Ceramah Bu Sulastri tentu sangat panjang. Mengalahkan pidato Kepala Sekolah saat upacara senin pagi. Isinya nasihat tentang bagaimana manusia harus menghargai hidup. Keiza, Radhi dan Abella berusaha kooperatif. Diam saja diceramahi di dalam ruang konseling sore-sore. Sementara Rere menunggu di luar ruangan, ia tak termasuk anak yang ikut memanjat ke atap.
Dalam hati sebenarnya Keiza agak cemas, semoga ini tak mempengaruhi beasiswanya. Sepertinya kecemasan itu menular pada Radhi. Sesaat ia sempat lupa kalau Keiza adalah anak beasiswa, yang mana perilakunya pasti dipantau oleh pihak sekolah.
“Terus kenapa kalian naik ke atap sekolah?” Akhirnya Bu Sulastri memberi kesempatan pada keempat anak itu untuk bicara.
Radhina, Keiza dan Abella saling pandang.
“Mau… refreshing Bu.” Radhina menjawab dengan suara kecil.
“Apa?” Bu Sulastri bertanya ulang. Bukan karena beliau punya gangguan pendengaran, tapi lebih ke arah tidak percaya pada alasan yang Radhina katakan.
“Refreshing.” Radhina mengulang.
“Astaghfirullahal’adzim,” untuk yang kesekian kalinya, Bu Sulastri beristighfar. Memandangi murid-murid baru nan nekat di depannya ini. Ada banyak sekali kenakalan remaja, manjat ke atap sekolah hanya untuk refreshing jelas sebuah kasus langka.
“Apa kalian benar-benar kurang hiburan? Mau Ibu daftarkan ke ekstrakurikuler Pencinta Alam? Atau panjat tebing sekalian?” Setelah berhasil mengatus nafas dan emosi, nada Bu Sulastri berubah menjadi lebih pengertian.
“Kalau kalian refreshing sampai-sampai membahayakan diri sendiri itu apa tujuannya?”
Bu Sulastri memberi jeda sejenak agar para muridnya mau berbicara.
“Maaf Bu…” Keiza bersuara. “Kami nggak akan mengulanginya lagi.”
“Maaf Bu.” Radhi meng-copy apa yang Keiza katakan.
“Maafin kami Bu.”Abella pun ikutan, tangannya memilin seragam bagian depan. Kepalanya tertunduk melihat lantai. Agak menyesal, aturan ia tetap di bawah saja, seperti Rere. Karena melihat ketiganya minta maaf dengan sungguh-sungguh dan penuh penyesalan, akhirnya Bu Sulastri menghela nafas panjang, berusaha mengerti kalau masih ada sisi kekanakan dalam sisi remaja di depannya ini. Selama memang niat murid-muridnya bukan untuk membahayakan diri, kejadian kali ini cukup masuk pengawasan saja.
“Kali ini ibu anggap kalian belum mengerti. Tapi ingat, jangan pernah kalian ulangi lagi. Kalau kalian mau refreshing, ibu akan rekomendasikan nama kalian untuk masuk ekskul Pencinta Alam. Biar sekalian kalian manjat gunung aja.”
“Jangan Bu!” Abella langsung panik, menolak mentah-mentah tawaran itu. Sementara Keiza dan Radhina terdiam. Bahkan terbersit dalam benak Radhina kalau saran Bu Sulastri terdengar seru juga.
“S-saya, sudah memilih masuk dua ekskul.” Abella mencoba menjelaskan.
“Ya sudah, mana buku saku kedisiplinan kalian?”
Ketiganya langsung mengambil buku seukuran saku seragam dari dalam ransel masing-masing. Mereka segera menyerahkannya kepada Bu Sulastri. Buku saku kedisiplinan berisikan catatan reward and punishment masing-masing siswa. Buku saku itu akan menjadi salah satu penilaian kepribadian siswa yang akan dilaporkan di setiap semester kepada orang tua. Tentu saja maksud Bu Sulastri meminta buku itu adalah untuk menuliskan catatan tentang kelakuan Keiza, Radhina dan Abella hari ini.
Saat membuka buku saku milik Keiza, lagi-lagi Bu Sulastri mendesah. “Keiza, kamu anak beasiswa?” Ujarnya sembari melihat wajah Keiza dengan mimik menyayangkan. Keiza hanya mengangguk dan mengiyakan dengan suara lemah. Akhirnya Bu Sulastri menutup semua buku saku dan mengembalikannya pada Keiza, Radhina dan Abella tanpa menuliskan apapun.
“Ibu nggak menulis catatan, tapi kalian tetap harus diberi hukuman. Selama dua minggu ini, kalian harus bantu merawat fasilitas sekolah dua jam sebelum kalian pulang ke rumah. Kalian baru bisa pulang jam 16.30. Ibu akan hubungi orang tua kalian tentang ini.”
Mendadak wajah Keiza memucat. Abella juga sama. Hanya saja Keiza yang lebih kentara panik. Ia berharap saat Bu Sulastri menelpon yang menjawab bukan Ibunda-nya. Karena pasti Ibunda akan sangat kecewa dengan apa yang Keiza lakukan hari ini.
“Mm, Bu Astri, saya minta izin untuk nomor wali, yang tertera adalah nomor kontak Ayah saya, ya. Karena ibu saya jarang ada di rumah, beliau kerja.”
Bu Sulastri awalnya hanya menatap Keiza dengan mata sayu tetapi setajam silet. Hingga beberapat detik terlewat Bu Sulastri akhirnya memperkenankan permintaan itu.
