Setelah mengantarkan buku tugas ke ruang guru Keiza dan Radhina langsung pergi ke kantin. Tampak dua orang cewek yang sudah menunggu di meja sudut, tempat kesukaan mereka.
“Habis dari mana, kamu Ja!” Rere berteriak tak serius, mengikuti gaya panggilan Keiza yang selalu pakai aku-kamu.
“Perpus, ada tugas tambahan?” Jawab Keiza tenang, menatap Abella dan Rere bergantian.
“Nggak kok, yang di buku tugas tadi aja.” Abella menyahut. Ia tampak memakan siomay yang sudah terhidang di meja.
Sedikit keterangan lebih lengkap tentang Abella dan Rere. Nama Panjang Abella adalah Abella Tria Rahmi, remaja dengan kulit putih berambut panjang sepinggang. Seperti cindo, wajah cantik dan tentu jadi idola anak-anak cowok di Teruna Angkasa. Pantaslah Bella menjadi target Gibran.
Lalu Arega Rianita atau Rere, cewek dari tanah sunda dengan garis wajah judes. Meski begitu, Rere adalah teman yang baik dan selalu berkata jujur akan perasaannya. Mungkin itu sebab kenapa Rere dan Radhi cukup masuk dalam obrolan-obrolan julid. Apalagi kalau membahas soal kakak kelas.
“Informasi hari ini guys. Avis minta tolong Keiza buat jadi sekretaris ekskul Pemrograman.” Radhina melapor pada teman-temannya.
Abella langsung berhenti mengunyah dan memandangi Keiza dengan heran. “Ekskul Pemrograman butuh sekretaris?”
Keiza menggeleng, “udah ada tapi mereka kelewat sibuk belajar.”
“Wow Pemrog mah beda yaa,” Celetuk Rere.
“Padahal baru kelas satu, gile.” Radhi menambahkan.
“Terus karena itu dia minta tolong sama kamu, Ja?” Rere melihat Keiza lagi. Keiza hanya hanya mengangguk.
“Idih, si Avis bukannya ngerjain sendiri. Kok kamu mau sih, Ja!” Rere mengomel. Keiza hanya bisa menggaruk belakang telinganya yang tertutup jilbab. Keiza tentu tak bisa menceritakan soal dirinya luluh karena Avis memohon. Malu! Namun kalau diingat-ingat, wajah memelas Avis memang lucu sampai-sampai ia ingin menyimpan untuk dirinya sendiri.
Loh? Kenapa gitu, ya? Seseorang dalam diri Keiza bertanya. Tetapi pemikiran itu langsung teralihkan oleh kata-kata Abella.
“Mm, kalo lo sibuk mungkin gue bisa bantu,” Ia memberi usul. “Kamu kan udah bantuin aku sampein surat ke Gibran, Ja.” Sama seperti Rere, Abella berusaha menyamakan ritme panggilan dengan gaya Keiza.
“Oke, nanti aku tanya Avis dulu, ya. Mungkin bisa dibagi-bagi data pengerjaannya,” Keiza menyetujui sembari duduk. Ia mengambil garpu untuk menyantap siomaynya sendiri. Abella dan Rere baik sekali, sementara ia dan Radhi pergi ke ruang guru untuk mengirim buku tugas, keduanya berinisiatif memesankan makanan di kantin. Lebih praktis, datang tinggal makan.
Di sela-sela kunyahannya Radhina mengajak Keiza bicara. “Lo coba aja tawarin ke Avis, buat bikin pengumuman lagi nyari sekretaris. Gue rasa bakal cepet nemunya, banyak yang mau.”
“Tapi kan mereka udah punya struktur pengurus harian.” Abella menyela.
“Iya tapi bayangan semua.” Radhi menyahut, membuat Abella mengerutkan dahi. Radhi benar, kebanyakan anggota ekskul Pemrograman diisi oleh kelas satu. Radhi dapat info kalau senior enggan membantu di bawah kepemimpinan Avissena, Keiza juga tahu itu.
“Em… kalo nggak salah sekolah kita ngizinin ikut lebih dari dua ekskul kan ya?” Tanya Abella sembari memainkan siomay di piring.
“Iya kayaknya,” ungkap Radhi sembari menyuap kentang ke mulutnya.
“Lo ada niat masuk ke Pemrograman juga, Bel?” tanya Radhi penasaran.
“Yakali, satu ekskul aja udah repot.” Komentar Rere sebelum memasukan potongan siomay ke dalam mulut. “Khapan kitha mhainnya choba,” Ia masih berusaha bicara meskipun mulutnya penuh.
“Telen dulu kali, Re.” Keiza menyarankan.
“Nih Bel, buat apa ikut dua ekskul? Tugas aja udah numpuk bejibun. Ini aja gue udah pusing bikin lima poster buat tugas sekolah minggu depan.” Rere mengambil botol minum lalu menenggaknya. Abella hanya memberi senyum tipis.
Rere betul, tugas di Teruna Angkasa tidak main-main. Walaupun baru beberapa bulan mereka bersekolah, mereka langsung dihadapkan dengan tugas karya. Mereka tidak cuma dicekoki teori, tapi juga diberi tugas-tugas praktik. Ditengah penatnya tugas sekolah dan kegiatan ekskul, Radhina mendadak mendapatkan sebuah ide.
