Loading...
Logo TinLit
Read Story - Imajinasi si Anak Tengah
MENU
About Us  

Di hari senin pagi, Tara membuka harinya dengan senyum tulus dan semangat yang menyala. Matahari pagi tampak lebih bersinar seakan turut merayakan kebahagiaannya. Burung-burung berkicau lembut di atap rumah, dan aroma sarapan yang dimasak langsung oleh tangan Mamah membuat hatinya hangat. Hari ini, dunia seolah menyambut langkah pertamanya sebagai seorang pekerja.

Di meja makan, Tara meniup perlahan nasi goreng yang masih mengepul. Di seberangnya, Mamah duduk sambil menatap anak gadisnya dengan senyum yang nyaris tak bisa ditahan.

"Nanti berangkat jam berapa?" tanya Mamah sambil menyendokkan telur orak-arik ke piring Tara.

"Masuknya jam sembilan, jadi aku berangkat setengah sembilan aja, biar sampai lebih awal," jawab Tara sembari menyeruput teh manis hangat yang mengepul di gelasnya.

Mamah mengangguk, lalu menepuk tangan Tara lembut. "Kerja yang baik ya, Ra. Jaga sikap, jangan sungkan bertanya, dan jangan lupa makan siang."

Tara mengangguk pelan. Ada semburat haru di matanya, tapi ia cepat-cepat menunduk, pura-pura sibuk merapikan serbet di pangkuannya.

Saat bersiap, degup jantungnya tak kunjung tenang. Namun di balik gugup yang mendera, ada rasa baru yang perlahan tumbuh bersama sebuah harapan. Persis seperti judul cerita yang diam-diam sedang ia tulis: Tomorrow.

Tepat pukul setengah sembilan, Tara melangkah keluar rumah dengan sepatu yang telah disemir rapi dan hati yang berdetak cepat. Jalanan pagi itu tidak terlalu ramai. Angin mengibaskan ujung rambut panjangnya, dan cahaya matahari terasa lebih hangat dari biasanya. Ia naik angkot dengan perasaan campur aduk, antara gugup, senang, dan cemas akan hal-hal yang belum ia tahu.

Di depan restoran Cipta Rasa, Tara menarik napas dalam. Ia berdiri sejenak, menatap logo restoran yang kemarin hanya sempat ia lihat sekilas. Kini, ia berdiri di hadapannya. Bukan sebagai tamu, melainkan bagian dari tim.

Langkah pertamanya terasa berat, tapi ia tahu: ini bukan sekadar hari pertama kerja. Ini adalah awal dari sebuah perjalanan panjang... menuju masa depan dan mimpi-mimpi yang belum selesai.

 

                                   ***

 

Setibanya di restoran, Tara langsung disambut hangat oleh para karyawan. Wajah-wajah baru menyapanya dengan ramah, termasuk beberapa dari tim back office. Meskipun ini kali pertama Tara resmi menginjakkan kaki sebagai pegawai, suasananya terasa bersahabat.

Ia diperkenalkan pada Pak Didi, lelaki bersahaja yang dua hari lalu menghubunginya lewat telepon. Pribadinya hangat dan penuh canda, membuat Tara cepat merasa nyaman.

Kemudian ada Bu Cici, wanita elegan yang bertanggung jawab di bagian keuangan. Aura dewasa dan keibuan dari Bu Cici membuat Tara merasa seperti sedang berbincang dengan tante yang sudah lama ia kenal. Mereka sempat berbincang ringan, menyentuh topik pekerjaan hingga percikan kehidupan pribadi.

Tara juga cepat akrab dengan Pak Yandi, orang di balik desain grafis dan editing foto resto. Percakapan mereka mengalir begitu saja, bukan hanya karena Tara lulusan Multimedia, tapi juga karena keduanya berbagi ketertarikan pada dunia visual. Aplikasi desain, gaya estetik, hingga tren warna terbaru menjadi topik hangat pagi itu.

Sebagian besar karyawan rupanya berasal dari Indonesia juga. Tara sempat mengira mayoritas pegawai adalah orang Arab, pikiran random yang ternyata salah. Setidaknya, hal itu membuatnya lebih nyaman. Kecuali satu, sosok pria asing yang baru saja masuk.

