Malam itu rumah terasa hangat. Tak ada pesta meriah, hanya sekotak kue tart cokelat dan sebuket bunga mawar merah muda di meja makan. Ulang tahun Mamah dirayakan sederhana, seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi justru dalam kesederhanaan itu, kehangatan terasa lebih nyata.
Dira baru pulang dari tempat kerja, ia menyusun sampai meja sudah tertata rapi, lilin kecil menyala di atas kue, dan Sekar duduk di sofa sambil memainkan ujung pita bunga.
"Ma, Tara mana?" tanya Dira sambil melepas tas dari bahunya.
Mamah tersenyum kecil. "Tadi pagi dia pamit keluar, katanya pengin cari udara segar. Tapi, sampai sekarang belum pulang."
"Belum pulang?" Dira menatap jam dinding. Hampir pukul sembilan malam.
Sekar ikut menoleh. "Aku juga belum dikabarin. Dia nggak bilang mau ke mana?"
Mamah menggeleng. "Nggak. Cuma bilang mau keluar, mungkin ke gramedia kali ya."
Dira duduk di kursi makan, menatap lilin yang mulai mencair. Ada kekosongan di dadanya yang sulit dijelaskan. Tara… adiknya itu selalu hadir, bahkan saat ia sedang tidak ingin bicara. Tapi malam ini, ia menghilang. Dan sejujurnya, itu terasa menyakitkan.
***
Hampir pukul sepuluh malam, suara pintu depan akhirnya terdengar. Tara masuk dengan langkah pelan, wajahnya lelah, mata sedikit sembab. Tapi ia tersenyum samar saat melihat Dira duduk di ruang tengah.
"Maaf, aku kelamaan di luar," ucapnya singkat.
"Gak apa-apa," jawab Dira. "Tapi nanti ngobrol ya, sebentar aja."
Tara mengangguk pelan, lalu masuk ke kamar.
***
Sepi merayap perlahan, hujan rintik-rintik mulai menyentuh jendela rumah, menghadirkan lara tanpa aba-aba. Kedua orang tuanya telah lama tertidur pulas, tapi bagi tiga bersaudara itu, memilih untuk sama-sama merenung dalam satu kamar. Mendengarkan hujan yang ritmenya semakin membesar.
Malam hari, di kamar Tara. Ketiga perempuan sedarah itu berkumpul di sana. Lampu kamar temaram. Dira duduk di tepi ranjang, Sekar bersandar di bantal besar. Tara duduk di lantai, memeluk lututnya. Ada keheningan yang lama, tidak cukup canggung. Hanya... belum ada yang berani membuka luka.
Dira menarik napas pelan, lalu berkata, "Tar, kamu kok akhir-akhir ini beda? Aku perhatiin kamu lebih banyak diam dan menyendiri di kamar." Suara Dira pelan, seperti memilih setiap katanya agar tidak menyakiti.
Tara hanya mengangguk samar, tidak menoleh.
Sekar ikut menatap Tara, lalu Dira melanjutkan,
"Kamu masih suka nulis, kan? Tapi kamu makin jarang cerita. Aku dan Sekar… ngerasa kamu makin jauh."
Tara masih diam. Jemarinya menggenggam lengan bajunya sendiri, erat. Sekar akhirnya ikut bersuara.
"Kalo kamu capek… kamu bisa cerita, Kak. Kita di sini, lho."
Sunyi. Lalu suara Tara akhirnya terdengar pelan, rapuh, tapi cukup jelas. "Selama ini… aku tuh ngerasa kayak ruang kosong di tengah-tengah kalian," Tara menatap langit-langit kamar, sambil tersenyum lirih lalu melanjutkan.
"Aku tuh udah terlalu lama sembunyi tanpa suara, tanpa lawanan. Aku bahkan gak bisa protes soal kasih sayang dari Mamah dan Ayah yang terkadang berbeda. Aku tahu diri, aku masih berproses, belum sehabat kamu Kak Dira."
Dira menatapnya, tidak menyela.
"Aku lihat Kak Dira selalu diandalkan, selalu jadi kebanggaan. Sekar selalu dilindungi, disayang, ditanya ini-itu. Sementara aku?"
Tara mengangkat wajahnya sekali lagi. Mata yang biasanya tenang, malam itu berkaca-kaca.
"Aku cuma ada di tengah-tengah kalian. Seolah nggak terlalu penting untuk ditanya, nggak cukup rusak untuk dikhawatirin. Aku cuma bisa peluk diri sendiri, tiap kali ngerasa hilang. Dan, lama-lama aku terbiasa berada di posisi seperti ini."
Sekar menunduk. Dira menggenggam tangan Tara perlahan.
"Dan, kenyataannya kalian cuma mikirin kenapa aku diam. Tapi, gak pernah tuh ada yang tanya, keadaan aku, atau kenapa aku milih untuk lebih banyak diam, kenapa aku gak banyak bicara seperti dulu. Jadi ya... Gini, aku cuma bisa ngalah selama pusat segala khawatir dan perhatian hanya ada untuk kalian."
Dira menatap adik pertamanya dengan sorot penuh rasa bersalah, rasa gagal, rasa tak cukup baik, tak peka akan keberadaan Tara yang menyimpan banyak luka sejak lama. Ia menunduk seperti ragu harus menjawab apa, sampai akhirnya Dira menemukan kalimat yang sekiranya pantas untuk menutupi rasa bersalahnya pada Tara.
"Maafin aku ya.... " Dira berkata lirih. "Aku terlalu sibuk jadi anak pertama sampai lupa, kamu juga perlu tempat buat bersandar."
Sekar meraih tangan Tara yang lain.
"Aku kira kamu selalu kuat, Kak. Ternyata... kamu cuma jago nyimpen semua sendiri, ya?"
Tara tersenyum samar. "Aku nggak mau bikin kalian repot. Tapi capek juga... jadi baik-baik aja terus deh."
Dira menarik Tara ke pelukannya. Sekar ikut mendekap dari sisi lain.
"Mulai sekarang, kalau kamu lelah... jangan peluk diri sendiri lagi," ucap Dira pelan. "Ayah dan Mamah juga sayang kamu kok Tar."
"Dan, kita bisa saling peluk. Kita bisa sama-sama sembuh."
Tara tak menjawab, tapi air matanya jatuh tanpa suara. Ia memejamkan mata, membiarkan kehangatan itu menghapus sebagian beban yang tak pernah ia bagi pada siapa-siapa selama ini.
relate banget, gak berlebihan cerita ini (emot nangis)
Comment on chapter PROLOG