“Gibran suka sama lo!?” entah ini kalimat histeris Radhi yang keberapa kali. Bagi Keiza, Radhi itu punya banyak mode histeris, mulai dari yang marah, shock sampai excited. Yang jelas, semua mode itu selalu membuat dahi Keiza terlipat karena mencoba terbiasa. Omong-omong, Gibran adalah panitia MPLS yang ditugasi menjadi penanggung jawab kelas DKV 1 bersama Ranti.
“Dia… ngirimin aku surat.” Abella menarik secarik kertas dari ranselnya. Mereka kini ada di minimarket yang lokasinya cukup jauh dari sekolah. Satu kali naik angkot dengan jarak tempuh tujuh menit, bukan lokasi pilihan anak-anak Teruna Angkasa untuk nongkrong. Minimarket ini punya kursi payung yang cukup nyaman dipakai untuk diskusi antar hati, jadilah mereka bertiga memilih stay di sini.
Radhi membuka surat yang disodorkan Abella, tak sampai sepuluh detik ujung-ujung alisnya berkerut, menampilkan raut wajah ‘ewh’ dan menyerahkan surat kepada Keiza. Ujung alis Keiza juga mengerut, tetapi ia tak bisa menahan senyum. Wajahnya juga bersemu. Ia sering membaca adegan romantis di novel-novel tapi surat yang sedang ia baca ini adalah sesuatu yang nyata.
“…saat aku melihatmu, aku langsung tahu, kalau kamu akan memberi dampak pada hidupku…” Keiza membacakan satu bait dalam syair cinta Gibran, setelahnya ia merinding geli sendiri.
“Iya-iya, ngasih dampak pasti ya, apalagi setelah ditolak.” Komentar Radhi asal. Keiza menyikut lengan Radhi, memberi kode untuk berempati pada Abella. Surat cinta super cheesy ini berhasil bikin Abella jadi incaran kakak kelas. Sampai bukunya ditepak jatuh ke selokan, sangat berdampak juga untuk Abella, kan?
“Kamu beneran nggak mau terima cinta Kak Gibran, Bel?”
Kepala Abella yang semula tertunduk langsung menggeleng kuat-kuat.
“Ya, kalo gitu lo harus bilang apa adanya sama Gibran.” Radhi memberi solusi ekstrim. Jelas saja Abella langsung mendongak dan menatap Radhi dengan pandangan merana. Menghadapi tiga kakak kelas saja seramnya bukan main, apalagi ketemu kakak kelas yang punya rasa padanya!
“Iya bener.” Makin nelangsa Abella saat mendengar Keiza menyetujui saran ekstrim Radhi. “Sebenernya, harusnya kamu nggak ada masalah sih—yang jatuh cinta kan Kak Gibran. Berani jatuh cinta ya, harus berani putus cinta juga.” Gadis berjilbab itu melanjutkan.
“Tapi lo beneran nggak ada rasa sama Gibran? Dia anak OSIS, pinter juga kayaknya.” Radhi malah berpromosi.
“Nggak ada, beneran.” Abella meyakinkan. “Lagian gue nggak boleh pacaran sama orang tua gue.”
Radhi terkekeh, “beneran?”
“Iya sih, cinta-cintaan tuh bisa bikin nggak fokus.”
“Emang lo pernah pacaran?” Radhi mengangkat sebelah alisnya, agak heran. Keiza tak pernah bicara soal ketertarikan atau masa lalunya dengan lawan jenis. Topik obrolan Keiza-Radhi selalu berkisar anime, ekskul, pelajaran, mana guru yang cara mengajarnya menyenangkan dan mana yang bikin bosan, pokoknya hal lain selain cinta-cintaan.
Keiza menggeleng, “curhatan temen SMP.”
Radhi manggut-manggut, benar kan dugaannya.
“Emang kamu pernah?” Keiza balik bertanya.
“Ditembak pernah. Pacaran…” alis mata Radhi naik sedikit. “Apaan sih, jadi ngomongin gue. Terus lo gimana, Bel?”
“Gue nggak suka Kak Gibran... gue... sukanya sama yang lain.” Abella menurunkan tatapan mata yang semula mengarah pada Keiza dan Radhi, menahan malu.
“Yaudah bilang gitu ke Gibran.” Radhi menyimpulkan. Keiza meringis, emangnya bisa segampang itu?
