Klik!
Pintu terbuka sesaat setelah pria bermantel tortilla itu menekan kombinasi terakhir kunci pintar rumahnya.
“Melelahkan tentunya, tapi tidak apa-apa, aku sudah terbiasa.” Setelah melepas kedua sepatunya begitu saja, pria itu beralih ke sofa dan menyandarkan seluruh tubuhnya di sana.
“Jika saja aku di sana, aku bisa meregangkan semua ototmu yang kaku,” katanya membuat wajah gemas.
“Oh, sounds naughty!” senyum pria itu tertarik sebelah, memikirkan hal-hal yang biasa terpikir oleh pria-pria dewasa.
“Memangnya apa yang sedang kaupikirkan?” tawa gadis itu merebak dan menularkannya pada pria itu.
Itu adalah percakapan kali kesekian yang hanya dapat terjadi via gawai.
“Apa saja, termasuk merindukanmu, Yoo Ra-ya…”
Dari ponselnya, Yoo Ra tampak tersipu. “Na-do, na-do! Apa kita bisa bertemu secepatnya?”
Hubungan jarak jauh memang memilukan.
Jinan menarik kedua ujung bibirnya, “Apa aku harus ke sana sekarang?”
Yoo Ra mengibaskan tangan kanannya, “Hei, jangan membuat janji palsu!”
“Jika kau yang meminta, aku bisa ke Osaka sekarang juga.”
“Haruskah?” Yoo Ra tampak berpikir.
“Hae-bwa!—Coba saja!”
Yoo Ra menggeleng cepat, dia mengatakan kepada Jinan bahwa dia tidak ingin merepotkan dan menjadi kekasih yang banyak menuntut.
Jinan hanya tersenyum kecil. Dia tahu Yoo Ra sangat pengertian, namun di dalam hatinya yang paling dalam, dia ingin Yoo Ra meminta, bila perlu memaksa. Sehingga dia yakin bahwa Yoo Ra masih sangat menginginkannya.
Apakah kekasih ini sedang meragu?
Jarak telah memberi secerca keraguan di dalam hatinya.
“Ah ya, malam ini aku ada janji dengan temanku. Kau tidak keberatan jika kutinggal sekarang?”
Dari ponselnya, Jinan bisa melihat Yoo Ra buru-buru beranjak dari tempat duduknya, mengambil mantel gading dan mengenakannya.
“Sepertinya aku tidak pernah keberatan menjadi yang nomor dua diantara temanmu,” katanya dengan tawa kecil.
“Aa Chagi, please…” Yoo Ra sepertinya tersinggung.
“Bercanda, Chagi.. Go ahead! Jangan lupa kenakan syal-mu.”
Yoo Ra memukul keningnya, “Ah benar!” dia kemudian buru-buru mencari syal pemberian Jinan namun tidak menemukannya. “Aku tidak menemukan syal pemberianmu, bagaimana ini? Aku pakai yang lain saja dulu, nanti kucari lagi. Aku sedang buru-buru.”
Jinan menggelengkan kepalanya berulang kali, “Dasar ceroboh!”
“Mian… Aku pergi dulu. Bye!” katanya sembari menutup telepon-nya.
“Eh!” Jinan mendengkus. Teleponnya sudah tertutup sebelum dia mengatakan selamat malam.
Jinan meletakkan ponselnya di atas meja, dan segera merapikan berkas-berkasnya. Diantara banyak berkas yang dia periksa malam ini, dia menarik selembar kertas berisi tagihan tiket perjalanan ke Osaka minggu depan.
Senyumnya kembali tersungging. Ini akan menjadi sebuah kejutan besar. Jinan tidak memberitahu Yoo Ra bahwa alasan dibalik pekerjaannya yang menjadi berat minggu ini karena dia telah mengajukan cuti dua minggu penuh. Jinan ingin menghabiskan liburan akhir tahunnya di Osaka, dia bahkan sudah mempersiapkan sebuah hadiah.
Hadiah itu ada di dalam kotak beludru kecil, berwarna biru laut, warna kesukaan YooRa.
**
OSAKA - New Year Eve
Jinan mengaktifkan kembali ponselnya setelah 3 jam mengudara. Sembari menunggu kopernya dihantar ban berjalan, dia melihat banyak pesan yang masuk secara beruntun, namun tak ada satupun pesan dari Yoo Ra. Dia mencoba menelepon ponsel kekasihnya itu, namun tidak ada jawaban. Jinan memasukkan ponselnya ke saku, lantas mengambil koper hitam-nya. Dia berjalan menuju gate kedatangan sembari mengecek ponselnya, membalas pesan satu persatu, lalu menghubungi kembali Yoo Ra.
“Moshi-moshi…!” panggilan dijawab, namun itu bukan suara YooRa. “Jinanie?”
Jinan membelalak kaget. Langkahnya spontan terhenti, lantas merundukkan kepalanya sembari membalas, “Ah, annyeong haseyo, ahjussi…!” meski tidak mengerti mengapa ponsel Yoo Ra dijawab oleh ayahnya Yoo Ra.
