Loading...
Logo TinLit
Read Story - Imajinasi si Anak Tengah
MENU
About Us  

07 Oktober 2022

Selama setahun lebih, Tara mengabdi di rumah Bu Sopia, yang menjadi kantor sekaligus tempat sunyi yang diam-diam membentuk dirinya. Setiap harinya ia menulis caption, menjadwalkan unggahan promosi dua cabang resto Cipta Rasa, merangkai kata demi kata agar menarik mata pelanggan yang hanya mengenal rasa lewat layar. Tapi layar itu kadang juga jadi cermin yang memantulkan kesepiannya sendiri.

Seringkali ia sendirian. Hanya ia dan detak jam dinding. Hanya ia dan suara mobil sesekali di jalan depan rumah. Terlalu sering ditinggal, terlalu lama memendam kalut dalam ruang yang begitu hening, hingga pelan-pelan, rasa sesak itu tumbuh jadi ketakutan. Panik yang dulu bisa diredam dengan tawa teman, kini menggelegak sendiri dalam dada.

Tara tahu, ia harus mencintai dirinya sendiri. Dan itu artinya: berani memilih pergi.

Saat surat resign itu sampai di tangan Bu Sopia, suasana mendadak melunak. Hening sejenak, sebelum suara lembut Bu Sopia memecahnya.

"Kenapa kok resign, Ra? Kamu keberatan ya kerjanya ditambah?"

Tara buru-buru menggeleng. "Gak sama sekali, Bu. Aku cuma... dapat yang lebih baik aja. Bukan soal gaji atau posisi. Tapi... tempat yang mungkin bisa bikin aku merasa, gak sendirian."

Bu Sopia menatap Tara sejenak, seolah ingin membaca lebih dalam dari kalimat yang Tara ucapkan. Lalu ia mengangguk kecil. "Aku ngerti, Ra. Aku ngerti kok. Dulu aku juga pernah muda, pernah ngerasa takut sendirian."

Air matanya mulai menggenang. Tara menunduk, menahan rasa sesak yang pelan-pelan mengambang di dadanya. Selama ini, Bu Sopia memang seperti kakak atau bahkan seperti ibu yang sabar dan hangat. Tak pernah memarahi, malah sering membuatkannya teh manis dan pie keju saat hujan turun.

"Oke, Ra. Mungkin aku mau minta maaf juga ya... karena kamu sering ditinggal sendirian di sini. Soalnya ya begitulah, kantor ini masih dibagi-bagi, Mbak Susi dan Pak Yandi juga sering banget harus ke cabang."

Tara menggenggam tangan Bu Sopia yang kini gemetar halus. "Gak apa-apa, Bu. Tara ngerti. Tara malah mau bilang makasih... karena ibu sudah terima Tara, kasih kepercayaan dari awal, meski waktu itu Tara belum punya pengalaman apa-apa."

Air matanya jatuh juga. Ia tak bisa menahan.

"Pokoknya rumah ini jangan cuma kamu anggap kantor ya. Kapan-kapan kalau kamu mau main ke sini, jangan sungkan, Ra."

Tara tersenyum. Senyum yang getir dan penuh sayang. "Pasti, Bu. Tara pasti sempatkan waktu buat ke sini."

Sesuai instruksi dari bu Sopia, selama dua hari di sana Tara merampungkan semua pekerjaannya. File-file ia rapikan, konten yang masih tertunda ia lengkapi, lalu semuanya ia alihkan ke Pak Yandi. Waktu terasa berjalan cepat. Dan tibalah sore hari. Hari terakhir Tara bekerja di Resto Cipta Rasa.

Sore yang hangat, tapi ada hawa sedih yang menggantung di ruang tengah. Di sana, sudah menunggu Pak Yandi, Mbak Susi, dan Bu Sopia. Ketiganya duduk di ruang keluarga yang biasa digunakan untuk meeting kecil. Tara menatap mereka satu per satu, menyimpan bayangan wajah mereka dalam ingatannya yang paling dalam.

Mbak Susi yang pertama membuka suara.

"Ra… cepet banget ya waktu jalan. Kayak baru kemarin kamu nanya-nanya cara bikin caption yang menarik," ujarnya, lalu terkekeh kecil sambil mengelus lengan Tara. "Sekarang kamu udah mau pindah kerja aja."

Tara tersenyum sendu. "Iya, Mbak. Rasanya juga masih kayak kemarin aku pertama kali datang dan bingung semua."

Pak Yandi menyusul. "Saya masih ingat banget pas kamu pertama kali handle jadwal konten, sempat panik karena ada typo di caption promo, hehe."

Tara menutup wajahnya, malu. "Duh, iya Pak, aku ingat banget itu! Bener-bener deg-degan waktu itu."

Pak Yandi tertawa pelan, lalu mengangguk. "Tapi dari situ kamu belajar. Dan jujur aja, saya salut, kamu cepat banget nangkepnya."

