Loading...
Logo TinLit
Read Story - Imajinasi si Anak Tengah
MENU
About Us  

April 2022.

Sejak awal tahun 2022, kabar bahagia semakin sering terdengar dari berbagai penjuru negeri.Virus corona telah dinyatakan terkendali. Meski sesekali masih muncul kasus dan beberapa orang belum sepenuhnya pulih, berita-berita itu tak lagi seburuk sebelumnya. Kini, negeri kembali tenang setelah sebelumnya sempat dihantui rasa waswas oleh pandemi yang panjang.

Ketika orang-orang beramai-ramai mulai merayakan kembali pandemi yang berakhir. Tara masih di sini, di tempat sunyi yang ia sebut sebagai kantor. 

Hari itu langit tampak biasa saja. Tara bekerja seperti biasa di rumah Bu Sopia. Tak ada hal mencolok yang terjadi sejak pagi. Bu Sopia tengah bepergian ke luar kota bersama ponakan-ponakannya, Pak Yandi dan Mbak Susi pun pergi ke restoran untuk mengurus bisnis seperti biasa. Dan Tara, seperti yang sudah beberapa kali terjadi sebelumnya, ditinggal sendirian di rumah besar yang sepi itu.

Sebelum berangkat, Bu Sopia sempat berpesan agar Tara mengunci pintu depan. "Jaga-jaga, takutnya ada apa-apa," katanya dengan nada lembut namun tegas. Tara mengangguk dan menurut. Ia mengunci pintu, lalu meletakkan kuncinya di atas meja kerja sebelum kembali duduk dan tenggelam dalam pekerjaan. Sesekali, ia mampir membuka aplikasi menulisnya, mencoba menyambung bab baru cerita Tomorrow yang sedang ia garap.

Tapi kemudian, dalam hitungan detik yang nyaris tak sempat disadari, meja tempat ia bekerja mulai bergerak. Tidak hanya bergerak, tapi bergetar keras. Tara sempat membeku. Lalu baru menyadari, itu gempa.

Bukan getaran kecil. Tanaman gantung di dekat dapur jatuh satu per satu, bunyinya bersahutan dengan detak jantung Tara yang semakin cepat. Ia langsung berdiri, refleks berlari menuju pintu depan. Tapi pintu itu terkunci. Dan Tara, dalam paniknya, tak merasa membawa kunci.

Tubuhnya gemetar. Ia kembali ke meja kerja untuk mencari kunci itu dengan napas tersengal. Tapi hasilnya nihil. Ia tidak menemukannya. Panik membuat pikirannya beku, matanya gelap. Ia kembali ke pintu, lalu terduduk di sana. Menangis sambil bersimpuh, menunduk, memejamkan mata, dan berdoa dalam gumaman-gumaman lirih. Tangisnya pecah. Ia merasa sendirian. Terperangkap. Tak bisa ke mana-mana. Rumah yang besar itu kini hanya terasa sunyi, sepi, dan mencekam.

Gempa berlangsung cukup lama. Tapi akhirnya berhenti juga. Tara, masih sesenggukan, berusaha menenangkan dirinya. Ia kembali lagi ke meja dan di sanalah kunci itu. Ada di sana, sejak tadi. Mungkin karena terlalu panik, ia tak benar-benar melihatnya sebelumnya.

Dengan tubuh lemas dan mata masih basah, Tara duduk kembali. Tangannya mengambil ponsel. Ia membuka media sosial. Dan di sana ramai semua orang yang dikenalnya memposting tentang gempa tadi. Ada yang merekam momen ketika berlari ke lapangan bersama teman-temannya. Ada yang berfoto sambil tersenyum meski ketakutan. Bahkan Kak Dira terlihat sedang turun dari gedung kantornya bersama rekan-rekan kerja, tertawa kecil sambil merekam suasana evakuasi.

Dan Tara, kembali menunduk. Menangis sekali lagi.

Ia merasa, dirinya adalah satu-satunya orang yang merasakan gempa sebesar itu sendirian. Dalam rumah yang terkunci. Dalam sunyi yang mengurung. Dalam ketakutan yang tak bisa dibagi siapa-siapa.

Tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah panggilan video masuk. Dari Pak Yandi.

Tara mengangkatnya.

Pak Yandi langsung bertanya, "Kamu nggak apa-apa, Tara?"

Suara itu menenangkan. Menyentuh lapisan kegelisahan Tara yang terdalam. Mereka pun mengobrol. Pak Yandi menceritakan hal-hal lucu, mencoba mengalihkan rasa takut Tara. Dan meski tidak sepenuhnya hilang, setidaknya Tara tahu: ada satu orang yang mengingat bahwa ia sedang sendirian hari ini.

