Loading...
Logo TinLit
Read Story - Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
MENU
About Us  

Hari itu kita serupa langit sore: hangat, lembut, tak tergesa. Segalanya terasa cukup, seperti dunia akhirnya memilih diam di sisi kita. membuka pintu harapan yang perlahan menyinari jalan yang dulu gelap.

**

Mobil melaju pelan di jalan tol. Radio memutar lagu-lagu lama, tembang yang menurut Papa pernah mengisi hari-hari mudanya. Di kursi depan, Mama sesekali membuka tupperware, menyodorkan camilan ke bangku belakang.

Aku dan Bara duduk di kursi belakang. Mobil melaju pelan, sementara langit di luar tampak sedikit mendung. Aku menyandarkan dahi ke kaca jendela, embunnya dingin menempel di kulit. Pandanganku menelusuri awan kelabu yang bergeser perlahan di langit. Di sebelahku, Bara duduk dengan tubuh sedikit condong, satu earphone terpasang di telinga kanannya, sementara telinga kirinya dibiarkan kosong.

Sesekali tangannya mengetuk-ngetuk paha mengikuti irama yang hanya bisa dia dengar. Diam-diam, aku merasa lega—setidaknya dia belum sepenuhnya memutuskan hubungan dengan dunia nyata.

“Ada yang mau pisang goreng?” tanya Mama sambil menoleh ke arah kami.

Aku menoleh sebentar, lalu tersenyum kecil. “Mau, Ma.”

Mama menyerahkan kotaknya ke Bara, lalu Bara mengoperkannya padaku tanpa berkata apa-apa. Tapi matanya sebentar menatapku, dan itu cukup.

Udara di mobil terasa lebih ringan dari biasanya. Mungkin karena tidak ada tekanan sekolah, tugas, atau pekerjaan Papa yang bikin suasana makan malam jadi sunyi. Mungkin juga karena kami akhirnya bergerak ke luar dari rutinitas yang terlalu lama menahan emosi tanpa jalan keluar.

Sesekali Papa membuka obrolan soal tempat yang akan kami kunjungi: Kaliurang, Malioboro, Bukit Breksi, dan sebuah rumah makan favorit Mama di pinggir sawah. Bara bahkan sempat nyeletuk iseng soal kopi tubruk yang rasanya kayak 'air rendaman arang'.

Aku tertawa. Spontan. Dan Bara ikut tersenyum.

Momen kecil itu... mengalir seperti air hangat di tangan yang dingin.

Saat mobil berhenti di rest area, aku turun pelan. Menghirup udara luar. Langit sore menjingga pucat. Angin membawa suara anak-anak kecil tertawa dari taman kecil di ujung sana. Mama dan Papa duduk di bangku dekat mobil, berbagi termos teh.

Bara berdiri di sampingku, menatap ke arah jalan raya.

“Aku kangen suasana kayak gini,” katanya pelan.

“Kayak gini tuh gimana?” tanyaku.

“Yang… tenang, damai, hangat. Nggak mikirin tugas akhir, nggak dikejar-kejar deadline, nggak dituntut ini-itu sama Mama Papa. Dan yang paling penting, kita bisa bareng, ngobrol atau diem, dan ngerasa akrab.”

Aku menatapnya. Nada suaranya terdengar ringan, tapi ada sesuatu yang tertinggal di antara jedanya, seperti seseorang yang akhirnya bisa bernapas setelah lama tenggelam. Seperti pengakuan bahwa diam pun bisa terasa utuh, kalau tak ada yang saling membebani.

Aku menarik napas, lalu mengangguk. “Aku juga.”

Perjalanan pun kembali dilanjutkan setelah berhenti sejenak di rest area untuk makan dan pergi ke toilet. Aku menyender di kursi belakang, menyelimuti diri dengan jaket, dan tak sadar kapan mataku mulai tertutup. Jalanan panjang terasa seperti potongan waktu yang hilang, aku tertidur hampir sepanjang perjalanan. Saat aku membuka mata, kota itu sudah menyambut dari balik jendela. Jogja. Tenang, dan sedikit asing.

