Kadang, perasaan tidak datang dengan suara. Ia hanya duduk diam di sampingmu—menatap lebih lama, memberi ruang, dan tetap tinggal. Tanpa janji. Tanpa suara. Tapi nyata. Seperti teduh yang tak kau sadari, tapi selalu membuatmu kuat bertahan.
**
Hari-hari berikutnya terasa seperti menelan jam pasir perlahan—bergerak, tapi tetap terasa menekan dari dua arah. Aku mulai datang lebih pagi ke ruang panitia, bukan karena semangat, tapi karena butuh waktu lebih lama untuk menyesuaikan diri dengan kekacauan yang tidak bisa kuatur. Kertas menumpuk. Poster belum tercetak. Deadline berseliweran seperti suara dengung yang tidak kunjung berhenti.
Dan Nata. Dia selalu datang terlambat lima sampai sepuluh menit. Tapi tidak pernah tampak dikejar. Masuk dengan earphone menyangkut di leher, hoodie digulung di lengan, dan membawa plastik isi roti atau minuman dingin. Kadang disapa banyak orang, kadang dia hanya melambai pelan dan langsung duduk di kursinya, di sebelahku.
“Udah ngedit poster hari keempat?” tanyanya suatu pagi sambil menjatuhkan diri ke kursi.
Aku mengangguk, lalu menyerahkan flashdisk kecil.
Dia menerimanya tanpa menyentuh tanganku.
Aneh. Tapi aku bersyukur untuk itu.
“Kamu tidur jam berapa tadi malam?” tanyanya setelah beberapa menit bekerja.
“Gak inget,” jawabku tanpa menoleh.
Dia tidak menanggapi. Tapi sunyi di antara kami terasa lebih berat dari percakapan mana pun. Seolah ia sedang menunggu sesuatu. Atau mungkin… memahamiku tanpa perlu bertanya lagi.
Siangnya, saat meja dipenuhi dus makanan panitia dan orang-orang mulai saling lempar lelucon, aku menarik kursi lebih ke pinggir. Aku tidak suka makan bersama dalam keramaian. Terlalu dekat. Terlalu riuh. Terlalu... tak terkendali. Tapi aku juga tidak ingin terlihat terlalu aneh.
Nata melihatku. Tanpa bertanya, dia berdiri, mengambil dua kotak nasi, dua sendok plastik baru, lalu duduk di dekatku. Jaraknya tidak terlalu dekat, tidak juga terlalu jauh.
“Yang ini ayamnya lebih kering,” katanya sambil membuka kotaknya pelan. “Kalau kamu jijik sama yang banyak minyak, mending ini.”
Aku menoleh sedikit. Dia tidak menatapku, hanya menyobek bungkus sendoknya dan meletakkannya pelan di sisi kotak. Untukku.
“Tenang, tanganku nggak kena bagian atas sendok kok,” katanya sambil nyengir kecil. “Aku lulus pelatihan cuci tangan sejak pandemi.”
Itu harusnya lucu. Tapi aku tidak tertawa. Meski, untuk alasan yang tidak kuketahui, bahuku sedikit turun, sedikit lebih rileks. Aku mengambil sendok itu, menyendok nasi pelan. Tanganku masih kaku. Tapi dia tidak memandang. Tidak mengomentari.
Dia juga mulai makan. Tapi caranya makan seperti orang yang benar-benar menikmati makanannya. Bukan hanya karena lapar. Tapi karena setiap suapan memberi dirinya izin untuk sejenak berhenti dari segala tekanan yang menyesakkan. Setiap suapan terasa seperti jeda kecil, momen di mana dunia luar bisa terlupakan, meski hanya sesaat.
“Ini pertama kalinya aku kerja bareng anak arsitektur,” katanya sambil menyuap. “Kalian tuh... kayak pasukan tempur. Nggak banyak ngomong, tiba-tiba udah muncul maket segede pintu”
Aku tidak tahu itu pujian atau sindiran. Tapi caranya bicara santai, sedikit asal, tidak berusaha terdengar mengesankan, membuatku tidak merasa diserang.