Dan itu cukup.

 

                                    ***

 

Sejak hari itu, sesuatu dalam diri Tara terasa berubah. Bukan hanya karena gempanya, bukan hanya karena ia terkunci sendirian di rumah besar, tapi karena rasa itu adalah rasa yang begitu nyata, bahwa di tengah dunia yang ramai, ia bisa benar-benar merasa sendirian.

Malam-malam setelahnya, Tara jadi lebih sering terjaga. Tidurnya pendek, pikirannya panjang. Kadang ia mengingat ulang kejadian hari itu, kadang ia hanya menatap langit-langit kamar dan bertanya dalam hati, "Kalau nanti terjadi lagi, siapa yang akan datang lebih dulu?"

Namun, dari sisa-sisa ketakutan yang masih menggantung itu, Tara belajar satu hal: ia tak ingin hanya menunggu untuk ditemani. Ia ingin menjadi seseorang yang bisa mengisi ruang-ruang kosong dalam dirinya sendiri. Dan satu-satunya cara yang ia tahu: menulis.

Tara kembali membuka Tomorrow. Ia melihat jumlah views-nya kini sudah menyentuh angka 30 ribu. Komentar-komentar bermunculan, dari orang-orang asing yang merasakan kisahnya, mendukung tokohnya, bahkan menuliskan, "Cerita ini kayak ngena banget di hati."

Dan untuk pertama kalinya setelah hari yang berat itu, Tara tersenyum.

"Kalau aku bisa buat orang lain merasa tidak sendirian lewat tulisanku," gumamnya lirih, "berarti aku juga bisa selamatkan diriku sendiri."

Ia menatap layar laptop. Tangannya mulai bergerak. Mengetik satu kalimat, lalu satu paragraf, lalu satu bab baru.

Tara belum sepenuhnya baik-baik saja.

Tapi ia tahu, ada ruang di dunia ini yang bisa ia bangun sendiri—dengan kata-kata.

                                    ***

Juni 2022

Tara baru saja pulang kerja ketika adzan magrib selesai berkumandang. Tubuhnya lelah tapi pikirannya masih terjaga. Di kamar, ia berbaring santai sambil menggulir layar ponsel, ditemani kakaknya, Dira, dan adiknya, Sekar. Tidak ada yang aneh, tidak ada yang berbeda. Hanya video-video singkat di FYP TikTok yang berlalu begitu saja, sampai satu video membahas tentang kesepian muncul tiba-tiba dan entah mengapa, sesuatu di dalam dirinya retak tanpa aba-aba.

Deg.

Jantungnya seolah menghantam dinding dadanya sendiri. Badannya tiba-tiba lemas, telinganya berdenging panjang, dan dunia mendadak terasa terlalu sempit untuk bernapas.

"Kak, kak... ih aku kenapa?" suara Tara terdengar lirih, penuh ketakutan.

Dira menoleh cepat, tapi belum tampak panik. "Kenapa apanya?"

Tara tak menjawab. Ia hanya bangkit, langkahnya goyah menuju dispenser. Dua gelas air diteguk buru-buru, namun rasa takut itu tak juga surut. Malah makin mencekam. Matanya mulai panas, lalu air mata jatuh begitu saja. Ia melangkah keluar kamar, suara tangisnya pecah saat memanggil satu nama.

"Mamah..."

Di ruang tengah, Mamah tengah bercakap dengan Ayah yang duduk di depan kanvas setengah jadi. Namun semuanya berhenti saat Tara datang tergugu, wajahnya basah, tubuhnya gemetar.

"Kamu kenapa?" Mamah berdiri cepat.

Tara hanya menggeleng sambil terisak. Suaranya terputus-putus.

"Mamah... aku takut."

Mamah mendekat, panik mulai merayap di wajahnya. "Takut kenapa? Ada apa, Tara?"

"Aku nggak tahu... aku cuma takut..."

Dira dan Sekar buru-buru menghampiri. Rumah yang tadi tenang mendadak gaduh oleh satu ledakan emosi yang tak bisa dijelaskan. Semua bingung. Semua cemas.

"Pusing... mual... lemes," Tara mencoba menjelaskan, namun kalimatnya nyaris tak utuh.

Mamah menggenggam tangan Tara dan terkejut.

"Tangan kamu dingin banget, Ra..."

