Loading...
Logo TinLit
Read Story - Our Perfect Times
MENU
About Us  

Keempat orang cewek tampak tertawa girang di kantin padahal hari masih terhitung sangat pagi. Mereka adalah Keiza, Radhi, Abella dan Rere. Empat orang yang menjadi dekat selepas permainan basket dua hari yang lalu. Berawal dari Abella yang menggebu-gebu menceritakan bagaimana akhirnya Gibran menyerah lalu disambar Rere yang ternyata punya beberapa informasi tentang Mia.

“Itu udah kayak rahasia publik, Kak Mia punya rasa ke Kak Gibran. Gue harap mereka bener jadian deh, biar nggak ada sentimen-sentimen lagi ke lo, Bel. Lagian lo, dibully begitu nggak cerita-cerita sama gue,” keluhnya di akhir cerita.

“Gue nggak dibully, kok!” Abella berusaha menafik fakta. “Lagian Keiza sama Radhi juga udah bantuin gue,” ia kemudian nyengir pada Keiza dan Radhi.

“Yang namanya dipojokin walau lo lagi ngerjain tugas ekskul, itu bullying Bel!” Rere menegaskan. Abella hanya membalas dengan senyum miris.

“Kayaknya mereka emang udah nggak ada sentimen apa-apa. Capek juga kali julid-in adik kelas terus.” Keiza mengigit Roti yang baru saja ia buka bungkusnya.

“Lupa lo ya, abis kena sikut waktu kemaren.” Radhi mengingatkan.

“Kan udah dibales sama kamu, Dhi.” Keiza tersenyum sembari menaik turunkan alisnya. Ia senang karena akhirnya bisa membuktikan ucapan Avissena. Radhi betulan jago main basket. Keiza agak menyayangkan kenapa Radhi malah ikut masuk ekskul jurnalistik. Ia berniat untuk membujuk Radhi mengganti ekskul, tapi gadis itu belum mendapatkan waktu yang tepat dan menemukan bagaimana caranya. Radhi kan super keras kepala. 

“Tapi serius, Bel, Radhi. Kalian main basketnya jago banget!” Lanjut Rere sambil nyengir lebar. Sebagai makhluk yang lebih berbakat bersorak sorai di tribun sembari ngemil, Rere benar-benar merasa takjub pada teman-temannya yang jago olahraga.

“Gue biasa aja, Radhi yang jago,” Abella meluruskan.

“Eh, ngomong-ngomong, hari ini kita ada tugas Jurnal apaan?” Radhi tentu mengabaikan Abella-Rere dan segala pujian mereka. Cewek itu malah mencomoti roti Keiza. Keiza langsung menepuk tangan Radhi dan menyuruhnya membeli roti yang baru. 

“Nggak ada, Dhi. Kita bebas hari ini,” Abella bantu menjawab.

Radhi baru mau balik badan dan bangkit dari duduknya menuju konter roti, tapi tidak jadi, kelompok Mia datang. Berjalan menuju arah mereka dengan tatapan mata seperti biasa, ingin menguliti. Keiza waspada, drama apa lagi yang akan mereka lakukan sekarang.

“Gile, pagi-pagi udah full personal aja,” bisik Rere. Memperhatikan Mia yang datang dengan teman-temannya.
Mia sudah jadi observer dadakan, ia tahu kebiasaan datang pagi empat anak kelas sepuluh DKV I. Jadilah ia bangun lebih awal, sengaja untuk mendisiplinkan adik kelas yang dinilai kurang ajar. Alasannya sederhana, karena ia masih kesal soal pertandingan basket kemarin lusa. Juga karena ia dengar gosip receh soal popularitas Mia yang kalah saing dengan Abella, ya ini soal cowok. Belum lagi, ia punya solidaritas berlebih terhadap Anna—yang notabene adalah teman sekelasnya, pernah disepelekan oleh Keiza. Lengkap sudah alasannya untuk kembali memberi pelajaran pada junior-junior itu.

Mia bahkan tak peduli dengan informasi dari Anna, kalau Andaru secara khusus melindungi anak-anak baru, angkatan tahun ini. Anna boleh saja menuruti perintah Ketos, tapi Mia berbeda. Kemarahannya sudah tersulut dan tak ada yang bisa menghentikannya sekalipun itu barikade dari OSIS.

“Hai,” kata Mia langsung. Nada ramahnya bertolak-belakang dengan sorot mata yang sarat akan permusuhan.  Membuat Radhi—seperti biasa mengerutkan alis, merasa sebal.

“Hai Kak,” terbiasa dengan etika wawancara, Keiza berusaha bersikap netral. Berusaha untuk tidak ikut-ikutan cemberut seperti Radhi dan Rere, atau gemetaran seperti Abella.