Malam itu, kami menginap di sebuah penginapan kecil di pinggir kota. Bukan penginapan mewah, tapi pemandangannya luar biasa: hamparan sawah, bukit-bukit hijau, dan taman kecil yang teduh. Kamar kami berdampingan, menghadap sawah yang sunyi. Dari balik jendela, suara jangkrik terdengar pelan, seolah menyapa malam.

Aku duduk di ranjang, menulis di catatan kecilku, membiarkan kata-kata mengalir perlahan dalam keheningan malam.

Keluarga seharusnya bukan tentang siapa yang paling bersinar, tapi tentang kita yang harusnnya saling mengerti, tentang kasih sayang yang dibagi rata, bukan dibagi dua. Supaya meskipun jarak memisahkan, hati kita tetap ingin pulang. Dan mungkin… liburan ini bisa jadi awal, awal di mana semuanya mulai dirajut lagi, pelan-pelan.

Setelah menulis, aku menutup buku catatanku dan menyelipkannya di bawah bantal. Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari pintu.

“Nara, ayo makan malam. Kita barbeque di teras,” panggil Mama dari luar.

Aku segera berdiri dan membuka pintu perlahan. Di luar, aku langsung disambut oleh aroma daging yang baru dibakar. Udara malam sejuk, tapi tidak menusuk. Lampu gantung kecil menggantung di langit-langit teras, memancarkan cahaya kekuningan yang lembut. Bara sudah duduk di karpet piknik bersama Papa, membalik-balik jagung bakar sambil tertawa kecil karena salah satu sosisnya jatuh ke arang.

Mama sibuk mengoles saus ke ayam panggang, lalu menyodorkannya pada Bara. “Cobain ini. Mama bikin sendiri sausnya.”

Aku duduk di sebelah Bara. Ia menyodorkan tusukan sate padaku. “Yang ini aman. Belum gosong,” katanya sambil tersenyum miring.

Kami makan sambil duduk melingkar. Tak ada layar ponsel. Tak ada musik. Hanya suara jangkrik dan sesekali bunyi bara api yang berdesis ketika lemak jatuh ke arang panas.

Papa bercerita tentang masa mudanya yang dulu sering ikut camping bareng teman SMA. “Dulu kalau nginep di gunung, nggak ada sinyal, nggak ada listrik. Tapi seru, karena semua orang ngobrol. Nggak kayak sekarang, megang HP terus,” katanya sambil melirik ke Bara.

Bara tertawa. “Oke, oke, besok aku coba lepas HP seharian.”

Mama tertawa pelan. “Catat itu, Ra. Saksi hidup.”

Aku mengangguk. Ada kehangatan yang lembut mengisi ruang—tidak ramai, tidak sunyi, hanya pas. Rasanya seperti ingin menyimpan detik-detik ini dalam stoples kecil, agar bisa kunikmati lagi saat dunia mulai bising.

Setelah perut kenyang, kami berbaring di karpet. Menatap bintang-bintang yang jarang terlihat di kota. Bara menunjuk ke langit. “Itu Orion, tuh.”

“Bukan. Itu layangan nyangkut kabel,” celetuk Papa, dan semua tertawa.

Malam berjalan pelan. Tapi hatiku tidak ingin buru-buru tidur. Rasanya seperti menemukan kembali versi kami yang dulu, yang pernah hilang di antara lelah, rutinitas, dan kata-kata yang tak sempat diucap.

Usai acara barbeque, Mama dan Papa lebih dulu masuk ke kamar. Aku dan Bara menyusul beberapa saat kemudian, entah untuk beristirahat atau sekadar membasuh wajah dan menarik napas sebentar.

Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Angin dari pepohonan belakang penginapan membawa suara dedaunan bergesekan pelan.

Karena tidur sepanjang perjalanan, mataku kini sulit diajak kompromi. Rasa kantuk tak juga datang. Aku akhirnya keluar kamar, membawa jaket tipis dan segelas teh yang belum habis. Saat menuruni tangga kayu menuju teras kecil, aku melihat Bara sudah duduk di sana lebih dulu. Sendirian, dengan hoodie-nya yang menutupi kepala.