Pria bertubuh kekar, tinggi, berwajah khas Timur Tengah. Baru melihat sekilas saja, jantung Tara berdegup lebih cepat. Entah karena perawakannya, atau karena jarak pandang mereka yang terlalu dekat. Ia menegang. Napasnya menyesak.

Pria itu duduk di meja, disambut hangat oleh yang lain. Dan ketika tatapan mereka bertemu, tubuh Tara seakan terpaku. Tatapan pria itu terasa tajam, menembus.

"Ohh, ini yang diceritain Sopia ya?" ucap pria itu, menatap Tara dengan sorot menilai.

Tara hanya bisa nyengir kaku sambil mengangguk. Dadanya makin sesak.

"Iya, Kak. Bener," sahut Bu Sopia, lalu menoleh pada Tara. "Oh iya, Tara, kenalin. Ini Pak Kamil, pemilik resto kita."

Tara segera menunduk sopan. "Saya Tara, Pak."

Pak Kamil mengangguk, masih memandang Tara seperti sedang menimbang sesuatu. Tatapan yang bagi Tara terasa seperti ujian tak terlihat.

"Jadi hari ini kenalan dulu aja, Ra," ujar Bu Sopia, mencairkan suasana. "Biar kamu tahu siapa aja yang kerja di sini."

Tara mengangguk. Diam, tapi menyimak.

"Tapi nanti kamu nggak kerja di resto ini kok," lanjut Bu Sopia santai. "Kamu bakal kerja di rumah aku."

Tara tertegun. "Di rumah?"

"Iya," sahut Bu Sopia sambil tersenyum. "Rumahku dijadiin office kecil-kecilan. Kamu bakal kerja bareng Pak Yandi juga di sana. Dan ada satu orang lagi, namanya Mbak Susi, dia bagian rekap data."

Tara mengangguk pelan. Kepalanya mulai memproses perubahan rencana itu.

Sesaat pikirannya melayang. Ia mencoba mencerna, tapi tak ingin tenggelam dalam kebingungan. Di mana pun ia ditempatkan, yang terpenting saat ini adalah ia telah diterima. Tadi pagi ia juga sempat membaca kontraknya, gaji pokok yang mungkin tak besar, namun cukup untuk bertahan hidup sederhana di ibu kota.

Ia menarik napas dalam dan membatin sekali lagi, ini sudah lebih dari cukup.

Setelah sekian lama menganggur, kini ia punya tempat untuk tumbuh, belajar, dan bertahan. Yang paling penting: Ini adalah awal. Awal baru dalam hidupnya.

 

                                     ***

 

Pagi berikutnya, langit Jakarta tampak pucat, seakan menyimpan mendung yang belum turun. Tara berdiri di depan gerbang rumah besar berwarna krem muda. Halaman depannya telah disulap menjadi area parkir kecil. Rumah ini bukan rumah biasa, dari luar saja terasa bahwa tempat ini lebih dari sekadar tempat tinggal. Inilah yang dimaksud Bu Sopia: rumah office kecil-kecilan.

Dengan napas pelan, Tara menekan bel. Degup jantungnya kembali tak beraturan. Bukan karena takut, tapi karena rasa asing yang kembali datang. Rasa yang selalu menyelinap di setiap permulaan. Ia mengenal rasa ini: seperti berdiri di tengah ruang kosong, mencoba mencari pijakan.

Pintu terbuka. Seorang wanita muncul, wajah yang dikenalnya dari foto di ponsel Bu Sopia kemarin. Mbak Susi.

"Oh, Tara ya? Masuk aja. Pak Yandi juga udah di dalam," ucapnya ramah.

Tara mengangguk kecil. Suaranya nyaris tak terdengar saat menyapa, "Pagi, Mbak."

Ruang tamu rumah itu telah diubah menjadi ruang kerja terbuka. Ada dua meja besar menghadap tembok, satu meja kecil di tengah, dan rak-rak penuh berkas serta perlengkapan desain. Tara melihat Pak Yandi tengah menyalakan laptopnya.

"Eh, pagi, Tara. Duduk aja dulu. Tuh, mejamu di sebelahku," sapa Pak Yandi sambil tersenyum.

"Pagi, Pak," sahut Tara pelan.

Ia menarik kursi, duduk perlahan, dan membuka tasnya. Sebuah laptop telah disiapkan di atas meja, lengkap dengan mouse. Tangannya sedikit gemetar saat membuka laptop dan mencolokkan charger. Ia mencoba menenangkan degup jantung yang kembali tidak stabil.

