Suara hujan pagi ini membuat Keiza Mazaya semakin tak ingin keluar dari tempat tidur. Bukan, ini bukan tentang hawa dingin yang membuat orang lebih nyaman merebah di balik selimut. Ini tentang adu kekuatan di dalam diri. Tentang menahan marah dan sedih yang menggila di dalam kepala sendiri.
Pintu kamar Keiza diketuk berkali-kali. Gadis itu bergeming. Suara Bunda yang memanggil-manggil malah membuat gadis itu tetap bertahan di tempat tidurnya. Menyembunyikan diri dari rasa sakit saat melihat kedua orang tuanya. Ia tidak ingin melihat mereka. Tidak sekarang… sampai nanti entah kapan.
Dari tadi malam ia menangis tersedu dan masih berlanjut sampai kini. Sesekali tangisannya berhenti, berpikir.
Keiza tidak mengerti.
Berita itu datang menghantam tadi malam. Menarik Keiza ke dasar mimpi buruk yang sangat kelam. Tidurnya tak nyaman hingga akhirnya ia memutuskan tetap terjaga untuk menangis semalaman.
Kenapa harus pisah? Kenapa harus pindah? Bukannya selama ini semua baik-baik saja?
Pertanyaan-pertanyaan itu bermunculan bagai panah yang melesat cepat, menusuk ke tempat yang tepat. Panah yang tak membuatnya mati, tapi cukup membuatnya sekarat sendiri. Denyut di pelipisnya semakin terasa cepat, menarik-narik kulit sampai Keiza ingin memukulkan kepalanya ke benda apapun. Bantal, tangan, buku… tembok.
Jangan bego, Keiza!
Keiza menekan telingannya kuat-kuat. Akal sehatnya yang tinggal sedikit berteriak kencang. Jangan kalah, jangan kalah! Ia tak boleh membiarkan bisikan itu berhasil melukai dirinya. Sayang …rasa sakit itu bukan hanya berasal dari isi kepala, hatinya juga sedang menjerit terluka.
Apa aku kurang baik? Apa aku udah bikin kalian kecewa? Apa aku pernah bikin salah sampai-sampai kalian harus pisah?
Keiza membalikkan tubuh, mencengkeram kepalanya untuk menghalau semua pertanyaan yang menekan itu. Namun kalimat-kalimat buruk terus dan terus bertambah. Terkatakan tanpa suara, mengirisnya dari dalam, menyeretnya ke penjara sepi. Air matanya mengalir lagi. Nafasnya tersenggal, ia sesenggukkan lagi.
“Apa ini? Kenapa sesakit ini?”
Lalu ditengah-tengah keheningan itu, ditengah-tengah kekalutannya itu, ia melihat raut wajah yang familiar. Raut wajah seseorang yang ia sedang coba selamatkan. Raut wajah dari orang yang mengajarkannya arti penting menikmati masa remaja. Seketika Keiza sadar, ternyata selama ini ia tak benar-benar melihat. Ia tak benar-benar mengerti, ketika sosok itu berteriak murka,
“LO NGGAK TAU APA YANG GUA RASAIN!”
Keiza tak benar-benar memahami. Kepedihan, kekecewaan, kebutuhan untuk terlepas dari rasa sakit dan semua alasan yang bisa membuat manusia ingin menghilang dari dunia ini. Kini Keiza mulai tahu. Perasaan kecewa ini… dan semua kata-katanya dulu, yang terasa menyakitkan jika ia mendengarnya juga dari mulut orang lain. Penyesalan mulai menghimpit dadanya. Membuat tangisnya semakin menjadi. Sederas hujan yang turun saat ini.
“Radhi… maaf.”