Dia tidak kaget melihatku.

“Belum tidur?” tanyaku.

Bara menggeleng, lalu menepuk kursi di sampingnya. Aku duduk, membiarkan diam menemani kami sebentar—tapi untuk pertama kalinya, diam itu terasa berbeda. Bukan lagi canggung atau penuh jarak, tapi lebih seperti ruang yang pelan-pelan bisa kami isi bersama.

“Dulu waktu kecil,” katanya tiba-tiba, “Aku pengin jadi tukang komik.”

Aku menoleh. “Serius?”

Dia tertawa kecil, pelan. “Iya. Tapi terus... kayak semua orang punya harapan lebih buat aku. Lama-lama malah jadi bingung, sebenernya aku harus jadi apa sih untuk memenuhi harapan itu?”

Angin mengibas sedikit rambutnya yang keluar dari tudung. Matanya menatap jauh, ke arah taman yang gelap.

“Ra, kamu pernah ngerasa... jadi orang yang dikira kuat terus, tapi kamunya sendiri sebenernya udah capek banget?” lanjutnya.

Aku menarik napas pelan. “Pernah.”

Bara menunduk, memainkan kertas tisu di tangannya.

“Hmm.. aku sayang Mama Papa. Serius. Tapi kadang rasanya kayak... aku hidup hanya untuk memenuhi semua ekspektasi orang. Nilai bagus, skripsi beres, nanti kerja, jadi kebanggaan. Tapi semua itu... rasanya kayak bukan passion aku.”

Dia menatapku. Untuk pertama kalinya, tanpa defensif. Tanpa bercanda.

“aku juga takut gagal Ra. Tapi kayaknya di rumah, gagal tuh nggak boleh.”

Aku tidak langsung menjawab. Karena aku tahu rasa itu. Aku hanya menaruh tanganku di bahunya.

“Kalau suatu hari Abang capek banget, bilang. Jangan simpan sendiri.” Kataku.

Dia mengangguk. Matanya sedikit berair, tapi tidak menangis.

Malam itu, aku tidak tahu kalau kata-kata itu akan menjadi satu dari sedikit hal yang tersisa di ingatanku tentang Bara, sebelum segalanya berubah.

Kami duduk dalam diam beberapa saat, hanya ditemani suara angin dan gemerisik pohon-pohon di kejauhan. Bara bersandar ke sandaran kursi, menatap langit yang gelap tapi bersih. Bintang-bintang berkelip tipis. Tidak terang, tapi cukup untuk terlihat.

“Kadang rasanya aku pengin kabur,” katanya tiba-tiba. “Naik motor jauh, nggak tahu mau ke mana. Nggak ada deadline. Nggak ada yang nanya, ‘Udah sampai mana skripsi kamu, Bar?’”

Aku melirik ke arahnya. “Kenapa nggak bilang ke Papa Mama?”

Dia mengembuskan napas pendek, seperti tertawa tapi getir. “Kamu pikir mereka bakal ngerti? Menurut mereka, kalau aku masih bisa makan, tidur, ngerjain tugas... artinya aku baik-baik aja. Mereka nggak tahu yang capek itu bukan cuma badan, tapi kepala. Pikiran. Hati.”

Aku memeluk lututku, merasa dingin di ujung jari-jari. “Hmm.. aku kira kamu nggak ngerasa gitu.”

“Ya ngerasa lah.. Tapi... terlalu takut kelihatan lemah.” Katanya.

Ia mengusap wajahnya pelan, lalu berkata lirih, “Aku anak laki-laki, Ra. Anak sulung. Diharapkan. Digantungin banyak hal. Gimana kalau ternyata aku nggak bisa jadi semua itu?”

Aku ingin menjawab, tapi lidahku kelu. Karena aku tahu, kalau aku bilang “semua akan baik-baik saja,” itu cuma kalimat nyaman yang sering dipakai orang-orang yang nggak tahu rasanya.

Jadi aku memilih diam. Menyandarkan kepala ke bahunya. Kami duduk begitu saja, bahu saling bersentuhan, seperti dua orang yang sama-sama lelah tapi tidak ingin saling meninggalkan.