Ia lalu tersenyum jail dan berkata, “gimana kalo kita rehat dulu hari ini?”
oOo
Keiza, Abella dan Rere kompak menganga. Mereka pikir yang dimaksud ‘rehat’ oleh Radhi itu hang out ke mall atau sekedar jajan sop buah ke warung di sebelah sekolah. Tetapi sepertinya ide Radhina lebih kreatif daripada itu. Cara rehat dari pelajaran miliknya sungguh anti-mainstream yaitu, memanjat ke atap sekolah!
“Nggak sekalian kamu bungee jumping dari tower anak TKJ, Dhi?” Keiza menyindir, wajahnya sudah sarat akan makna ekspresi antara takut dan takjub.
“Ide bagus tuh, tapi berhubung gue belom punya tali bungeenya, mari kita coba dulu yang easy-level.”
“Easy level gimana? Nggak mau ah, aku nggak mau mempertaruhkan nyawa cuma untuk cari seneng!” Keiza mundur tiga langkah belakang, memasang muka khawatir sembari geleng-geleng kepala.
“Nggak bahaya kali Ja, atap sekolah kita datar gitu, itu juga ada batas betonnya.” Yang dimaksud datar oleh Radhi bukan atap yang dibangun dari cor-coran, melainkan genteng metal merah mengkilat yang disusun oleh profesional. Meski begitu Keiza tak menemukan korelasi antara ‘nggak bahaya’ dan datar seperti yang Radhina maksud.
“Datar dari mana! Kamu lihat gentengnya miring begitu!”
“Oh, gue ngerti, lo naik dari situ?” Abella menunjuk tumpukkan kursi dan meja bekas di samping gudang.
“Bella!” Keiza melotot, kesal karena Bella ketularan sintingnya Radhi.
“Kayaknya aman sih. Asal kita buka kaos kaki.” Abella menggoyang-goyangkan kaki kanannya yang bersepatu. Akhirnya cewek itu mengalah pada adrenalin yang terlanjur terpacu. Radhina nyengir menjawab antusias Abella dan mengacungkan tangan, mengajak tos. Abella tentu saja menyambutnya.
“Emang-emang lo berdua edan ih!” Rere gemas, ia ada di sisi Keiza untuk hal ini.
“Ini kalo dalam pelajaran namanya uji prinsip-prinsip tata letak, guys.” Radhina mulai bergerak untuk memanjat. “Gimana caranya kita bisa menjaga proporsi kaki menjejak tempat yang tepat. Terus menjaga keseimbangan tegak lurus dan berat supaya nggak oleng.”
Keiza, Abella dan Rere memperhatikan dengan muka ngeri saat Radhina memanjat sembari memberikan ceramah singkat cocokkologi antara memanjat atap dan design grafis.
“Setiap langkah kalian juga harus sesuai dengan irama, supaya hati tetap tenang, santai,” Radhi perlahan sampai ke atap. “Dan akhirnya bisa lihat design indah yang bisa kita sebut landscape.” Gadis itu berhasil sampai di puncak dengan disusul standing applause dari Abella dan Rere—mereka memang lagi berdiri, sih. Keiza juga hampir bertepuk tangan karena kagum Radhi bisa membuat kalimat penjelasan yang runut begitu.
Atap yang dinaiki Radhi ini adalah atap gedung satu. Gedung satu dan gedung dua sebenarnya disambung oleh bangunan kecil untuk gudang inventaris sekolah yang tak digunakan. Dan lagi kontur tanah yang melandai membuat gedung satu lebih rendah posisinya daripada gedung dua. Sehingga memang mempermudah Radhi untuk naik ke atapnya.
“Ih! Kalo ketahuan guru gimana?” Rere masih tak ikhlas Radhi melakukan hal gila.
“Udah sore gini, guru nggak bakal ke sini.” Radhi memberi sugesti. “Re, ini tuh gampang banget. Kita naik dari sini, terus injek ini, ini.” Ia lanjut memberi arahan lagi.
“Ayo cepet naik! Pemandangan di sini keren banget!”
“Oke!” Abella bergerak, ia mulai mengikuti instruksi dari Radhi.
“Ja! Ayo!” Radhi mengajak Keiza yang gamang. Gadis itu melihat ke kanan dan ke kiri. Saat ini kondisi sekolah memang sepi. Mereka sengaja pulang sangat sore supaya Radhi bisa melancarkan aksinya. Sekali lagi Radhi memanggil, akhirnya Keiza mengiyakan.
Dalam waktu tak sampai lima belas detik, ia sudah sampai di samping Radhi dan merasa kagum. Tak menyangka bisa melihat gedung sekolah dari sudut pandang seperti sekarang. Bagaimana pohon-pohon tersusun dan disusun, tata gedungnya, warna atap dan tembok yang dipilih, dipadu dengan luasnya langit sore Oktober yang kebetulan sedang cerah. Keiza merasa ketakutannya dalam lima belas menit waktu memanjat tak berarti apa-apa.
“Ini keren.” Keiza memuji.
“Ya kan!” Radhi menimpali. “Oi, Re! Mau nyusul nggak?”
Rere yang sedari awal tidak setuju dengan ide itu tetap bergeming. Menjawab tawaran Radhina dengan gelengan singkat. Sampai akhirnya terjadi hal diluar perkiraan ketiganya yang saat itu memang berpikiran pendek. Bu Sulastri, Guru Bimbingan Konseling Teruna Angkasa, muncul dari koridor atas sembari beristighfar sekuat-kuatnya. Radhina, Keiza dan Abella saling pandang. Jantung berdegub bahkan lebih keras dari sebelum mereka memanjat. Satu kata muncul bersamaan di dalam hati masing-masing.
Mampus lah kita!
oOo