“Tadi gue denger nama gue disebut-sebut. Asal suaranya dari meja ini. Sori ya bukannya kepedean, tapi ini kenyataan. Gue tanya sama lo semua, siapa yang ngomongin gue?” celoteh Mia super sinis. Matanya mengerling pada Rere. Rere tentu membalas dengan pandangan yang tak kalah sengit. Matanya seolah berkata : terus kalo emang ngomongin, kalian mau apa?

Rere rupanya adalah satu dari tiga cewek paling judes di kelas sepuluh DKV 1. Keiza ingat betul tatapan sadis Rere saat ia mencoba melihat buku tanda tangan Abella dulu. Ya benar, itulah Rere, teman sebangku Abella sejak masuk Teruna Angkasa.

“Bentar, Kak. Kayaknya Kakak salah paham lagi.” Keiza menyela, senyum tetap tersungging di bibirnya. Seperti biasa, ia adalah nona anti ribut. Sebisa mungkin Keiza menghindari bentrok dengan kakak kelas atau dengan siapapun. Ia murid beasiswa, mana mau Keiza terjun pada sesuatu yang mengancam kehidupan sekolahnya? Apalagi kalau sampai Bunda tahu. 

“Lagi?” Mia menatap lebih sinis. “Gue nggak pernah ya, salah paham sama kalian. Apa yang gue lihat itulah yang bener-bener terjadi.”
Keiza menutup bibirnya, lagi-lagi ia mengatakan sesuatu yang malah bikin kakak kelas kesal.

“Kalian tuh udah kurang ajar, kalian sadar nggak sih?” satu teman Mia ikut menyulut.
Radhi baru mau mengatakan sesuatu, tapi tentu saja Keiza menahannya. Cewek itu berdiri dan segera berkata cepat, “Kakak tahu kan kalo aku anggota ekskul jurnalistik?”

“Ya terus, kenapa?” Mia menyilangkan tangan di dada, benar-benar berhadapan dengan Keiza kali ini. “Karena anak jurnalistik kalian berhak jadi kurang ajar gitu maksudnya?”

“Bukan,” Keiza menggeleng. “Sebenernya, anak jurnalistik itu diminta untuk bisa mengoperasikan alat yang namanya tape recorder. Alat perekam buat kebutuhan wawancara, kebetulan aku dimintain tolong sama Kak Yulia untuk jadi kontributor buletin sekolah tiga bulan ke depan.”

“Ya terus?” Mia melotot, tak sabar mendengar ocehan Keiza.

“Akhir-akhir ini aku tertarik soal drama senioritas dan pengen bikin artikel tentang itu.” Keiza menajamkan matanya, maju satu langkah. Tanpa diduga ketika kakak kelas refleks menggerakan kaki untuk mundur. Kini mereka paham, apa yang Keiza maksud.

“Kakak bertiga, kayaknya bisa jadi narasumber yang bagus untuk artikel aku selanjutnya. Oh! Atau bukan artikel, tapi headline news.” Keiza kemudian mengeluarkan sebuah benda berbentuk kota persegi panjang kecil dari saku roknya. Mirip remote tetapi Mia langsung paham kalau benda itu adalah tape recorder.

Apa selama ini kata-katanya direkam? Wajah Mia berubah pucat. Ia sendiri tahu bagaimana tabiatnya saat marah. Semua sikap kurang ajar para adik kelas ini perlahan buyar. Terganti dengan bisikan kekhawatiran soal nama baiknya yang bisa tercemar. Meski pencemburu tapi Mia masih ingin melindungi mukanya sendiri.

Mia menelan ludah.

“Ini masalah sepele,” ia berkata dengan nada sehalus hembusan angin. Matanya masih menatap Keiza dan teman-temannya tajam. Namun detik demi detik berlalu dan Keiza bisa melihat tatapan itu menumpul. 

“Lo nggak bener-bener jadi kontributor Yulia kan? Anak kelas satu bisa apa?” Mia memaksa akal sehatnya kembali. Bagaimanapun ia adalah senior! Ia harus mempertahankan harga status itu! 

Keiza menjawab pertanyaan itu dengan mengambil sebuah kartu dari saku rok dan langsung menunjukkannya pada Mia. Nafas para kakak kelas langsung tertahan, kartu itu ternyata adalah sebuah ID Card. Radhi yang kepo menarik ID Card itu untuk ia lihat bersama Abella dan Rere.

“Kartu Pers, Keiza Mazaya, kontributor dan jurnalis SMK Teruna Angkasa!” Mereka histeris.

“Lo kapan dapetin kartu ini?!” Abella mendadak heboh. Keiza hanya bisa mengembungkan pipi. Memberi kode lewat tatapan mata bahwa Mia and the gank masih terpaku di depan mereka.