“Kamu tahu, dulu waktu kecil,” Bara berkata lagi, “Kamu pernah gambar keluarga kita. Dan sampai sekarang gambarnya masih aku simpan. Lucu banget. Semua senyum. Aku pake topi, Papa bawa kamera. Mama masak. Kamu bawa buku. Warnanya cerah semua.”

Aku terkekeh kecil. “Serius masih disimpan?”

“Di laci meja belajarku. Mungkin karena... itu satu-satunya versi keluarga kita yang paling ceria. Gak banyak beban, gak banyak tuntutan juga.”

Aku terdiam.

Bara melanjutkan, suaranya lebih pelan, “Aku pengin percaya bahwa kita bisa balik ke versi itu, Ra. Tapi kadang, dunia nyata nggak secerah crayon.”

Aku menghela napas pelan. “Tapi setidaknya... kita masih di sini. Masih duduk bareng. Masih bisa cerita.”

Dia menoleh ke arahku dan tersenyum. Kali ini, benar-benar tersenyum.

“Iya,” katanya. “Masih ada kamu.”

Aku menatapnya. “Selalu ada.”

Dan malam itu, kami bicara lama. Tentang hal-hal kecil. Tentang film yang ingin ditonton. Tentang motor tuanya yang sering mogok. Tentang makanan favorit waktu kecil. Obrolan mengalir begitu saja—dan tanpa sadar, jarak di antara kami ikut mencair.

**

Keesokan harinya, langit Jogja cerah sejak pagi. Burung-burung berkicau riuh di atas atap penginapan, dan aroma kayu basah dari halaman belakang menyambut ketika aku membuka jendela. Bara masih belum bangun, tapi Mama sudah sibuk di dapur bersama pemilik homestay, memasak sarapan bersama dengan semangat seperti sedang syuting acara kuliner.

Papa duduk di beranda, membaca koran sambil menyeruput kopi. Momen seperti ini terasa sangat langka, semua orang sibuk dengan aktivitas masing-masing tapi terasa akrab dan hangat.

“Ra, bangunin Bang Bara. Sarapannya bentar lagi siap,” kata Mama sambil menata piring.

Aku berjalan menuju ke kamarnya, mengetuk kamar Bara dua kali sebelum mendorong pintunya pelan. Dia masih meringkuk di balik selimut, rambutnya awut-awutan seperti semalam.

“Bang, bangun. Kita mau ke Tebing Breksi katanya. Biar ada stok foto buat nyenengin followers kamu,” godaku.

Bara membuka satu mata, mengerang, lalu menarik bantal ke wajahnya. “Lima menit lagi Ra.”

“Lima menit Abang bisa jadi lima jam. Ayo buruan! Nanti aku dimarah Mama” jawabku sambil menutup pintu kamarnya.

Tak lama setelah aku pergi, akhirnnya Bara bangun juga. Kami menyantap sarapan bersama lalu pergi naik mobil menuju jalan yang mulai dipadati oleh kendaraan lain. Jendela mobil dibuka sebagian, lagu-lagu lama dari playlist Papa mengalun pelan. Mama sibuk menunjuk-nunjuk arah, kadang salah, kadang benar. Tapi semua tertawa. Bahkan Bara. Tawa yang tidak dibuat-buat.

Di Tebing Breksi, kami mengambil banyak foto. Papa jadi fotografer dadakan. Mama sempat memaksa kami bergaya melompat di udara. Bara pura-pura mengeluh tapi tetap mengikuti pose arahan Mama, dan hasilnya, meski blur, membuat kami tertawa sampai perut sakit.

Saat makan siang, kami duduk lesehan di restoran favorit Mama di pinggir sawah. Bara memesan ayam goreng dan sambal ekstra pedas. Dia sempat nyeletuk, “Kalau ini bisa bikin mulut kebakar, mungkin pikiran aku juga bisa ikut ke-reset.”

Kami tertawa. Tapi aku sempat menatapnya lama. Dibalik tawanya yang menggema, kulihat matanya yang lelah. Bahkan sangat lelah.