"Terima kasih, Pak. Terima kasih udah sabar banget ngebimbing aku…"

Bu Sopia yang sedari tadi diam, akhirnya ikut bicara. Suaranya lembut, matanya berkaca-kaca.

"Kamu tahu nggak, Ra… sejak pertama kali kamu kerja di sini, aku selalu merasa kamu tuh anak yang bisa dipercaya. Meskipun kamu baru lulus, tapi kamu mau belajar, mau berusaha."

Tara menggigit bibir bawahnya. Ia tahu sebentar lagi akan menangis lagi.

"Aku senang kamu mau jujur soal keadaanmu. Dan aku lebih senang lagi karena kamu tahu kapan waktunya berhenti dan jaga diri kamu sendiri." Bu Sopia menggenggam tangan Tara. "Kamu berani, Ra. Itu luar biasa."

Tara tak kuasa lagi. Air matanya jatuh begitu saja. "Tara juga makasih banyak, Bu… Kalau bukan karena Ibu, Tara mungkin belum tentu dapat kesempatan belajar kayak gini."

Suasana ruangan hening sejenak, hanya isak tertahan yang terdengar. Tapi bukan kesedihan yang menggantung, melainkan rasa syukur yang dalam.

"Aku titip satu hal aja ya, Ra…" ucap Bu Sopia sambil menatap Tara. "Jangan lupakan tempat ini. Kalau kamu lagi libur, lagi kangen, mampir ya. Rumah ini akan selalu terbuka buat kamu."

Tara mengangguk sambil menyeka air matanya. "Pasti, Bu. Tara pasti usahakan."

Pak Yandi ikut mengangguk. "Kalau kamu butuh bantuan soal kerjaan, atau sekadar ngobrol, kabarin aja."

"Iya, jangan ilang-ilangan ya. Tetep jaga komunikasi," tambah Mbak Susi.

Sore itu ditutup dengan pelukan satu per satu. Tidak ada pesta perpisahan, tidak ada kue. Hanya doa dan hati yang saling mendoakan dalam diam.

Tara melangkah keluar rumah itu untuk terakhir kalinya sebagai karyawan, tapi ia tahu, tempat itu akan selalu menyimpan jejak kecil perjuangannya. Dan orang-orang di dalamnya akan tetap ia anggap keluarga.

Tara tahu, ini langkah yang berat. Tapi juga langkah yang benar. Ia bukan lari. Ia sedang berani. Berani melangkah untuk cinta yang selama ini mungkin paling ia abaikan: cinta pada dirinya sendiri.

 

                                     ***

 

Langit sudah mulai meremang saat Tara naik ke angkot jurusan yang biasa ia tumpangi pulang. Angin sore menyusup masuk lewat jendela yang terbuka, membawa aroma jalanan yang sibuk dan sedikit debu kota. Ia duduk di pojok belakang, memeluk tas kecilnya erat-erat, sementara pikirannya masih tertinggal di rumah Bu Sopia.

Suara mesin angkot yang menggerung pelan dan sesekali hentakan rem mendadak tak begitu ia pedulikan. Matanya menerawang keluar, mengikuti jejak kendaraan lain di jalanan, sebelum akhirnya ia menunduk, membuka ponselnya.

Sebuah pesan dari email masih tersimpan di kotak masuk, dikirim kemarin sore. Tara membukanya sekali lagi, meski ia sudah membacanya berulang kali sejak pertama kali diterima.

Subjek: Undangan Mulai Bekerja – PT Scentura Group

Tara menatap baris kalimat itu dengan senyum kecil yang mengembang perlahan. Tangannya menggulir isi email.

"Dengan hormat, kami mengundang saudari Tara Aksara untuk mulai bekerja di PT Scentura Group sebagai Admin Sales, pada hari Senin, tanggal 10 Oktober 2022..."

Tara menghela napas pelan. Rasanya masih sulit percaya. Hanya beberapa minggu lalu, ia duduk gelisah di ruang tengah rumah Bu Sopia, meminta izin tanpa bilang bahwa alasannya untuk menghadiri interview. Saat itu ia masih ragu, tidak yakin akan diterima, terlebih melihat banyak pelamar lain yang lebih senior dan lebih percaya diri.

Tapi kini, ia memegang kabar baik itu di tangannya sendiri. Ia diterima.

"Mulai Senin…" gumamnya pelan, seolah ingin meyakinkan diri sendiri.

Wajahnya menoleh ke luar jendela lagi. Jalanan tampak padat, klakson bersahut-sahutan. Tapi di dalam dadanya, ada sesuatu yang terasa lapang. Tara tahu, ia sedang melangkah ke awal yang baru.

Bukan cuma soal pekerjaan baru, tapi ini adalah langkah kecilnya dalam belajar mencintai dan merawat dirinya sendiri. Ia ingin percaya, bahwa semesta sedang mengarahkan hidupnya ke tempat yang lebih baik, tempat yang semoga tak membuatnya merasa sendirian lagi.

