Waktu berjalan, Avis sudah kembali membawa cangkir-cangkir berisi jus dan mulai membaca ulang satu buku ensiklopedi astronomi. Anak-anak itu mulai tenggelam dalam kegiatan dan dunia tugas masing-masing. Tanpa terasa jarum jam menunjuk angka tiga dan disusul suara adzan mulai berkumandang.
Bulatan mata hitam Avissena bergerak ke kiri, melihat Radhi yang sedang membuat pola garis dan Danes yang mulai tenggelam dalam coding di laptop. Abella juga sibuk memberi warna pada posternya dengan spidol posca. Sedangkan Keiza menghilang dari posisinya di karpet belajar. Avissena menemukan Keiza sudah duduk di anak tangga ketiga, rak nomor dua bagian kanan, melihat beberapa judul buku lain yang menarik. Avissena bangkit dari duduknya untuk mengintip sedikit buku sketsa Radhi dan Abella.
“Design kalian bagus.”
“Woiya, dong!” Radhina menyeru bangga, memperlihatkan sketsa kampanye berjudul Tanam Sejuta Pohon’ miliknya. Abella sendiri masih serius membuat tipografi untuk poster bertema Hari Anak Nasional.
“Mm, Vis, menurut lo warna ini udah bagus? Perpaduannya oke kan ya, saling ngeblend?” Abella menyodorkan buku gambarnya.
Avis melihat poster itu lagi sebelum berkata, “gue malah baru tahu kalau ungu bisa dipadu-padanin sama kuning. Keren kok.” Ia memberi Abella jempol. Yang langsung membuat cewek di depannya tersenyum ceria.
“Gue ambil kukis sebentar, ya. Tadi kan nyokap masak, kayaknya sekarang udah siap.” Cowok itu kemudian melangkah menuju Keiza dan berkata, “bantuin gue ambil cemilan.” Ucapnya sembari mengetuk anak tangga yang menopang kaki Keiza. Menanggapi Avissena, Keiza segera merayap turun dari tangga. Mengikuti cowok itu keluar dari ruang perpustakaan. Sudut mata Abella mengikuti keduanya dengan penasaran.
“Eh, Dhi.”
“Hmm?” Radhi menyahut, tangannya tak berhenti menggambar poster.
“Si Avis suka cerita soal Keiza nggak, sih?”
Radhi mengerutkan alis tipis, “gue malah yang sering cerita soal Keiza ke Avis.” Ia menjawab sambil terus menggambar tugasnya sendiri.
“Eh, menurut lo mereka saling suka nggak, sih?” bisik Abella.
Tawa Radhi menyembur, “gosip aja lo. Kerjain aja dulu ini tugas poster, baru nanti kita ngomongin yang lain.” Radhi melanjutkan kegiatan menggambarnya, walau agak keras kepala tetapi Radhina tipe yang berusaha menepati janji. Ia sudah bilang pada Keiza akan benar-benar mengerjakan tugas di rumah Avissena, dan Radhina betul-betul melakukannya. Danes sendiri hanya menatap Abella dan Radhi sekilas. Kemudian tenggelam dalam kegiatan pembuatan aplikasinya lagi.
Sementara di dapur aroma kukis yang baru matang menyambut indera penciuman Keiza. Harumnya manis dan hangat—perpaduan mentega, vanila, dan sedikit cokelat chip yang meleleh sempurna. Di tengah meja, loyang kukis masih mengepul, sementara Ibunda Avissena dengan cekatan memindahkannya satu per satu ke atas kertas minyak.
“Hai, kamu Keiza, ya?” sapa Bu Mira sembari memilih satu per satu kukis yang bentuknya paling bagus—tidak terlalu gosong di pinggir, tidak terlalu pecah di tengah. Beliau sisihkan yang masih hangat dan perhatiannya bergeser pada kukis yang sudah dingin.