Walaupun begitu, liburan ini benar-benar seru. Mungkin karena kami jarang seperti ini: berempat, utuh, tanpa ponsel yang sibuk berdering, tanpa Papa yang sibuk dengan pekerjaannya atau Bara yang lebih sering berada di kamarnya. Kami mengobrol, saling ejek, berbagi makanan, bahkan tertawa karena hal-hal sepele. Seperti keluarga yang akhirnya menemukan ruang untuk bernapas bersama.

Aku sempat berpikir, mungkin semuanya akan baik-baik saja. Mungkin liburan ini akan menjadi awal baru. Momen yang membuat Bara mulai bisa terbuka, momen yang membuat kami merasa dia tidak sendirian, bahwa kami bisa saling sandar.

Masa-masa liburan pun berlalu begitu saja. Tak terasa, malam ini adalah malam terakhir kami di sini. Kami duduk di beranda penginapan, dibungkus angin malam yang lembut. Bara memainkan gitar kecil milik pemilik penginapan, menyanyikan lagu-lagu lama dengan suara seraknya yang khas. Papa ikut bersenandung pelan, sementara Mama diam-diam merekam dengan ponselnya, senyumnya tak lepas dari wajah.

Dan seperti semua hal baik yang tak pernah bisa bertahan selamanya, liburan itu pun selesai. Keesokan paginya, kami pulang ke rumah. di perjalanan, suara tawa kami masih terpantul di kaca jendela mobil, seolah enggan benar-benar pergi. Tubuh kami lelah, tapi hati kami terasa penuh oleh senda gurau, oleh tawa, oleh hal-hal kecil yang sempat kami bagi bersama.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (13)
  • limbooo

    Eh eh eh eh bab selanjutnya kapan ini? Lagi seru serunya padahal.. kira-kira Nara suka Nata juga ga ya??? Soalnya kan dia anhedonia🧐 .

  • limbooo

    Nara yang OCD, aku yang sesak nafas 🫠
    Ceritanya sampe ke relung hati🥹

  • rirydudidam

    aku memang sedang terlalu kacau, lalu baca ini, nangis lagi lah aku. padahal aku tidak pernah seperti Nara, tapi aku tetap nangis.

  • ervina

    Kasian si Nara

  • patraya

    Can't believe that the author could convey the emotion so thoroughly in the story.. this story simply bring the reader into an emotional rollercoaster. Love it!

  • niningdoyosyi

    Ceritanya perlahan ku baca, benar benar sesuai realita, hampir semua orang mengalaminya kurasa,,,
    Semakin nagih bacanya😍

  • iin

    Ceritanya bagus

    Comment on chapter PROLOG
  • amandabee

    Ini novel bener2 keren bgt sih, tata penulisannya, alurnya, bener kita terbawa ke ceritanya jadi bacanya bikin canduuuu bgttttt