“Jadi, selama dua minggu ini kalian dihukum. Abella kamu bantu-bantu di bisnis center sekolah—minimarket milik sekolah. Bantu anak Pemasaran untuk stok opname produk di sana. Radhina, kamu di Perpustakaan. Bantu anak Administrasi bikin barcode dan klasifikasi buku. Keiza, kamu di Lab. Komputer bantu anak TKJ untuk rekap inventaris komputer dan perlengkapannya.”
“Bu, saya aja deh yang di ruang komputer!” Radhina menawar.
Bu Sulastri hanya memberi Radhina tatapan tajam tanda tak ada negosiasi dalam percakapan ini. Radhina langsung manyun dan menunduk lagi. Mereka bertiga akhirnya keluar dengan perasaan antara sedih dan lega.
“Eeeeeh!” Rere yang menunggu di ujung lorong menyambut ketiganya dengan muka cemas. Memboyong ketiga temannya menjauh dari ruang BK. Saat mereka memanjat atap hari sudah sangat sore. Sekarang langit sudah menampilkan guratan jingga sebagai landscape penutup hari.
“Za, aku kira buku kita bakal ternodai, untung aja kamu anak beasiswa!” Abella menepuk pundak Keiza. Keiza meringis. Jika bagi Abella ini adalah keberuntungan, bagi Keiza ini justru peringatan.
“Yaelah, manjat atap doang.” Radhina memutar bola matanya, malas. Keiza sedikit berjengit mendengar itu, tetapi ia tetap mengunci mulutnya.
“Lo gila ya, manjat atap tuh bukan cuma ‘doang’! Gimana kalo kalian sampe dapet catetan jelek di Bukes!” Rere menyalak, menyebutkan singkatan gaul dari Buku Saku Kedisiplinan. Apa yang dikatakan Rere benar.
“Kita nggak dicatet karena Keiza anak beasiswa,” sela Abella lagi. Merasa bersyukur dan mengekspresikannya dengan menarik-narik lengan Keiza. Kontras dengan Radhi yang ujung-ujung alisnya masih menukik turun hampir menyentuh pangkal hidung. Tak rela diomeli Rere sampai seperti itu.
“Yaudah, lain kali nggak usah ngide-ngide aneh kayak—eh, Dhi! Mau kemana lo!?” omelan Rere terhenti karena Radhina berjalan pergi ke gerbang sekolah.
Keiza bergerak untuk mengejar, disusul Abella. Namun Radhina menoleh sebentar dan membentak sekilas, “Nggak usah ikutin gue!” Lalu lanjut berjalan dan menghilang di tikungan gerbang.
oOo
Begitu sampai di rumah, Keiza disambut oleh Kiara, adiknya. Diperjalanan tadi Keiza sudah menghubungi sang adik. Berjaga kalau-kalau Ibunda sudah sampai rumah. Di data sekolah, Keiza memberikan dua nomor emergency contact. List pertama adalah ayahnya yang bekerja sebagai penulis kolom koran lokal. Baru ibunya yang aktif menjadi supervisor di restoran cepat saji. Keiza berdoa semoga berita soal dirinya yang memanjat atap sekolah tak perlu sampai ke telinga Ibunda. Doa itu tentu dibarengi usaha, salah satunya dengan melobi sang adik untuk memantau keadaan di rumah.
“Gimana Ayah, Ra?”
“Udah jawab telepon dari Guru kamu. Ayah sih nggak kelihatan marah, kok. Cuma bingung. Lagian kamu aneh banget ngapain manjat-manjat atap sekolah.” Kiara mengomel, bertolak pinggang di depan pintu rumah sementara Keiza membuka sepatu.
“Iya, maaf.” Keiza terkekeh. Sebenarnya ia mengingat landscape sekolah yang ia lihat dari atas gedung. Sayang sekali Teruna Angkasa memakai genteng tanah untuk penutup gedung. Coba kalau direnovasi dan dibuat rooftop. Rasanya atap sekolah akan jadi tempat favorit siswa untuk melepas penat mereka. Hanya saja, itu mustahil terjadi karena ketakutan dan stigma.
“Hih, kalo jatoh gimana?” tuh kan, pola pikir seperti Kiara ini yang membuat ide itu sulit terwujud. Kiara masih misuh-misuh sampai saat Keiza masuk ke dalam rumah. Keiza menyuruh Kiara diam dengan menempelkan jari telunjuk kanannya ke depan bibir.
“Kak,” Ayah memanggil dari arah dapur. Keiza langsung dag dig dug, menerka-nerka apa yang akan dikatakan Ayahnya. Sekali lagi Keiza memberi gestur tutup mulut pada Kiara sebelum akhirnya melangkahkan kaki ke dapur.
“Kamu ngapain hari ini?” Tanya Ayah pelan. Ia sedang mencuci piring, memunggungi Keiza. Dalam batas pengelihatan, seharusnya Ayah tak melihat Keiza datang, tapi rupanya kehadiran sang anak kerasa juga. Keiza tentu saja langsung menggulung lengan baju dan mengambil alih apa yang sedang Ayahnya kerjakan.
“Aku nggak akan ulangi lagi, Ayah.” Ujar Keiza langsung, “jangan bilang sama Bunda ya.” Pintanya dengan suara kecil. Keiza melirik Ayahnya yang menggeser badan begitu Keiza memegang cucian piring di bak cuci. Wajah Ayah tampak serius, tetapi kemudian ia menghembuskan nafas untuk melepas semua hal yang memberatkan.
“Jangan diulangi lagi. Kamu juga baru pulang, langsung bersih-bersih. Sholat dulu. Ini Ayah saja yang kerjakan.”
Keiza nyengir, segera mencabut tangannya dari bak cuci dan berlari menuju kamarnya sendiri. Dalam hati merasa sangat lega. Ibunya tak perlu mendengar berita apa-apa, cukup Ayahnya saja. Karena Ayahnya adalah yang terbaik!
oOo