“Iya, Tante. Aroma kukisnya enak banget, Tan.” Keiza memperhatikan wanita berkerudung di depannya. Tangan ibu Avissena lincah, tapi gerakannya penuh kelembutan. Membungkus rapi kukis-kukis itu dengan plastik bening, diikat pita kecil berwarna biru.
Keiza bisa merasakan, kukis-kukis itu tak sekadar cemilan. Mereka adalah pesan diam dari seorang ibu—tentang cinta yang tak selalu lantang, tapi bisa dirasakan dengan tenang. Tentang dukungan yang dibungkus sederhana, tapi selalu sampai tepat waktu. Wah, Keiza tersenyum menyadari pikirannya yang terlalu puitis. Keiza jadi teringat tentang ibunya sendiri. Kapan terakhir kali dia makan masakan buatan Ibunda? Sepertinya sudah sangat lama.
“Boleh saya bantu, Tante?” Keiza menawarkan, tentu saja hal itu disambut dengan senang hati oleh Bu Mira. “Kamu boleh manggil saya Bu Mira saja, nggak apa-apa. Sini, masuk ke dalam dapur.”
“Abang, kamu nggak solat ashar dulu?” Ibu Avissena berkata pada anak laki-lakinya yang sejak muncul hanya diam bersandar pada tepian meja dapur. Ikut terkesima pada kue yang dibuat oleh ibunya sendiri. Mendengar pertanyaan itu Avissena langsung mengerti, ia mengangguk dan berbalik untuk kembali ke atas, mengajak Danes solat ashar berjama’ah.
Keiza tersenyum mengambil posisi untuk membantu Bu Mira membungkus kukis-kukis yang sudah dingin. Ia benar-benar menyukai ruangan yang dipenuhi aroma manis kukis yang baru matang. Suara Bu Mira yang menceritakan proses memanggang kukis sembari sesekali tertawa kecil juga seperti mewarnai udara.
“Keiza, kamu punya pacar?” tanya Bu Mira tiba-tiba. Keiza agak terkejut, tetapi obrolan yang mengalir membuat gadis itu merasa wajar bila Bu Mira bertanya.
“Nggak, Tante. Saya nggak pacaran,” Keiza menjawab sesantai mungkin, padahal dirinya gugup setengah mati. Namun bisa jadi itu pertanyaan jebakan, kan?
“Oh, ya?” Bu Mira tampak surprise dengan jawaban Keiza, meski begitu senyum masih tercetak di wajahnya. Keiza mengangguk, meyakinkan.
“Fokus sekolah dulu?” tanya Bu Mira. Keiza mengangguk lagi, sebenarnya ia sama sekali tak terpikir punya romansa dengan siapapun. Hidupnya di Teruna Angkasa sudah cukup menyenangkan tanpa embel-embel cinta monyet. Apalagi Keiza pernah didoakan oleh Ayahnya; semoga suatu hari, jika Keiza jatuh cinta itu akan ada langsung ketika ia memakai gaun pengantin. Jadi asa Keiza sungguh jauh dari konsep kisah-kasih di sekolah.
“Bagus sekali, Tante juga bilang ke abang, fokus dulu sekolah. Nggak usah pacaran-pacaran.” Kalimat dari Bu Mira ini sekaligus menutup topik tentang romansa. Mereka kembali fokus pada kegiatan memanggang dan membungkus kukis.
“Nah, yang ini jangan dibungkus dulu, ya. Itu jatahnya Avis, nanti kalau habis semua dibungkus, dia bisa ngambek,” kata Bu Mira sambil tertawa kecil, menyerahkan satu kukis ke tangan Keiza, memintanya untuk memisahkan kukis itu ke piring khusus.
“Dia segitu sukanya ya, Tante? Dari aromanya memang enak banget sih…”
“Dari kecil emang doyan. Tapi kalo ada kamu yang bantu rapihin gini, mungkin makin lahap makannya,” goda Bu Mira, melirik Keiza dengan pandangan hangat yang membuat gadis itu salah tingkah. Keiza tersenyum, entah kenapa pipinya sedikit memerah.