“Jinanie, sudah lama sekali. Apa kabar?” itu suara ayahnya, Yoo Ra.
“Baik. Baik sekali.” Jinan kemudian menanyakan kabar ayah dan ibunya Yoo Ra karena sudah lama sekali belum pernah berbincang dengan calon mertua-nya itu.
“Yoo Ra meninggalkan ponselnya. Dia sedang ada di luar sekarang,” kata ayah Yoo Ra memberitahu. “Sepertinya ada pekerjaan mendesak sehingga dia tampak terburu-buru, tadi.”
Jinan terdiam. Dia tidak tahu harus membalas informasi tersebut dengan kata-kata seperti apa. Bagaimana dia bisa menyampaikan kejutan ini, jika Yoo Ra tidak menjawab ponselnya.
Dia kemudian mengerjap, mendapatkan sebuah ide baru.
“Ahjussi, bolehkah aku singgah?”
Setelah mendengar antusias ayah Yoo Ra, Jinan bergegas menghentikan taksi dan pergi ke alamat yang diberikan ayah Yoo Ra kepadanya. Dia datang bersama dengan perasaan tidak sabar juga gelisah. Sulit rasanya menjelaskan perasaan mana yang lebih mendominasi.
Ayah Yoo Ra, Lee Nam Gyu, menyambut kedatangan Jinan dengan suka cita. Dia memeluk Jinan seolah-olah memeluk putranya yang baru saja pulang dari wajib militer. Meskipun Jinan bisa beberapa kali ke Osaka, namun kesempatan untuk bertemu dengan ayah Yoo Ra tidak pernah ada. Terakhir kali mereka bertemu adalah saat Lee Nam Gyu membawa keluarganya pindah ke Osaka.
“Sudah lama sekali, ya, kita tidak bertemu,” ujar Nam Gyu seraya menepuk-nepuk punggung Jinan.
“Iya, Paman. Rasanya sudah lama sekali, ya.” Ada perasaan sungkan di relung hati Jinan karena selama ini tidak menyempatkan waktunya untuk singgah.
“Bagaimana orang tuamu? Apakah mereka sehat?” tanya Ibu Yoo Ra, Ko Ra Mi, yang datang membawa serta minuman dan camilan.
“Ya. Ya. Mereka sehat dan baik-baik saja. Aku sudah memberitahu mereka kalau aku ke sini, mereka menitip salam.”
Ketiga orang itu mengobrol intens. Obrolan memang seputar kenangan-kenangan lalu ketika mereka masih tinggal di Seoul. Lee Nam Gyu ingat bahwa Jinan adalah satu-satunya teman laki-laki Yoo Ra yang sering berkunjung. Setelah bisnisnya di Seoul tidak berhasil, dia mendapat kesempatan bekerja di Osaka.
“Aku senang kau berkunjung ke Osaka. Kuharap kunjunganmu ini tidak sebentar,” ujar Ko Ra Mi yang masih penuh senyum memandangi Jinan.
“Ya, aku—” Jinan terhenti begitu mendengar suara dari luar rumah.
“Ah, itu pasti Yoo Ra.”
Jantung Jinan rasanya berhenti berdegup untuk sesaat. Dia membelalak seraya bertanya-tanya, haruskah dia bersembunyi?
“Paman, Bibi, jangan katakan aku ada di sini. Kumohon rahasiakan,” pinta Jinan yang langsung beranjak mencari tempat persembunyian.
Lee Nam Gyu dan Ko Ra Mi hanya tergelak, lantas menyuruh Jinan bersembunyi di dalam kamar mereka. Jinan berlari-lari kecil, sembari memegangi dadanya yang tak keruan lagi degupnya, dia bersembunyi di dalam kamar orang tua Yoo Ra.
Jinan mengambil kotak beludru berwarna biru muda dari saku mantelnya, membukanya dengan sebuah senyuman tersungging di bibirnya.
Jinan menunggu lama, namun kedatangan Yoo Ra tidak terdengar sedikitpun. Dia mondar-mandir dengan cemas hingga satu suara tawa dari luar menggerakkan tubuhnya beralih ke jendela. Dari dalam kamar yang temaram itu, Jinan dapat melihat Yoo Ra, bersama pria lain. Jinan terbelalak melihat jarak antara pria itu dan Yoo Ra yang semakin lama semakin dekat. Pria dengan syal biru muda itu membelai wajah Yoo Ra, yang wajahnya tidak bisa dilihat Jinan.
Situasi seperti apa ini? Apa ini? Apa semua ini nyata?
Jinan mendekatkan dirinya ke jendela, memastikan bahwa wanita yang dikecup pria bersyal biru itu bukan lah Yoo Ra.
Sebentar! Jinan mengenali syal biru muda yang melilit leher pria itu. Sudah lama dia tidak melihatnya dikenakan Yoo Ra. Bagaimana bisa pria itu memilikinya?
Jinan berpaling. Napasnya terasa sesak. Dia membuka mulutnya lebar, berharap dapat menormalkan pernapasan. Namun itu membuat dadanya semakin sesak. Di ruang yang temaram itu, dia hanya bisa menggenggam erat kotak beludru biru muda.
**