  • witri

    Ceritanya seru, nagih bacanya.
    Ditunggu kelanjutannya 🫶🏻

    Comment on chapter PROLOG
  • sabitah

    sedih banget sumpah, bergetar bacanya

Similar Tags
I Found Myself
40      36     0     
Romance
Kate Diana Elizabeth memiliki seorang kekasih bernama George Hanry Phoenix. Kate harus terus mengerti apapun kondisi Hanry, harus memahami setiap kekurangan milik Hanry, dengan segala sikap Egois Hanry. Bahkan, Kate merasa Hanry tidak benar-benar mencintai Kate. Apa Kate akan terus mempertahankan Hanry?
Penantian Panjang Gadis Gila
266      209     5     
Romance
Aku kira semua akan baik-baik saja, tetapi pada kenyataannya hidupku semakin kacau. Andai dulu aku memilih bersama Papa, mungkin hidupku akan lebih baik. Bersama Mama, hidupku penuh tekanan dan aku harus merelakan masa remajaku.
Konfigurasi Hati
417      294     4     
Inspirational
Islamia hidup dalam dunia deret angka—rapi, logis, dan selalu peringkat satu. Namun kehadiran Zaryn, siswa pindahan santai yang justru menyalip semua prestasinya membuat dunia Islamia jungkir balik. Di antara tekanan, cemburu, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, Islamia belajar bahwa hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan logika—karena hati pun punya rumusnya sendiri.
Anikala
775      356     2     
Romance
Kala lelah terus berjuang, tapi tidak pernah dihargai. Kala lelah harus jadi anak yang dituntut harapan orang tua Kala lelah tidak pernah mendapat dukungan Dan ia lelah harus bersaing dengan saudaranya sendiri Jika Bunda membanggakan Aksa dan Ayah menyayangi Ara. Lantas siapa yang membanggakan dan menyanggi Kala? Tidak ada yang tersisa. Ya tentu dirinya sendiri. Seharusnya begitu. Na...
Maju Terus Pantang Kurus
735      484     2     
Romance
Kalau bukan untuk menyelamatkan nilai mata pelajaran olahraganya yang jeblok, Griss tidak akan mau menjadi Teman Makan Juna, anak guru olahraganya yang kurus dan tidak bisa makan sendirian. Dasar bayi! Padahal Juna satu tahun lebih tua dari Griss. Sejak saat itu, kehidupan sekolah Griss berubah. Cewek pemalu, tidak punya banyak teman, dan minderan itu tiba-tiba jadi incaran penggemar-penggemar...
Segitiga Sama Kaki
533      373     2     
Inspirational
Menurut Phiko, dua kakak kembarnya itu bodoh. Maka Phiko yang harus pintar. Namun, kedatangan guru baru membuat nilainya anjlok, sampai merembet ke semua mata pelajaran. Ditambah kecelakaan yang menimpa dua kakaknya, menjadikan Phiko terpuruk dan nelangsa. Selayaknya segitiga sama kaki, sisi Phiko tak pernah bisa sama seperti sisi kedua kakaknya. Phiko ingin seperti kedua kakaknya yang mendahu...
Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa!
504      197     11     
Humor
Didaftarkan paksa ke Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa oleh ayahnya, Kaur Majalengka--si OCD berjiwa sedikit feminim, harus rela digembleng dengan segala keanehan bin ajaib di asrama Kursus Kilat selama 30 hari! Catat, tiga.puluh.hari! Bertemu puding hidup peliharaan Inspektur Kejam, dan Wilona Kaliyara--si gadis berponi sepanjang dagu dengan boneka bermuka jelek sebagai temannya, Kaur menjalani ...
Ilona : My Spotted Skin
453      332     3     
Romance
Kecantikan menjadi satu-satunya hal yang bisa Ilona banggakan. Tapi, wajah cantik dan kulit mulusnya hancur karena psoriasis. Penyakit autoimun itu membuat tubuh dan wajahnya dipenuhi sisik putih yang gatal dan menjijikkan. Dalam waktu singkat, hidup Ilona kacau. Karirnya sebagai artis berantakan. Orang-orang yang dia cintai menjauh. Jumlah pembencinya meningkat tajam. Lalu, apa lagi yang h...
Wilted Flower
255      197     3     
Romance
Antara luka, salah paham, dan kehilangan yang sunyi, seorang gadis remaja bernama Adhira berjuang memahami arti persahabatan, cinta, dan menerima dirinya yang sebenarnya. Memiliki latar belakang keluarga miskin dengan ayah penjudi menjadikan Adhira berjuang keras untuk pendidikannya. Di sisi lain, pertemuannya dengan Bimantara membawa sesuatu hal yang tidak pernah dia kira terjadi di hidupnya...
Manusia Air Mata
855      503     4     
Romance
Jika air mata berbentuk manusia, maka dia adalah Mawar Dwi Atmaja. Dan jika bahagia memang menjadi mimpinya, maka Arjun Febryan selalu berusaha mengupayakan untuknya. Pertemuan Mawar dan Arjun jauh dari kata romantis. Mawar sebagai mahasiswa semester tua yang sedang bimbingan skripsi dimarahi habis-habisan oleh Arjun selaku komisi disiplin karena salah mengira Mawar sebagai maba yang telat. ...