“Aku bisa gambar, tapi nggak sehebat kamu yang semuanya presisi. Aku lebih ke yang awut-awutan, kamu ngerti kan... yang penting nuansa.” Lanjutnya.
Aku menyendok lagi. Perlahan. Ayamnya memang kering, dan teksturnya lebih bisa kutoleransi. Rasanya tetap biasa. Tapi kali ini, aku tidak ingin berhenti makan setelah satu suapan.
Di antara kami, tidak ada percakapan berat. Tapi juga tidak ada kesunyian yang menyakitkan. Hanya dua orang yang makan di sudut meja, berbagi ruang kecil dan tidak menuntut siapa pun jadi versi sempurna dari dirinya.
Kami makan pelan-pelan. Tidak terburu-buru, tapi juga tidak terlalu lama. Saat kotak nasiku tinggal separuh, akhirnya aku berhenti. Bukan karena kenyang. Tapi karena... cukup. Tidak ada yang memaksa untuk dihabiskan. Dan aku bersyukur untuk itu.
Nata menutup kotaknya, merapikannya ke dalam kantong plastik. Lalu menyodorkan selembar tisu padaku.
“Di bibir,” katanya singkat.
Aku mematung. Tanganku langsung bergerak, mengusap cepat bagian bawah bibirku. Refleks. Tidak karena malu. Tapi karena... tidak suka ada yang menempel. Apalagi kalau itu minyak.
Dia tidak tertawa. Tidak mengoda. Tidak berkata apa-apa lagi. Hanya menunduk, memasukkan sendoknya ke plastik, dan berdiri.
“Mau aku buangin sekalian?”
Aku mengangguk pelan, menyerahkan bekas kotak makanku, tisu dan sendok tanpa banyak kata.
Dia berjalan ke tempat sampah di pojok ruangan. Di belakangnya, suara-suara masih ramai oleh panitia yang baru selesai makan dan asik bercanda soal tugas divisi, atau poster yang salah cetak. Tapi aku tidak mendengarnya jelas. Pikiranku masih menempel di satu hal: Baru kali ini aku makan di ruang ramai tanpa merasa ingin kabur.
Saat kembali, dia tidak langsung duduk. Hanya berdiri di samping meja, menyender santai sambil memainkan gantungan kunci di ranselnya.
“Besok sore kemungkinan final layout ya,” katanya. “Aku bantu review kalau kamu mau.”
Aku mengangguk. “Boleh.”
Dia mengangguk balik. Lalu diam sebentar. “Kalau butuh space buat kerja yang lebih sepi, bilang aja. Aku ngerti kok... kalau rame-rame itu kadang... melelahkan.”
Kata terakhirnya membuatku diam. Melelahkan. Iya. Itu kata yang tepat. Keramaian kadang menguras tenagaku lebih dari tugas itu sendiri. Tapi aku tidak bilang apa-apa. Hanya mengangguk lagi.
Dia tersenyum kecil, lalu menyampirkan ranselnya. “Oke. Aku ke percetakan dulu. Jangan lupa minum air putih. Kamu kelihatan kayak orang belum hidrasi tiga hari.”
Kalimatnya terdengar asal. Tapi tidak terasa kosong.
Dan saat dia pergi, aku tetap duduk di sana. Tidak buru-buru kembali bekerja. Tidak merasa perlu kabur. Tidak merasa dipaksa bicara. Untuk beberapa saat, dunia tidak berubah. Tapi... rasanya tidak seberat biasanya.
Saat Nata kembali dari percetakan, kami kembali tenggelam dalam tugas masing-masing. Aku fokus menyusun ulang layout digital yang sempat error, sedangkan dia sibuk merapikan print-an, memotong sisi-sisinya dengan cutter, lalu menempelkannya satu per satu ke atas karton.
Sore itu, setelah semua pekerjaan selesai, kami duduk lebih lama dari biasanya. Mengistirahatkan tubuh sebelum pulang. Ruangan mulai kosong. Cahaya matahari menabrak kaca jendela, menciptakan garis-garis hangat di lantai yang pelan-pelan merayap ke arah kami.