"Tenang, Ra... Ini cuma kerja. Cuma ruang baru. Cuma orang baru. Kamu pernah jauh lebih takut dari ini. Tapi kamu masih bisa bertahan," bisik hatinya.

Pak Yandi memulai penjelasan. Ia menunjukkan proyek-proyek desain yang sudah pernah dibuat untuk kebutuhan promosi resto. Ia juga menjelaskan alur kerja di sini, desain menu mingguan, materi promosi digital, hingga editing foto produk makanan.

Tara mendengarkan dengan saksama. Sesekali ia mengangguk, mencatat, dan menatap layar. Namun pikirannya seperti terbagi dua, antara menyerap informasi, dan menenangkan pikirannya sendiri.

"Gak apa-apa kalau kamu belum bisa cepat. Gak apa-apa kalau kamu masih takut. Yang penting kamu datang. Yang penting kamu mencoba."

Obrolan terus mengalir. Tara mulai membuka Adobe Illustrator di laptop, mencoba menjelajah materi visual yang tadi ditunjukkan. Perlahan, tubuhnya mulai beradaptasi. Suasana rumah jauh lebih tenang dibanding restoran. Bahkan, Tara bisa mendengar suara detik jam dinding berdetak jelas.

Mbak Susi sesekali menyela dengan pertanyaan ringan.

"Tara lulusan mana, sih?"

"Multimedia, Mbak… dari SMK Pelita Bangsa," jawab Tara.

"Wah pantesan langsung nyambung ama Pak Yandi ya," candanya.

Tara tersenyum, mencoba ikut tertawa meskipun hatinya masih sedikit ragu dan ketika canggung kembali menghampiri mereka, ia membuka pertanyaan dengan nada kaku.

"Ngomong-ngomong, Bu Sopia nya kemana ya? Ini rumahnya tapi, aku gak lihat dia dari tadi." 

Pak Yandi fokus pada projek designnya, sehingga Mbak Susi lah yang menjawab setelah sempat menghentikan jarinya dari gerakan di atas keyboard. 

"Lagi keluar tadi, kebetulan lagi ada ponakan-ponakannya. Bu Sopia memang jarang di rumah, kita pun sebenarnya lebih sering cek ke resto Ra. Cuma karena ini hari pertama kamu masuk, jadi kita temani kamu deh," diakhiri tawa kecil. 

Lagi, Tara hanya bisa mengangguk tanpa kembali menimpali. 

Menjelang siang, Tara mengintip jam di pojok layar laptop-nya. Ternyata waktu berlalu lebih cepat dari yang ia kira. Ia bersyukur tidak begitu kaku hari ini. Dan yang Tara tahu, kini ada dirinya tengah duduk di depan layar, berusaha, dan diam-diam membangun versi dirinya yang lebih kuat.

 

Mungkin hari ini bukan hari terbaik. Tapi bukan juga hari terburuk. Aku datang, aku duduk, aku bertahan. Dan itu sudah cukup baik untuk hari kedua.

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (17)
  • yuliaa07

    real anak tengah sering terabaikan tanpa ortunya sadarii

    Comment on chapter Bagian 4: Sebuah Kabar Baik
  • pradiftaaw

    part damai tapi terjleb ke hati

    Comment on chapter Bagian 18: Teman yang Bernama Cemas
  • langitkelabu

    tidak terang tapi juga tidak redup:)

    Comment on chapter PROLOG
  • jinggadaraa

    gak cuman diceritain capeknya anak tengah ya, tapi juga ada selip2an anak sulung dan bungsunya:) the best cerita ini adil

    Comment on chapter Bagian 10: Tentang si Sulung yang Selalu Diandalkan dan Tentang Anxiety Disorder
  • rolandoadrijaya

    makasih Tara sudah kuat, makasih juga aku

    Comment on chapter Bagian 10: Tentang si Sulung yang Selalu Diandalkan dan Tentang Anxiety Disorder
  • rolandoadrijaya

    gimana gak ngalamin trauma digunjang gempa sendirian:('(

    Comment on chapter Bagian 10: Tentang si Sulung yang Selalu Diandalkan dan Tentang Anxiety Disorder
  • rayanaaa