Rasa takut itu terus membengkak. Tara meraih tangan Mamah dan menaruhnya di dadanya sendiri, berharap seseorang bisa mengerti apa yang ia rasakan di sana—detak jantung yang memburu, seolah ada sesuatu yang akan meledak.

Mamah sontak menatap Ayah. "Yah, bawa ke klinik, yuk. Aku juga jadi ikut takut."

Satu keluarga semakin panik dibuatnya. Ayah sempat bengong di tempatnya, tapi suara panik mamah kembali menyadarkan. Ayah menyiapkan motor, begitupun Kak Dira. Kami berangkat ke klinik 24 jam terdekat dengan dua motor, dimana Tara dibonceng kak Dira saat itu.

Sesampainya di klinik 24 jam, tangis Tara belum berhenti. Ia bahkan tak sanggup duduk jauh dari Mamah. Setiap genggaman yang dilepas, rasa takutnya kembali memuncak. Ketika akhirnya dokter memeriksanya, raut heran terpancar jelas.

Detak jantung cepat. Tekanan darah tinggi. Mata sayu. Namun gejalanya... tak khas untuk penyakit fisik.

"Bawa ke IGD aja ya, Pak, Bu," ucap sang dokter. Ia kelihatan tidak berani dalam memberi penanganan lebih jauh.

Mamah dan Ayah melongo. Dada mereka ikut sesak melihat putri mereka yang biasanya ceria kini begitu rapuh. Masih dengan dua motor, mereka bergegas menuju rumah sakit.

Di IGD, Tara masih menggenggam tangan Mamah erat-erat. Ketika ditanya oleh dokter tentang apa yang ia rasa, Tara hanya bisa berkata:

"Aku... gak tahu. Tapi rasanya aneh... dan aku takut..."

Akhirnya, dokter memutuskan memberikan suntikan penenang. Tara sempat gentar, tapi suara Mamah menenangkannya. Jarum menyentuh kulit, dan perlahan, rasa takut itu memudar. Tidak hilang sepenuhnya, tapi cukup reda untuk bernapas kembali.

 

                                    ***

Di sisi lain ruangan, Ayah duduk dengan dokter.

"Tara bukan sakit Pak," kata Dokter malam itu, "Dia kena serangan panik."

Ayah hanya mengangguk, meski dalam dirinya ada rasa tak percaya, karena sebelumnya Tara terlihat baik-baik saja.

"Kalau boleh tahu ada kejadian apa sampai anaknya bisa begitu?" tanya Dokter.

Ayah menatap kosong, selama pikirannya membayangkan bagaimana Tara sejak tadi datang ke rumah. "Tadi pagi dia berangkat kerja dan pulang seperti biasa, masih biasa aja, ketawa-ketawa juga."

Dokter tampak tidak mau melanjutkan, ia hanya memberikan Ayah resep yang nantinya perlu di ambil di bagian farmasi. 

"Saya bakal kasih obat penenang, takut kalau nanti paniknya bakal datang lagi. Tapi saran dari saya, kalau bisa minum obat ini jangan keseringan, khawatir akan ada ketergantungan." 

Ayah mengangguk mengerti, setelah berterimakasih kepada Dokter itu, ia berlari menuju bagian farmasi untuk mengambil obat, sama seperti dokter tadi si apoteker itu juga berkata bahwa lebih baik obatnya jangan keseringan diminum, karena khawatir akan ketergantungan nantinya. 

Malam itu ketika Ayah dengan tiga anggota keluarga lainnya pulang dari rumah sakit. Pikirannya melayang, sebagian membayangkan sikap tenangnya Tara selama ini, tak ada cerita sedih, tak ada keluhan yang membuktikan bahwa ia tak baik-baik saja, anak itu hanya menjalani hidupnya dengan tenang. Tapi kejadian malam ini mampu membuat Ayah paham, bahwa mungkin Tara menyembunyikan sesuatu yang kita semua tak tahu. 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (17)
  • kyungsoo12

    relate banget, gak berlebihan cerita ini (emot nangis)

    Comment on chapter PROLOG
  • asmira24

    anxiety emang semenakutkan itu ya:)