“Yulia salah milih lo masuk ke timnya!” Desis Mia, menunjuk Keiza. Itu menjadi gerakan permusuhan terakhir karena Mia segera balik badan dan pergi. Pemegang kartu Pers sekolah tak bisa diajak bertengkar. Seolah mereka punya lisensi untuk mengeluarkan tulisan yang hampir 90% pasti dimuat di mading, buletin, website ataupun media sosial official sekolah. Mana mau Mia lihat mukanya sendiri terpampang di med-sos dengan keterangan caption negatif? Mending mundur lah!

oOo

Tak jauh dari konter roti—tempat dimana pertarungan kata-kata Keiza-Mia terjadi, ternyata ada seseorang yang tersenyum penuh arti. Andaru, membetulkan letak kacamatanya sebelum akhirnya bangkit dan meninggalkan arena battle. Sedikit bangga karena—seperti biasa, ia tak salah merekomendasikan nama. 

Beberapa saat setelah merpati pos menyelesaikan misi mengantarkan surat yang berhasil membuat Gibran mogok makan, sebuah ide cemerlang tercetus dalam kepala seorang Andaru. Cowok itu tahu kalau perkara cinta segitiga Gibran-Mia dan ‘adik kelas yang entah siapa itu’ bisa jadi masalah serius. Kasus konfrontasi Radhi-Anna mungkin bisa Andaru kendalikan, tapi Mia tidak. Pasalnya Mia ini anak salah satu donatur Yayasan. 
Satu-satunya cara untuk memukul mundur Mia adalah dengan menggunakan poin ‘citra diri’. Dari semua kartu-kartu milik Andaru, yang paling cocok digunakan dalam segala situasi adalah ekskul Jurnalistik. 

“Daru!” Panggil seseorang dari ujung lorong. Ah, panjang umur. Yulia dan matanya yang kini memiliki celak hitam. Andaru tahu kalau Yulia cepat-cepat ingin melepaskan diri dari tanggung jawabnya sebagai Ketua Ekskul. Sebabnya tak lain tak bukan adalah soal cinta juga. Ia patah hati karena tak mampu mendapatkan perhatian dari Ketua Ekskul Jurnalistik sekolah lain. Sekarang cewek itu sedang memborbardir diri dengan segala macam les yang bisa membawanya ke universitas terbaik untuk mengejar jurusan Hubungan Internasional. ‘Daripada ngejar cowok, lebih worthy ngejar pendidikan’ itu yang pernah Andaru ucapkan kepadanya.

“Hei, udah dapet info beasiswanya?”

“Ya, gue sekarang jadi pejuang LDDP.” Yulia segera mengibaskan tangan, memberi tanda bukan itu urusan yang ingin ia katakan pada Andaru. Sebagai gantinya ia memberikan sepucuk surat. “Gue dapet surat undangan pelatihan Jurnalistik dari Jakarta Design Centre di Kedoya. Event baru nih. Gue udah ada banyak agenda untuk anak-anak Meter.” Meter adalah kepanjangan dari Media Teruna, nama buletin sekolah hasil ciptaan senior Jurnalistik sepuluh angkatan di atas Yulia.

“Oh.” Andaru mengangkat alisnya. Menerima surat yang baru saja Yulia sodorkan. Ekskul Jurnalistik harusnya berada di bawah pengawasan Sie. Bidang Pendidikan Bela Negara—yang sekarang diduduki Gibran. Namun berhubung yang bersangkutan moodnya sedang jungkir balik, Yulia potong kompas langsung melapor pada Andaru.

“Pesertanya harus diikutin tiga orang. Gue ngajuin mereka.” Yulia mengeluarkan ponselnya, mengetik sesuatu dan tak sampai dua detik ponsel pintar milik Andaru bergetar dua kali. Andaru langsung mengeceknya. Notifikasi email masuk. Rupanya Yulia mengirim data kandidat untuk pelatihan itu. 

“Maaf gue belom sempet print datanya,” ucap Yulia sembari memasukkan ponsel kembali ke saku rok.
Andaru memberi senyum tanda tak keberatan. Kalau saja Yulia tak punya tambatan hati atau kalau saja ia baru kenal laki-laki ini, pastilah Yulia langsung terpesona pada senyum yang tercetak itu. Senyum maklum yang misterius. Satu tahun lebih berinteraksi dengan Andaru membuat Yulia tahu kalau senyum itu bisa berarti banyak hal. Kadang keluar saat Andaru ingin beramah tamah, tak jarang juga terlihat saat situasi hampir menyulut amarah.

“Gue bakal sampein ini ke Pak Wahyu, ya.” Andaru menyebut nama wakil kepala sekolah bidang kesiswaan. Setelah itu ia melihat lagi ke dalam layar ponsel, tersenyum kembali, lalu pamit pergi. 

