng kepala, mengingat sekilas sosok ibunya yang merupakan sosialita. Namun sedetik kemudian raut wajahnya berubah lebih ceria, kentara puas dengan sepatu kets yang kini sudah menjadi miliknya.
“Dasar shopaholic,” umpat Keiza sembari tertawa kecil.
“Ini hiburan.” Ujar Radhi sembari menggoyang-goyangkan kantong belanja. “Bokap gue cuma ngasih gue kartu ini,” Radhi menunjukkan kartu hitamnya. “Karena itu gue harus menggunakannya dengan baik.”
Keiza mendengkus, tetapi dalam hati membenarkan. Baru hari ini Keiza mendengar lengkap kisah keluarga Radhi yang super pelik. Tak ada kehangatan keluarga, hanya uang yang tersisa untuknya. Jadi, masa Keiza tega mengkritisi pilihan Radhi untuk menghibur dirinya sendiri? Lagipula sebenarnya Radhina bukan tipikal cewek boros yang suka menghamburkan uang. Mereka jarang ke mall, pula Radhina lebih sering jajan aci goreng atau seblak ketimbang makanan fancy caffe.
“Tapi jangan kebanyakan juga, sih. Sayang kan, duitnya bisa dipake buat hal yang lebih bermanfaat.” Keiza berkomentar sok bijak saat mereka keluar dari konter sepatu.
Radhina menjulurkan lidah, mencemo’oh komentar itu. “Yaudah nih, gue kasih sebagian duit gue buat sedekah ke lo.” Radhina belagak mengorek-ngorek kantong seragamnya. Tetapi bukannya mengeluarkan lembaran uang, ia malah membuat simbol heart dengan tangan dan memberikannya pada Keiza.
Keiza mengeplak tangan itu.
“Nih gue kasih heart, heart! Terima, Ja!”
“Ih, kamu kasih aja buat Kak Andaru, sana!”
Radhina lagi-lagi memunculkan reaksi seakan ingin muntah. Membuat Keiza terpikir akan sesuatu. “Mm, tapi Dhi, kamu pernah bertanya-tanya nggak sih, kenapa kak Andaru ngelakuin itu?”
Radhina memutar kedua bola matanya, malas. “Pernah lah, tapi dia mana mau kasih tahu jawabannya.” Lalu ia berdecak dan memutuskan untuk tak membicarakan perihal itu lagi. Keiza manggut-manggut, menghargai keputusan Radhi untuk meninggalkan topik itu. Tiba-tiba tangan Keiza ditarik kencang oleh Radhina, hendak bersembunyi ke balik tiang ekskalator.
“Kenapa, sih?” Keiza bertanya, melihat pada Radhina yang tiba-tiba tegang. Sementara Radhina tak bisa mengatakan apa-apa. Ia tak bisa menceritakan pada Keiza, tidak sekarang. Kalau beberapa detik yang lalu, ia melihat sosok yang paling ia benci. Lebih daripada Andaru, lebih daripada Papanya. Orang yang membuat ia tak suka bila dipanggil dengan sebutan ‘Dhina’. Orang itu adalah wanita yang telah membuat kedua orang tuanya bercerai. Pelatih basket Radhina sejak kelas empat sampai dengan tahun kedua SMP.
Nyonya Faradina Senjani, atau… Dina yang lain.
oOo