“Kalo kamu nggak berani bilang langsung, bales aja suratnya.” Cewek itu menyarankan.
“Ide bagus tuh, nanti kita bantu buat kasih ke Gibran deh.” Radhi menawarkan diri diselingi tatapan konfirmasi dari Keiza.
Beneran?
Radhi mengangguk sekali, matanya seolah berkata, kalo mau bantuin harus sampe tuntas!
Abella yang hawa sekelilingnya semula mendung kini berubah cerah. “Oke, kalo gitu aku tulis sekarang ya.”
Keiza hanya bisa menggaruk kepalanya yang tertutup jilbab. Ia jelas tak berencana jadi merpati pos, tapi ucapan Radhi membuat Abella kembali ceria. Tiga puluh menit kemudian ketiga remaja itu berhasil membuat surat penolakan yang memuaskan. Sebelum berpisah, Abella mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya untuk bantuan Keiza dan Radhi. Lalu, ketika Keiza hendak berpisah dengan Radhi, cewek tomboy itu berkata.
“Gibran anak OSIS, temen Andaru. Dia kalo istirahat kemungkinan ada di ruang OSIS. Terus, sebenernya gue lagi ada masalah sama Andaru. Jadi, besok gue anterin lo sampe depan pintu aja, ya.”
oOo
Keiza menggigit bibir bawahnya saat berdiri di depan ruang OSIS keesokan harinya. Radhi melambai-lambai di balik tembok dekat toilet, beberapa meter dari lokasi Keiza berdiri. Cewek berambut pendek itu tersenyum lebar sembari memberi semangat. Keiza serasa dikerjai.
Siapa yang nawarin jadi perantara surat penolakan Abella ke Gibran? Radhi kan!
Tadi pagi ia mengkonfirmasi pada cewek itu. Radhi membalasnya dengan cengiran bersalah. Meyakinkan Keiza kalau ia benar-benar tak mau bertemu Andaru. Radhi berjanji, kalau mereka berpapasan dengan Gibran sebelum bel sekolah berdering, Radhi-lah yang akan memberikan surat penolakan itu. Namun ternyata menemukan Gibran tak semudah membuat janji.
Meski Keiza dan Radhi sempat berkunjung ke koridor kelas dua, tetapi langkah keduanya urung karena barikade kakak kelas—terutama yang cewek. Terlihat begitu kuat dan mengintimidasi. Tak ingin cari ribut, Keiza justru menyeret Radhi pergi. Jadilah sore ini ia berdiri di depan ruang OSIS sendiri.
Keiza menghela nafas sebelum akhirnya mengetuk pintu ruang OSIS agak keras. Daun pintunya terbuat dari kayu tebal, kalau mengetuk pelan ia takut tak berhasil terdengar. Pintu mendadak terbuka. Wajah Andaru segera tampak, mengerutkan alis melihat sosok yang tak pernah sekitar wilayah ruang OSIS. Hanya beberapa detik karena ia langsung teringat sosok adik kelas berjilbab yang berani menatap kakak kelas secara intens di bawah terik matahari.
“Permisi Kak, Kak Gibran ada?” tanya Keiza langsung.
Alis mata Andaru yang tersembunyi di balik tulang kacamata lantas naik. Ia menoleh sedikit ke bagian dalam ruang OSIS.
“Kita mau rapat—”
“Sebentar aja, Kak.” Keiza mendesak, ingin segera menyelesaikan misi menyebalkan ini.
Senyum kecil tercetak dibibir Andaru. Senyum yang membuat Keiza mengalihkan pandangannya ke gagang pintu. Seketika Keiza merasa dirinya lancang. Tetiba merasa bodoh. Di antara para ketua-ketua yang notabene para kakak kelas, harusnya Keiza sadar kalau Andaru adalah pemilik aura paling kuat. Aura mengintimidasi. Cuma senyum saja sudah bikin hati galau sendiri.
“Gibran,” Andaru rupanya bersedia memanggil sang anggota yang menduduki Sie. Pendidikan Bela Negara itu.
“Yop!” Gibran tentu saja langsung memenuhi panggilan ketuanya.
“Dua menit,” ucap Andaru sembari memberi kode kalau Keiza ingin bicara. Cowok itu lalu beranjak masuk setelah memberi Keiza tatapan singkat.
Keiza terus saja bertahan memandangi gagang pintu sampai Gibran bertanya,
“lo nyari gue?”
