"Kalau bukan aku yang mendengarkan diriku sendiri, lalu siapa?"
Seorang perempuan duduk diam di kursi kayu yang menghadap ke jendela kamar. Hujan baru saja berhenti, meninggalkan aroma tanah basah dan embun tipis di kaca. Jemarinya bergerak perlahan, membuka halaman buku bersampul cokelat lusuh yang sudah sering ia tulisi. Cahaya sore menyelinap masuk lewat tirai yang sedikit terbuka, menyentuh pipinya yang teduh. Di hadapannya, dunia terasa tenang. Tapi di dalam dirinya, ada ribuan kata yang belum sempat diucapkan. Ia mengambil pena, dan mulai menulis.
"Menjadi anak tengah, rasanya seperti berdiri di tengah lorong yang panjang.
Di depan... ada yang berjalan lebih cepat, menuntun langkah dengan percaya diri.
Di belakang... ada yang lebih ceria, lebih sering dipuji, dan tak pernah lupa membuat semua tertawa.
Lalu aku, Tara, hanya diam di tengah lorong itu.
Tidak terlalu bersinar untuk dilihat, tapi juga tidak cukup redup untuk dicari.
Aku duduk di tengah keramaian, tapi sepi tetap terasa dekat.
Kadang, aku bertanya:
Apakah aku terlalu diam?
Atau memang suara hati anak tengah tidak pernah cukup keras untuk didengar?
Jadi, aku menulis.
Karena di dunia imajinasiku, aku bisa menjadi siapa saja.
Didengar. Diperhatikan. Diingat.
Dan mungkin... dicintai."
real anak tengah sering terabaikan tanpa ortunya sadarii
Comment on chapter Bagian 4: Sebuah Kabar Baik