Nata menutup laptopnya. “File final udah kukirim ke grup. Tinggal nunggu revisi dari Bu Ratih.”
Aku mengangguk, masih menyempurnakan grid di layout versi cadangan.
Dia menatapku beberapa detik. Lalu tiba-tiba berkata, “Kamu tuh kayak... pulpen teknikal.”
Aku mengerutkan kening. “Apa maksudnya?”
“Ya, presisi. Hitam putih. Tajam, dan nggak bisa diganti sama spidol.”
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Tapi di dalam dada, ada sesuatu yang bergerak pelan. Ringan. Tapi terasa.
Dia bersandar ke kursi. “Tapi kayaknya kamu nggak suka dibandingin sama benda, ya?”
Aku nyaris tersenyum. Nyaris.
Beberapa detik berlalu.
“Besok ada waktu sore?” tanyanya.
Aku menoleh. “Untuk apa?”
“Layout udah kelar. Tapi aku pengen revisi desain file publikasi, yang buat IG carousel itu. Kalau kamu sempat, temenin aja. Di tempat biasa. Kita nggak harus kerja juga sih.”
Aku diam sebentar.
“Tempat biasa?”
“Ruang desain ini,” katanya. “Tapi kalau kamu mau ganti tempat juga boleh. Aku fleksibel. Asal bukan kafe rame.”
“Kenapa?”
Dia mengangkat bahu. “Kayaknya kamu ga suka tempat rame, lagian capek juga kalau harus ngobrol sambil teriak.”
Aku mengangguk pelan. Entah karena setuju, atau karena tiba-tiba pikiranku sibuk membayangkan ulang cara dia tadi menyebut aku... pulpen teknikal.
Besok sorenya, aku datang sedikit lebih awal. Ruang desain masih kosong. Hanya ada suara kipas angin langit-langit yang berputar lambat dan pantulan cahaya jingga dari jendela besar yang belum ditutup tirainya.
Aku meletakkan tasku di pojok meja, lalu duduk. Membuka laptop, tapi tidak benar-benar menyentuh apa pun. Kali ini aku datang bukan karena tenggat. Bukan karena revisi. Bukan karena file yang harus dikirim. Dan itu… terasa asing.
Beberapa menit kemudian, langkah kaki terdengar dari luar lorong. Pintu terbuka. Nata masuk, masih dengan hoodie yang sama seperti kemarin, dan dua bungkus minuman kotak di tangannya.
“Aku nggak tau kamu lebih suka yang cokelat atau teh,” katanya. “Jadi aku ambil dua-duanya. Yang kamu nggak pilih, buat aku.”
Aku menunjuk yang teh. Dia langsung menaruhnya di mejaku tanpa komentar.
“File publikasi udah aku revisi. Tapi... aku pengen nanya satu hal.”
Aku menatapnya.
“Kalau kamu boleh pilih, kamu lebih suka desain yang ramai atau minimalis?”
Aku mengerutkan kening. “Kenapa nanya begitu?”
Dia duduk di kursi sebelahku. “Karena kayaknya jawaban kamu bisa kasih aku gambaran soal kamu juga.”
Aku berpikir sejenak.
“Minimalis,” jawabku akhirnya. “Tapi bukan karena tren. Karena... ruang kosong bikin aku bisa bernapas.”
Dia mengangguk pelan. “Aku suka desain yang ramai. Tapi baru belakangan ini sadar... mungkin itu karena aku nggak betah sendirian.”
Kita diam lagi. Tapi diam yang... nggak terasa canggung. Seperti dua orang yang sedang menakar jarak. Masing-masing membawa dunia sendiri, tapi tidak sedang menutup pintu.
Dia memutar badannya sedikit, menatap layar laptopku yang sudah terbuka. “Kamu sadar nggak, kita lagi duduk bareng... dan nggak ngerjain apa-apa?”
Aku melirik ke arahnya. “Iya.”
“Dan kamu nggak coba menjauh.”