“Oh iya Kak.” Keiza langsung menyodorkan surat penolakan yang sudah dibuat Abella. “Saya dimintain tolong untuk sampein ini ke Kak Gibran. Dari Abella.” Cewek itu berbisik di kalimat kedua.
Mata Gibran langsung berbinar, mencabut surat itu dan tersenyum semringah pada Keiza seraya mengucapkan terima kasih. Kontras dengan jiwa Keiza yang dag dig dug membayangkan ekspresi kecewa Gibran kalau membaca surat itu. Terserah hasilnya mau bagaimana, yang penting Keiza berhasil menyampaikan amanah. Ia baru saja mau pamit pergi tetapi Gibran menahannya.
“Kalau nggak salah, lo dan Abella itu anggota jurnalis ya? Gue boleh ya, nitip sesuatu ke Yulia. Bentar.” Dan Gibran kembali masuk ke ruangan sembari mendorong pintu agar lebih terbuka lebar.
Nafas Keiza tertahan begitu sadar kalau kini ia sedang melihat isi dalam ruang OSIS yang terkesan privat. Meja-meja disusun letter U, punggung kursi menghadap setiap sisi tembok, menyisakan area lebar di tengah ruangan.
Tepat satu garis lurus di hadapan Keiza adalah meja Andaru. Cowok itu sedang duduk bersandar menunggu Sie. Pendidikan Bela Negara-nya bergabung kembali dalam rapat. Keiza tambah tegang karena menyadari seluruh anggota OSIS, baik penanggung jawab harian maupun Ketua Seksi Bidang sedang menatapnya. Untung saja Gibran bergerak cepat. Ia kembali dan menutup sedikit pintu itu seraya menyodorkan sebuah proposal berjilid kuning.
“Bilang, ini udah di ACC ya. Thanks.”
Gibran tersenyum lalu menutup pintu. Meninggalkan Keiza yang kakinya terasa kaku. Namun setidaknya kini nafasnya sudah kembali normal. Keiza kemudian menghela nafas. Mendadak ia merasa lelah begitu melihat proposal kuning yang sekarang ia genggam, menggantikan surat milik Abella barusan.
Hh… kenapa aku serasa beneran jadi merpati pos?
oOo
Untung saja Yulia belum pulang, jadi Keiza bisa menyerahkan barang titipan Gibran secara langsung. Yulia semringah mendapatkan file itu, ternyata itu adalah persetujuan anggaran untuk lomba eksternal ekstrakurikler Jurnalistik. Yulia mengirim beberapa anggota untuk lomba menulis gabungan antar sekolah dan tentu saja hal itu butuh biaya. Keiza turut senang mendengar anggaran lomba itu disetujui OSIS.
“Oh iya, tulisanmu tentang profil Bu Andin, itu bagus. Aku akan masukin tulisan itu ke buletin edisi Hari Guru. Tapi ada beberapa revisi, nanti aku japri pribadi filenya, ya!” Yulia memberi informasi, Keiza tentu saja menerimanya dengan senang hati.
“Oke, Kak!” Setelah mengatakan itu, ia pamit pergi menuju kelasnya sendiri. Baru sampai ke pintu kelas, ponsel pintarnya bergetar di saku rok. Keiza melihat layar dan melihat foto profil adiknya yang saat ini masih kelas dua SMP.
“Assalamu’alaikum, halo, halo, Kak!” Kiara diseberang sana mengencangkan suara.
“Wa’alaikumussalam, iya, aku denger kok, Ki.” Keiza menjawab adiknya yang terpaut dua tahun di bawahnya itu. Suara mesin cuci terdengar nyaring, Kiara bisa jadi sedang mencuci pakaian. Keiza menebak sembari membereskan tasnya.
“Nggak ada makanan di rumah, Ayah belum balik, Bunda masih kerja juga, nitipin uang sih. Aku habis ngepel lantai, mau beli lauk mager. Ini lagi nyuci.” Kiara menjelaskan. Memiliki dua orang tua yang bekerja, membuat dua saudara itu harus bahu membahu mengurus rumah. Keiza sudah paham, kalau ngomong begitu pasti Kiara mau menitip lauk. Lepas dari merpati pos, sekarang dia berubah peran jadi kurir makanan.
“Oke, lauk di tempat biasa aja ya.”
“Sip thanks, Kak.” Kiara kemudian menutup telepon.
oOo