    Comment on chapter PROLOG
  • asmira24

    suka banget iiiii

    Comment on chapter PROLOG
  • asmira24

    Baru prolog dah menggambarkan anak tengah wkwk

    Comment on chapter PROLOG
  • rakasyanuka

    tos dulu anak tengah

    Comment on chapter PROLOG
  • rakasyanuka

    ceritanya sederhana, konfliknya gak berat, tapi ngena di hati

    Comment on chapter PROLOG
  • kuinchi_

    Seruuu bingitssss, ditunggu chapter selanjutnya ka intannaw😁

    Comment on chapter Bagian 23: Laut Biru Di Atas Sampul
Similar Tags
Because I Love You
1388      769     2     
Romance
The Ocean Cafe napak ramai seperti biasanya. Tempat itu selalu dijadikan tongkrongan oleh para muda mudi untuk melepas lelah atau bahkan untuk menghabiskan waktu bersama sang kekasih. Termasuk pasangan yang sudah duduk saling berhadapan selama lima belas menit disana, namun tak satupun membuka suara. Hingga kemudian seorang lelaki dari pasangan itu memulai pembicaraan sepuluh menit kemudian. "K...
Eagle Dust
398      290     0     
Action
Saat usiaku tujuh tahun, aku kehilangan penglihatan karena ulah dua pria yang memperkosa mom. Di usia sebelas tahun, aku kehilangan mom yang hingga sekarang tak kuketahui sebabnya mengapa. Sejak itu, seorang pria berwibawa yang kupanggil Tn. Van Yallen datang dan membantuku menemukan kekuatan yang membuat tiga panca inderaku menajam melebihi batas normal. Aku Eleanor Pohl atau yang sering mereka...
Musyaffa
144      126     0     
Romance
Ya, nama pemuda itu bernama Argya Musyaffa. Semenjak kecil, ia memiliki cita-cita ingin menjadi seorang manga artist profesional dan ingin mewujudkannya walau profesi yang ditekuninya itu terbilang sangat susah, terbilang dari kata cukup. Ia bekerja paruh waktu menjadi penjaga warnet di sebuah warnet di kotanya. Acap kali diejek oleh keluarganya sendiri namun diam-diam mencoba melamar pekerjaan s...
Senja di Balik Jendela Berembun
24      24     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
Serpihan Hati
11533      1933     11     
Romance
"Jika cinta tidak ada yang tahu kapan datangnya, apa cinta juga tahu kapan ia harus pergi?" Aku tidak pernah memulainya, namun mengapa aku seolah tidak bisa mengakhirinya. Sekuat tenaga aku berusaha untuk melenyapkan tentangnya tapi tidak kunjung hialng dari memoriku. Sampai aku tersadar jika aku hanya membuang waktu, karena cinta dan cita yang menjadi penyesalan terindah dan keba...
The Maiden from Doomsday
10756      2408     600     
Fantasy
Hal yang seorang buruh kasar mendapati pesawat kertas yang terus mengikutinya. Setiap kali ia mengambil pesawat kertas itu isinya selalu sama. Sebuah tulisan entah dari siapa yang berisi kata-kata rindu padanya. Ia yakin itu hanya keisengan orang. Sampai ia menemukan tulisan tetangganya yang persis dengan yang ada di surat. Tetangganya, Milly, malah menyalahkan dirinya yang mengirimi surat cin...
Our Son
549      300     2     
Short Story
Oliver atau sekarang sedang berusaha menjadi Olivia, harus dipertemukan dengan temanmasa kecilnya, Samantha. "Tolong aku, Oliver. Tolong aku temukan Vernon." "Kenapa?" "Karena dia anak kita." Anak dari donor spermanya kala itu. Pic Source: https://unsplash.com/@kj2018 Edited with Photoshop CS2
Farewell Melody
274      188     2     
Romance
Kisah Ini bukan tentang menemukan ataupun ditemukan. Melainkan tentang kehilangan dan perpisahan paling menyakitkan. Berjalan di ambang kehancuran, tanpa sandaran dan juga panutan. Untuk yang tidak sanggup mengalami kepatahan yang menyedihkan, maka aku sarankan untuk pergi dan tinggalkan. Tapi bagi para pemilik hati yang penuh persiapan untuk bertahan, maka selamat datang di roller coaster kehidu...
CHERRY & BAKERY (PART 1)
4301      1157     2     
Romance
Vella Amerta—pindah ke Jakarta sebagai siswi SMA 45. Tanpa ia duga kehidupannya menjadi rumit sejak awal semester di tahun keduanya. Setiap hari dia harus bertemu dengan Yoshinaga Febriyan alias Aga. Tidak disangka, cowok cuek yang juga saingan abadinya sejak jaman SMP itu justru menjadi tetangga barunya. Kehidupan Vella semakin kompleks saat Indra mengajaknya untuk mengikuti les membuat cu...
Kompilasi Frustasi
4309      1275     3     
Inspirational
Sebuah kompilasi frustasi.