Gedung tiga lantai itu tampak seperti perpaduan antara rumah dan kantor, sebuah bangunan dengan suasana hangat namun tetap profesional. Tara berdiri di depan pintu masuknya, mengatur napasnya sebelum melangkah. Ada semacam aroma bunga samar dari dalam, khas perusahaan parfum yang kini menjadi tempat barunya bekerja.
Ia menunggu instruksi dari HRD, berdiri di dekat sofa ruang tamu, sambil sesekali membagi senyumnya pada para karyawan yang berlalu-lalang. Beberapa membalas dengan anggukan ramah. Tara sempat memperhatikan mereka, semuanya terlihat sibuk, tapi tak tampak tergesa.
Begitu HRD datang, Tara diarahkan tetap berada di lantai satu dan masuk ke ruangan yang akan jadi tempat kerjanya. Di dalam, ada tiga meja lain yang sudah terisi. Tiga orang karyawan menoleh saat ia masuk, lalu menyambutnya dengan ramah.
Tara di minta untuk berkenalan dulu sebelum mengenal mejanya. Ia siapkan senyum seramah mungkin, juga suara lantang, dan berucap. "Halo semuanya, aku Tara Aksara, panggil aku Tara. Salam kenal, di sini aku mengisi posisi admin sales dan akan bergabung bersama kalian. Mohon bantuannya."
Sambutan hangat terpancar, mereka semua berseru membalas sapaan Tara. Lalu satu persatu dari merekapun berkenalan.
"Halo aku Putri, orang-orang kantor panggil aku Puput." sapanya sambil melambaikan tangan.
"Halo aku Nura, aku di sini sebagai customer service."
"Eemm, aku Amel, di sini sebagai admin marketplace," suara yang sepertinya sedikit malu-malu, tapi Tara tetap membalasnya dengan senyuman lebar.
Ia mengangguki satu persatu perkenalan dari rekan seruangannya. Tara lalu dipersilahkan untuk duduk di meja yang sudah disediakan lengkap dengan PC nya. Tara mulai menyortir data penjualan, data stok barang, hingga daftar client. Awalnya ia sempat bingung, apalagi dengan format file yang berbeda dari kebiasaannya, tapi Putri dengan sabar menunjukkan cara mereka biasa mengolahnya.
"Kalau yang ini biasanya kita pakai rumus ini, nah nanti kamu tinggal ikutin aja. Gampang kok."
Tara mengangguk pelan. "Makasih ya, Put."
Hari itu berjalan perlahan. Tara mulai terbiasa, mulai mencocokkan ritme barunya dengan suasana kantor yang hangat namun teratur.
***
Saat jam istirahat tiba, Tara diajak makan bersama oleh teman-teman seruangannya ke warung makan dekat kantor. Mereka memilih meja panjang di pojok ruangan, duduk berjejer sambil membuka bekal masing-masing dan memesan minuman.
Di antara suara sendok yang bergesekan dengan piring dan obrolan ringan, Nura tiba-tiba membuka percakapan.
"Tara, jangan canggung ya kalau sama kita," ucapnya sambil menyendok nasi. "Dibawa santai aja."
Tara mengangguk dan tersenyum kecil. "Iya, Kak."
Nura langsung menoleh cepat, lalu mengerutkan kening pura-pura serius. "Eh, emang kamu kelahiran tahun berapa, Ra? Kok manggil aku kak?"
Tara terkekeh pelan, "Aku 2003."
Mendengar itu, Nura langsung bersorak sambil menunjuk dirinya sendiri. "Ya ampun! Kita seumuran, Ra!"
Putri ikut mengangguk cepat. "Iya, aku juga 2003. Kita semua sama!"
Tawa kecil mengalir dari meja itu. Tara tersenyum lebar, merasa kehangatan baru mulai menyelubungi harinya. Belum apa-apa, ia sudah merasa diterima dan nyaman.
"Oh, kalau Amel?" tanya Tara, melirik gadis pendiam di ujung meja.
Nura yang menjawab cepat. "Amel itu 2004, lebih muda dari kita."
Tara memiringkan kepalanya, sedikit terkejut. "Serius? Kupikir Amel lebih tua dari kita."
Putri ikut terkikik. "Sama, Ra. Tapi emang Amel tuh kelihatannya kalem dan dewasa, padahal dia yang paling muda di sini."