    seruu banget

    Comment on chapter EPILOG
  • rayanaaa

    Oke, jadi Tara itu nulis kisahnya sendiri ya huhuu

    Comment on chapter EPILOG
  • auroramine

    ENDING YANG SANGAT MEMUASKAN DAN KEREN

    Comment on chapter EPILOG
  • jisungaa0

    nangis banget scene inii

    Comment on chapter Bagian 30: Renungan
Similar Tags
The Emergency Marriage Secret
130      40     0     
Romance
Raina tidak pernah berpikir bahwa hidupnya akan berubah drastis hanya karena satu permintaan terakhir dari sang Ayah. Permintaan yang sederhana namun berat, menikah. Calon suaminya adalah seorang dokter muda, anak dari sahabat lama Ayahnya. Raina tidak mencintai pria itu, bahkan nyaris tak mengenalnya. Tapi demi Ayah yang terbaring sakit dengan riwayat jantung melemah, Raina mengiyakan. ...
Balada Valentine Dua Kepala
310      196     0     
Short Story
Di malam yang penuh cinta itu kepala - kepala sibuk bertemu. Asik mendengar, menatap, mencium, mengecap, dan merasa. Sedang di dua kamar remang, dua kepala berusaha menerima alasan dunia yang tak mengizinkan mereka bersama.
Paint of Pain
1080      732     33     
Inspirational
Vincia ingin fokus menyelesaikan lukisan untuk tugas akhir. Namun, seorang lelaki misterius muncul dan membuat dunianya terjungkir. Ikuti perjalanan Vincia menemukan dirinya sendiri dalam rahasia yang terpendam dalam takdir.
Dunia Sasha
6617      2212     1     
Romance
Fase baru kehidupan dimulai ketika Raisa Kamila sepenuhnya lepas dari seragam putih abu-abu di usianya yang ke-17 tahun. Fase baru mempertemukannya pada sosok Aran Dinata, Cinta Pertama yang manis dan Keisha Amanda Westring, gadis hedonisme pengidap gangguan kepribadian antisosial yang kerap kali berniat menghancurkan hidupnya. Takdir tak pernah salah menempatkan pemerannya. Ketiganya memiliki ...
Sweetest Thing
2277      1136     0     
Romance
Adinda Anandari Hanindito "Dinda, kamu seperti es krim. Manis tapi dingin" R-
The Presidents Savior
9764      2140     16     
Action
Semua remaja berbahaya! Namun bahaya yang sering mereka hadapi berputar di masalah membuat onar di sekolah, masuk perkumpulan tidak jelas yang sok keren atau berkelahi dengan sesama remaja lainnya demi merebutkan cinta monyet. Bahaya yang Diana hadapi tentu berbeda karena ia bukan sembarang remaja. Karena ia adalah putri tunggal presiden dan Diana akan menjaga nama baik ayahnya, meskipun seten...
Kaca yang Berdebu
112      92     1     
Inspirational
Reiji terlalu sibuk menyenangkan semua orang, sampai lupa caranya menjadi diri sendiri. Dirinya perlahan memudar, seperti bayangan samar di kaca berdebu; tak pernah benar-benar terlihat, tertutup lapisan harapan orang lain dan ketakutannya sendiri. Hingga suatu hari, seseorang datang, tak seperti siapa pun yang pernah ia temui. Meera, dengan segala ketidaksempurnaannya, berjalan tegak. Ia ta...
Pisah Temu
1057      566     1     
Romance
Jangan biarkan masalah membawa mu pergi.. Pulanglah.. Temu
DEUCE
679      384     0     
Short Story
\"Cinta dan rasa sakit itu saling mengikuti,\" itu adalah kutipan kalimat yang selalu kuingat dari sebuah novel best seller yang pernah kubaca. Dan benar adanya jika kebahagiaan dan kesakitan itu berjalan selaras sesuai dengan porsinya..
One-Week Lover
1898      960     0     
Romance
Walter Hoffman, mahasiswa yang kebosanan saat liburan kuliahnya, mendapati dirinya mengasuh seorang gadis yang entah dari mana saja muncul dan menduduki dirinya. Yang ia tak tahu, adalah fakta bahwa gadis itu bukan manusia, melainkan iblis yang terlempar dari dunia lain setelah bertarung sengit melawan pahlawan dunia lain. Morrigan, gadis bertinggi badan anak SD dengan gigi taring yang lucu, meng...