“S-saya nggak pacaran Tante!” Keiza mempertegas prinsipnya. Walau dalam hati kecil agak goyah, siapa sih yang nggak mau kalau cowok seperti Avissena? Keiza menggelengkan kepala kuat-kuat.
Bu Mira tertawa, “iya-iya, saya tahu.”
Mereka kembali membicarakan resep kukis, sebelum Keiza akhirnya duduk di bangku kecil di dekat meja, jari-jarinya masih sibuk merapikan plastik-plastik bungkus.
“Nanti kalian bawa lima-lima, ya.”
“Jadi merepotkan, Tante Mira.”
“Sudah biasa, Za. Avis, Danes dan teman-temannya yang lain kalau ke sini dan pas Tante bikin kue, mereka pasti bawa. Oh iya, kamu boleh panggil Tante, Ibu loh.” Bu Mira menawarkan untuk yang kedua kali.
Keiza menangguk sembari tersenyum, ia sudah selesai merapikan pita.
“Za, kamu pertama kali ketemu sama Avis dan Radhi katanya pas MPLS, betul?” Bu Mira menyandarkan tubuhnya di meja, tangan tetap sibuk mengelap loyang yang sudah kosong.
Keiza terkekeh. “Betul, Bu. Waktu itu pin saya jatuh, Radhi yang pungut. Padahal, saya keliling bangunan sekolah, tapi Avissena dan Radhi ngejar saya untuk kembalikan pin itu.” Keiza nyengir saat mengingat moment pertama kali bertemu Radhina dan Avissena. Masih memakai seragam SMP dan kelihatan seperti anak-anak. Entah sejak kapan, Keiza merasa penampilan mereka semakin dewasa. Terutama Avissena yang tingginya meludut pasca memakai seragam putih abu-abu.
“Avis sempat cerita itu ke Ibu, Dhina juga.”
Saat mengucapkan kalimat terakhir, satu pertanyaan muncul di benak Keiza. “Mereka sahabatan dari kecil, ya Bu?”
Bu Mira mengangguk pelan. Tatapannya melembut, “orang tua Radhina itu sahabat Ibu. Dari kecil dia…” Bu Mira menyipitkan matanya sebentar, mencari kata yang tepat untuk menjelaskan, “Radhina sering dititipkan ke sini karena orang tuanya sering ke luar negeri, dia sudah seperti anak saya sendiri.”
Keiza menyimak kalimat itu dengan kesadaran penuh. Ia juga tahu kalau orang tua Radhina memang sangat sibuk. Agak mirip seperti Ibunda Keiza yang selalu bekerja. Hanya saja Keiza merasa beruntung karena ayahnya cukup perhatian. Dia juga punya saudara perempuan bernama Kiara sebagai teman di rumah. Keiza tak bisa membayangkan betapa kesepiannya Radhina kalau tidak ada Avissena dan Bu Mira.
Bu Mira menyimpan loyang di nakas sembari lanjut berkata, “saya seneng Avis dan Radhina bisa punya teman seperti kamu. Seandainya Rakesha juga bisa masuk Teruna Angkasa.”
“Rakesha?” Keiza bertanya saat Bu Mira mengucapkan nama yang asing.
Bu Mira tertegun, tetapi hanya sesaat kemudian memberi Keiza senyuman yang lembut. Mereka saling pandang sebentar. Lalu Bu Mira mengalihkan pembicaraan, tentu saja tentang kue kering. Keiza penasaran, tapi jika Bu Mira enggan, maka semuanya cukup. Tidak ada yang perlu diucapkan.
Di menit berikutnya, Avissena datang bersama Danes, Radhina, Rere dan Abella. Suasana dapur sore itu seperti dipenuhi sesuatu yang hangat—bukan hanya dari kukis yang baru matang, tapi juga dari obrolan sederhana yang terasa akrab. Keiza menyimpulkan saat ia melihat semua temannya memakan kukis. Ternyata belajar kelompok di rumah teman sekelas bisa menyenangkan juga.
oOo
Invisible
738
463
0
Romance
Dia abu-abu.