Amel hanya tersenyum simpul sambil melanjutkan makannya, lalu menjawab pelan, "Aku cuma nggak banyak ngomong aja, bukan berarti tua."
Semua tertawa.
Di tengah tawa dan piring-piring yang mulai kosong, Tara merasa hari pertamanya bekerja bukanlah awal yang menakutkan, justru jadi momen yang menyenangkan.
***
Hari-hari berlalu, dan dalam setiap detiknya, Tara mulai merasa tempat itu seperti rumah kedua.
Bukan karena dindingnya yang nyaman, bukan pula karena gajinya yang lumayan. Tapi karena manusia-manusia di dalamnya—yang hadir bukan sekadar rekan kerja, melainkan teman-teman seperjalanan.
Tempat itu riuh oleh gelak tawa, penuh dengan candaan ringan yang kadang dibumbui kecemasan bersama. Tapi justru di sanalah Tara merasa kuat. Meski panik masih kerap bertamu tanpa permisi, Tara tak pernah merasa sendirian.
Ia merasa dipahami, diterima. Seolah ruang itu tahu luka-lukanya, dan menjahitnya perlahan-lahan.
Satu bulan berlalu. Tara kini bukan lagi gadis pendiam di pojokan meja. Ia tertawa lebih lantang, bercerita lebih banyak, dan mengizinkan dirinya merasa nyaman. Ia bahkan sudah terbiasa dengan detak jantung yang berpacu cepat saat harus presentasi hasil rekapnya. Deg-degan, tapi ada semacam kenikmatan kecil yang tumbuh di sela-sela rasa takut itu karena ia tak menjalaninya sendiri.
Hingga suatu hari, ruangan kecil mereka kedatangan dua penghuni baru. Bukan orang asing. Tara mengenal mereka.
Mas Andri, lelaki berwajah tenang yang kerap ia ajak berdiskusi soal laporan customer service, dan Awan, lelaki yang entah kenapa namanya lebih sering disebut oleh Nura dan Putri, padahal Tara jarang benar-benar memperhatikan.
Mereka datang dari lantai tiga, untuk sementara pindah karena renovasi. Suasana ruangan makin semarak. Canda makin sering berseliweran, tawa makin sering bersambut.
Hari itu, mereka semua seolah kompak untuk melanggar aturan kecil: makan siang di ruangan, menyetel film lewat infocus yang mereka pinjam diam-diam dari ruang meeting, karena para atasan sedang tak di kantor.
Film horor dipilih. Entah siapa yang usul, tapi Tara tahu, itu bukan usul dari dirinya. Ia penakut, dan teman-temannya tahu itu.
Baru intro film diputar, Tara sudah menutupi wajah dengan jaket putihnya.
"Tuh si Tara mah gak seru, belum apa-apa udah tutupan!" protes Nura, lalu Putri dan yang lain ikut tertawa.
"Lebih baik gak lihat yang kaget-kaget, daripada kebayang-bayang sampe rumah," jawab Tara pelan, sambil tetap meringkuk di balik jaket.
Putri menepuk-nepuk pundaknya, "Udah Ra, udah… udah gak ada setannya, sumpah."
Tara menarik napas pelan. Dengan enggan, ia menyingkirkan jaket dari wajahnya. Tapi saat ia mengangkat kepala, entah kenapa, ada naluri yang menarik pandangannya ke sisi kanan.
Dan di sana, di balik meja besar, duduklah Awan. Pria itu tengah memperhatikannya. Senyum tipis tergambar di wajahnya, bukan mengejek, bukan juga terang-terangan kagum.
Senyum itu seperti bayangan samar dalam lukisan. Tak bisa ditebak, tapi jelas terasa.
Tara tercekat sejenak. Ada yang tak bisa ia jelaskan. Ia buru-buru mengalihkan pandangan, seolah tak terjadi apa-apa.
Namun, dalam hatinya, sesuatu terpetik pelan.
Ia tak tahu itu apa. Tapi mungkin, hari ini bukan hanya tentang film horor, bukan hanya tentang tawa dan pelanggaran kecil.
Mungkin, ada cerita baru yang diam-diam mulai menulis dirinya sendiri.
"Ihh apaan si!" Tara buru-buru mengusir pikiran itu.
real anak tengah sering terabaikan tanpa ortunya sadarii
Comment on chapter Bagian 4: Sebuah Kabar Baik