Aku menunduk. Tidak menjawab. Tapi dia benar.
Aku membuka botol teh yang tadi dia berikan. Menyesap sedikit. Rasanya masih biasa saja, manis yang tak menyentuh lidah. Tapi kali ini, aku tidak buru-buru menghabiskannya agar cepat selesai. Di sebelahku, Nata kembali duduk. Dia tidak membuka laptop. Tidak juga memainkan ponsel. Hanya duduk, menyender, memandang ke arah jendela.
“Kamu tau nggak,” katanya tiba-tiba sambil menatap jendela, “aku baru sadar, orang paling susah diajak kerja itu... yang ngatur tempat duduk.”
Aku mengerutkan kening. “Maksudnya?”
“Ya, yang harus semuanya pas, rapi, simetris. Kadang aku sampe mikir, ‘Udah, duduk aja di mana pun, santai, bro.’ Tapi mereka gak bisa.”
Aku tersenyum samar. “Kayaknya itu aku.”
Dia ketawa kecil. “Beneran. Aku udah ngeliat kamu geser kursi terus dari tadi.”
Aku membela diri, “Supaya pas jaraknya.”
Nata mengangguk, lalu berbalik menatap layar laptopku.
“Tapi aku juga ngerti, kadang kerapihan itu bukan soal kontrol. Tapi soal kenyamanan.”
Aku diam, memperhatikan jemarinya yang mengetik perlahan.
“Eh, kamu pernah coba nongkrong di kafe? Aku tahu ada tempat yang nggak terlalu rame, tapi enak buat kerja.”
Aku menggeleng. Bukan karena tidak tahu, bukan juga karena langsung menolak, tapi karena aku takut. Takut kalau ruang baru itu akan membawa kebisingan yang terlalu berat. Takut kalau aku tidak bisa mengendalikan semuanya di luar ruang ini. Tapi aku juga tahu, di balik rasa takut itu, ada sesuatu yang ingin disentuh. Sesuatu yang sudah lama terkubur oleh kebiasaan dan keraguan.
“Nanti aku ajak,” katanya santai. “Biar kamu nggak cuma liat ruang desain doang.”
Nata menatapku dengan senyum kecil, seperti mengerti tanpa harus memaksa. Dia menawarkan ruang yang mungkin aku butuh. Aku menunduk, meremas ujung lengan bajuku. Mungkin suatu saat nanti, aku akan mengikuti ajakannya. Tapi hari ini, aku masih ingin bertahan di sini, di tempat yang aku tahu, meski menekan, tapi aku bisa mengaturnya.
Aku menatap layar laptop yang mulai redup karena waktu berjalan. Suara kipas angin berputar pelan di atas kepala, mengiringi detik-detik yang bergulir tanpa terburu.
Aku masih di sini. Duduk di kursi yang sama dengan bayang-bayang di kepala yang tidak sepenuhnya hilang. Ketakutan, kecemasan, dan rasa hampa tetap bersembunyi di sudut pikiranku, menunggu waktu untuk menyeruak kembali. Kadang napasku terasa berat, seperti ada beban tak kasat mata yang menekan dada.
Namun, aku merasa ada sesuatu yang berubah. Aku bisa bertahan di ruang yang kacau. Meskipun dadaku sesak, tanganku berkeringat, pikiranku terus berputar. Aku tetap di sana. Bersamanya. Entah itu kemajuan, atau hanya kebetulan. Tapi rasanya... tidak seburuk biasanya.
ga ada typo, bahasanya puitis tapi ringan, setiap bab yang di baca dengan mudah membawa masuk ke cerita. ceritannya juga unik, jarang banget orang mengedukasi tentang KESEHATAN MENTAL berbalut romance. dari bab awal sampe bab yang udah di unggah banyak kejutannya (tadinya nebak gini taunya gini). ini cerita bagus. penulisnya pintar. pintar bawa masuk pembaca ke suasananya. pintar ngemas cerita dengan sebaik mungkin. pintar memilih kata dan majas. kayaknya ini bukan penulis yang penuh pengalaman...
Comment on chapter PROLOG