Hidup dengan penuh bayangan tanpa kenyataan membuat dia merasa terasingkan.Kematian saudara kembarnya membuat sang orang tua menekan keras kehendak mereka.Demi menutupi hal yang tidak diinginkan mereka memintanya untuk menjadi sosok saudara kembar yang telah tiada.
Ia tertekan? They already know the answer.
She said."I'm visible or invisible in my life!"
Karena Aku Bukan Langit dan Matahari
664
469
1
Short Story
Aku bukan langit, matahari, dan unsur alam lainnya yang selalu kuat menjalani tugas Tuhan. Tapi aku akan sekuat Ayahku.
Tulus Paling Serius
9857
1089
0
Romance
Kisah ini tentang seorang pria bernama Arsya yang dengan tulus menunggu cintanya terbalaskan. Kisah tentang Arsya yang ingin menghabiskan waktu dengan hanya satu orang wanita, walau wanita itu terus berpaling dan membencinya. Lantas akankah lamanya penantian Arsya berbuah manis atau kah penantiannya hanya akan menjadi waktu yang banyak terbuang dan sia-sia?
Chahaya dan Surya [BOOK 2 OF MUTIARA TRILOGY]
11679
2177
1
Science Fiction
Mutiara, or more commonly known as Ara, found herself on a ship leading to a place called the Neo Renegades' headquarter. She and the prince of the New Kingdom of Indonesia, Prince Surya, have been kidnapped by the group called Neo Renegades. When she woke up, she found that Guntur, her childhood bestfriend, was in fact, one of the Neo Renegades.
Orange Haze
519
361
0
Mystery
Raksa begitu membenci Senja. Namun, sebuah perjanjian tak tertulis menghubungkan keduanya.
Semua bermula di hutan pinus saat menjelang petang. Saat itu hujan. Terdengar gelakan tawa saat riak air berhasil membasahi jas hujan keduanya.
Raksa menutup mata, berharap bahwa itu hanyalah sebuah mimpi.
"Mata itu, bukan milik kamu."
Game Z
6296
1781
8
Science Fiction
Ia datang ke ibukota untuk menuntut ilmu. Tapi, anehnya, ia dikejar dengan sekolompok zombie. Bersama dengan temannya. Arya dan Denayla. Dan teman barunya, yang bertemu di stasiun.
Hanya Untukku Seorang
1073
579
1
Fan Fiction
Dong Hae - Han Ji bin
“Coba saja kalo kau berani pergi dariku… you are mine…. Cintaku… hanya untukku seorang…,”
Hyun soo - Siwon
“I always love you… you are mine… hanya untukku seorang...”
LARA
8770
2133
3
Romance
Kau membuat ku sembuh dari luka, semata-mata hanya untuk membuat ku lebih terluka lagi.
Cover by @radicaelly (on wattpad)
copyright 2018 all rights reserved.
Langit-Langit Patah
28
24
1
Romance
Linka tidak pernah bisa melupakan hujan yang mengguyur dirinya lima tahun lalu. Hujan itu merenggut Ren, laki-laki ramah yang rupanya memendam depresinya seorang diri.
"Kalau saja dunia ini kiamat, lalu semua orang mati, dan hanya kamu yang tersisa, apa yang akan kamu lakukan?"
"Bunuh diri!"
Ren tersenyum ketika gerimis menebar aroma patrikor sore. Laki-laki itu mengacak rambut Linka, ...
Stay With Me
201
168
0
Romance
Namanya Vania, Vania Durstell tepatnya. Ia hidup bersama keluarga yang berkecukupan, sangat berkecukupan. Vania, dia sorang siswi sekolah akhir di SMA Cakra, namun sangat disayangkan, Vania sangat suka dengan yang berbau Bk dan hukumuman, jika siswa lain menjauhinya maka, ia akan mendekat. Vania, dia memiliki seribu misteri dalam hidupnya, memiliki lika-liku hidup yang tak akan tertebak.
Awal...