Angkot berhenti mendadak di lampu merah, membuat tubuhnya sedikit terpental. Tara tertawa kecil, menegakkan duduknya. Hatinya masih haru, tapi kali ini, ada harapan yang tumbuh pelan-pelan di sela-sela itu.

Hari ini ia mengucapkan selamat tinggal. Dan lusa nanti, ia akan mengucapkan salam perkenalan.

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (17)
  • kyungsoo12

    relate banget, gak berlebihan cerita ini (emot nangis)

    Comment on chapter PROLOG
  • asmira24

    anxiety emang semenakutkan itu ya:)

    Comment on chapter PROLOG
  • asmira24

    suka banget iiiii

    Comment on chapter PROLOG
  • asmira24

    Baru prolog dah menggambarkan anak tengah wkwk

    Comment on chapter PROLOG
  • rakasyanuka

    tos dulu anak tengah

    Comment on chapter PROLOG
  • rakasyanuka

    ceritanya sederhana, konfliknya gak berat, tapi ngena di hati

    Comment on chapter PROLOG
  • kuinchi_

    Seruuu bingitssss, ditunggu chapter selanjutnya ka intannaw😁

    Comment on chapter Bagian 23: Laut Biru Di Atas Sampul
Similar Tags
About Us
2677      1055     2     
Romance
Cinta segitiga diantara mereka...
Sebuah Kisah Tentang Dirinya
1100      628     0     
Romance
Setiap orang pernah jatuh cinta dan mempunya ekspetasi tinggi akan kisah percintaannya. Namun, ini adalah kehidupan, tak selalu berjalan terus seperti yang di mau
Shine a Light
813      531     1     
Short Story
Disinilah aku, ikut tertawa saat dia tertawa, sekalipun tak ada yang perlu ditertawakan. Ikut tersenyum saat dia tersenyum, sekalipun tak ada yang lucu. Disinilah aku mencoba untuk berharap diantara keremangan
Million Stars Belong to You
502      270     2     
Romance
Aku bukan bintang. Aku tidak bisa menyala diantara ribuan bintang yang lainnya. Aku hanyalah pengamatnya. Namun, ada satu bintang yang ingin kumiliki. Renata.
The Investigator : Jiwa yang Kembali
2034      845     5     
Horror
Mencari kebenaran atas semuanya. Juan Albert William sang penyidik senior di umurnya yang masih 23 tahun. Ia harus terbelenggu di sebuah gedung perpustakaan Universitas ternama di kota London. Gadis yang ceria, lugu mulai masuk kesebuah Universitas yang sangat di impikannya. Namun, Profesor Louis sang paman sempat melarangnya untuk masuk Universitas itu. Tapi Rose tetaplah Rose, akhirnya ia d...
Hujan Paling Jujur di Matamu
9003      2058     1     
Romance
Rumah tangga Yudis dan Ratri diguncang prahara. Ternyata Ratri sudah hamil tiga bulan lebih. Padahal usia pernikahan mereka baru satu bulan. Yudis tak mampu berbuat apa-apa, dia takut jika ibunya tahu, penyakit jantungnya kambuh dan akan menjadi masalah. Meski pernikahan itu sebuah perjodohan, Ratri berusaha menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik dan tulus mencintai Yudis. Namun, Yudis...
REMEMBER
4664      1395     3     
Inspirational
Perjuangan seorang gadis SMA bernama Gita, demi mempertahankan sebuah organisasi kepemudaan bentukan kakaknya yang menghilang. Tempat tersebut dulunya sangat berjasa dalam membangun potensi-potensi para pemuda dan pernah membanggakan nama desa. Singkat cerita, seorang remaja lelaki bernama Ferdy, yang dulunya pernah menjadi anak didik tempat tersebut tengah pulang ke kampung halaman untuk cuti...
FORGIVE
2101      744     2     
Fantasy
Farrel hidup dalam kekecewaan pada dirinya. Ia telah kehilangan satu per satu orang yang berharga dalam hidupnya karena keegoisannya di masa lalu. Melalui sebuah harapan yang Farrel tuliskan, ia kembali menyusuri masa lalunya, lima tahun yang lalu, dan kisah pencarian jati diri seorang Farrel pun di mulai.
SECRET IN KYOTO
553      401     6     
Short Story
Musim semi adalah musim yang berbeda dari empat musim lainnya karena selalu ada kesempatan baru bagiku. Kesempatan untuk tumbuh dan mekar kembali bersama dengan kenangan di masa lalu yang kuharap akan diulang kembali.
Lost & Found Club
437      348     2     
Mystery
Walaupun tidak berniat sama sekali, Windi Permata mau tidak mau harus mengumpulkan formulir pendaftaran ekstrakurikuler yang wajib diikuti oleh semua murid SMA Mentari. Di antara banyaknya pilihan, Windi menuliskan nama Klub Lost & Found, satu-satunya klub yang membuatnya penasaran. Namun, di hari pertamanya mengikuti kegiatan, Windi langsung disuguhi oleh kemisteriusan klub dan para senior ya...