Yulia yang matanya jeli tahu tentang sesuatu. Bahwa senyuman milik Andaru bukan sekedar basa-basi. Ada sesuatu yang menarik dari cowok itu. Sesuatu yang berhubungan dengan pemilik nama dalam notes kecil yang ia terima beberapa hari yang lalu. Yang Yulia tidak tahu, Andaru sedang berpikir tentang sebuah hal besar yang akan terjadi, dan Andaru bersiap untuk menyaksikan semua itu.

oOo

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Paint of Pain
353      210     17     
Inspirational
Vincia ingin fokus menyelesaikan lukisan untuk tugas akhir. Namun, seorang lelaki misterius muncul dan membuat dunianya terjungkir. Ikuti perjalanan Vincia menemukan dirinya sendiri dalam rahasia yang terpendam dalam takdir.
Bimasakti dan Antariksa
204      158     0     
Romance
Romance Comedy Story Antariksa Aira Crysan Banyak yang bilang 'Witing Tresno Jalaran Soko Kulino'. Cinta tumbuh karena terbiasa. Boro terbiasa yang ada malah apes. Punya rekan kerja yang hobinya ngegombal dan enggak pernah serius. Ditambah orang itu adalah 'MANTAN PACAR PURA-PURANYA' pas kuliah dulu. "Kamu jauh-jauh dari saya!" Bimasakti Airlangga Raditya Banyak yang bila...
Serpihan Hati
11238      1866     11     
Romance
"Jika cinta tidak ada yang tahu kapan datangnya, apa cinta juga tahu kapan ia harus pergi?" Aku tidak pernah memulainya, namun mengapa aku seolah tidak bisa mengakhirinya. Sekuat tenaga aku berusaha untuk melenyapkan tentangnya tapi tidak kunjung hialng dari memoriku. Sampai aku tersadar jika aku hanya membuang waktu, karena cinta dan cita yang menjadi penyesalan terindah dan keba...
Sanguine
5458      1683     2     
Romance
Karala Wijaya merupakan siswi populer di sekolahnya. Ia memiliki semua hal yang diinginkan oleh setiap gadis di dunia. Terlahir dari keluarga kaya, menjadi vokalis band sekolah, memiliki banyak teman, serta pacar tampan incaran para gadis-gadis di sekolah. Ada satu hal yang sangat disukainya, she love being a popular. Bagi Lala, tidak ada yang lebih penting daripada menjadi pusat perhatian. Namun...
Sahabat Selamanya
1197      729     2     
Short Story
cerpen ini bercerita tentang sebuah persahabatan yang tidak ernah ada akhirnya walaupun mereka berpisah jauh
Melody Impian
631      434     3     
Short Story
Aku tak pernah menginginkan perpisahan diantara kami. Aku masih perlu waktu untuk memberanikan diri mengungkapkan perasaanku padanya tanpa takut penolakan. Namun sepertinya waktu tak peduli itu, dunia pun sama, seakan sengaja membuat kami berjauhan. Impian terbesarku adalah ia datang dan menyaksikan pertunjukan piano perdanaku. Sekali saja, aku ingin membuatnya bangga terhadapku. Namun, apakah it...
Negasi
70      43     2     
Fantasy
"Manusia nggak bisa lihat jin?" Zoya terkekeh. "Periksa mata, sih. Buta kali." Dahi Rayna tampak berkerut. Dunia macam apa ini? Manusia di depannya ini waras atau tidak, sih? Sejak kesadarannya kembali, Rayna merasa seperti terbangun di dunia yang asing. Dunia aneh di mana jin terlihat berseliweran bebas tanpa bisa melihat manusia, justru dianggap normal. Terdampar di dunia asing tanpa ...
Seperti Cinta Zulaikha
1812      1180     3     
Short Story
Mencintaimu adalah seperti takdir yang terpisahkan. Tetapi tuhan kali ini membiarkan takdir itu mengalir membasah.
The Hidden Kindness
393      275     2     
Fan Fiction
Baru beberapa hari menjadi pustakawan di sebuah sekolah terkenal di pusat kota, Jungyeon sudah mendapat teror dari 'makhluk asing'. Banyak sekali misteri berbuntut panjang yang meneror sekolah itu ternyata sejak ada siswi yang meninggal secara serius. Bagaimana cara Jungyeon harus menghadapi semua hal yang mengganggu kerja di tempat barunya? Apakah ia harus resign atau bertahan?
Teilzeit
1010      478     1     
Mystery
Keola Niscala dan Kalea Nirbita, dua manusia beda dimensi yang tak pernah bersinggungan di depan layar, tapi menjadi tim simbiosis mutualisme di balik layar bersama dengan Cinta. Siapa sangka, tim yang mereka sebut Teilzeit itu mendapatkan sebuah pesan aneh dari Zero yang menginginkan seseorang untuk dihilangkan dari dunia, dan orang yang diincar itu adalah Tyaga Bahagi Avarel--si Pangeran sek...