Loading...
Logo TinLit
Read Story - The First 6, 810 Day
MENU
About Us  

Pagi menyambutku. Aku tahu ini bukanlah pagi yang mudah, apalagi setelah semalam mengingat kembali potongan masa lalu yang lama terkubur. Rasanya berat untuk berdamai dengan kenyataan hari ini. Ada pergolakan dalam batin yang sulit kutenangkan. Namun, waktu tidak menunggu. Detik terus berjalan dan aku harus bersiap untuk sekolah.

Ayah sudah duduk di meja makan dengan sarapan yang telah tertata rapi. Seperti biasa, ia sibuk dengan dunianya sendiri. Atau mungkin... dia hanya bingung bagaimana caranya menjangkau anaknya ini. Selama ini aku jarang—bahkan hampir tak pernah—berusaha memahami perasaannya. Betapa berat menjadi orang tua dari anak satu-satunya yang keras kepala, ambisius, dan terlalu asyik dengan dunia sendiri.

Aku duduk, mencoba menelan keheningan di antara kami.

"Yah..." panggilku perlahan, nyaris seperti bisikan. Kata-kataku menggantung di udara.

Ia menoleh, menatapku dengan lembut. "Iya, kenapa?"

Aku menunduk. "Aku belum menjawab telepon Ibu akhir-akhir ini. Apa Ibu menelepon Ayah?"

Ayah mengangguk pelan. "Dia menanyakanmu."

Aku menggigit bibir, lalu menarik napas dalam. "Maaf..." suaraku nyaris hilang, namun cukup terdengar. Ada semburat perasaan bersalah yang tiba-tiba menyergapku.

Ayah hanya tersenyum kecil, hangat dan tenang. "Ibu pasti mengerti. Makanlah. Bus Ayah sebentar lagi datang."

Ia berdiri, menutup bindernya, lalu menepuk kepalaku pelan dengan lembut, seolah menghapus sedikit beban yang kutanggung pagi ini. Dalam diam itu, ada kehadiran yang menenangkan. Mungkin kami belum sempurna, tapi setidaknya kami sedang belajar untuk saling mendekat lagi.

Setelah Ayah pergi, aku sempat termenung di ruang makan. Ruangan putih ini mengingatkanku pada kamar rawat inap di masa lalu. Aroma samar obat-obatan seolah menyusup ke hidung—padahal itu hanya ingatan. Aku memejamkan mata.

"Bangunlah..."

Suara itu. Bisikan yang entah berasal dari siapa, tapi kerap hadir di saat aku mulai terjebak dalam kesedihan. Suara yang bukan sekadar gema, tapi pengingat. Aku membuka mata. Aku tidak boleh tenggelam dalam trauma. Hari ini adalah langkah baru, dan aku memilih untuk menjalaninya.

***

Dalam perjalanan ke sekolah, aku melewati kebun di pinggir jalan. Ladangnya sedikit lebih rendah dari permukaan jalan. Meski pagi masih muda, semangat para petani sudah menyala.

Oh! Itu Misno. Teman sekelasku sekaligus anggota kelompok tugas seni yang sama dengan Brian dan Leo. Tapi... kenapa dia belum bersiap ke sekolah?

"Misno!" panggilku dari atas jalan.

Ia menoleh, sempat terlihat bingung. Dahi berkerut, matanya memicing. "Oh... iya, teman kelompok ya? Maaf, aku lupa namamu."

Aku hanya tersenyum kecil. Wajar, kami belum banyak bicara.

"Kau tidak sekolah?"

"Lagi bantu panen," jawabnya sambil berlari mengambil beberapa jagung dan menghampiriku. "Coba ini. Kukus saja, rasanya manis kayak ubi. Enak, kok."

Aku tertegun. Ini pertama kalinya Misno bicara panjang lebar. Tangannya menyodorkan jagung itu seperti menawarkan harta karun.

"Aku harus ke sekolah," jawabku pelan sambil mengangkat tasku.

"Bawa saja. Nggak ada plastik sih... tapi cari saja di pinggir jalan," ucapnya ringan, seolah itu hal paling wajar di dunia.

Aku mengangguk dan pamit. Tak kusangka pagi ini dimulai dengan begitu unik dan penuh warna.

***

Sampai di sekolah, aku berusaha menyembunyikan tas yang mengembung karena jagung. Tapi ternyata tak ada yang terlalu peduli. Mungkin hanya aku yang merasa aneh.

Pelajaran berlangsung biasa saja. Tapi pikiranku tak tenang. Jagung, kelompok seni, dan kemarin—semuanya menumpuk.

Aku menanti Noah, tapi dia hanya muncul sebentar di pintu kelas lalu menghilang lagi. Seperti bayangan yang hanya singgah sebentar lalu hilang dari pandangan.

Sepanjang waktu kosong, hanya ada aku dan Brian yang sibuk mencari inspirasi untuk tugas seni. Tapi apa pun yang kami buka di YouTube, tak ada yang terasa tepat. Origami? Drama? Musik? Rasanya semuanya tak mengena.

Masalahnya bukan hanya ide, tapi tim kami juga tak lengkap. Leo lebih memilih berkeringat di lapangan daripada berdiskusi. Misno entah kapan bisa bergabung.

Akhirnya, kami pulang tanpa solusi. Saking frustrasinya, aku meninggalkan dua jagung dari empat yang kubawa di meja Brian dengan secarik kertas bertuliskan: "Aku menyerah."

Namun, saat melangkah pulang, aku kembali teringat perbincangan singkat dengan Ayah. Sapaan hangatnya, ketenangan dalam caranya menatap, dan usapan di kepalaku—itu cukup untuk menyadarkanku: aku belum kalah.

Ini bukan sekadar tugas seni. Ini tentang diriku sendiri. Tentang bagaimana aku menyusun kembali jati diri yang sempat tercerai, tentang bagaimana aku mencoba berdamai dengan masa lalu yang samar. Ini adalah pelajaran baru: mengenali luka, namun tidak menjadikannya jurang.

Mungkin bukan tentang menjadi sempurna. Tapi cukup hadir. Cukup kuat untuk memilih berjalan meski pelan. Dan cukup sadar bahwa hari ini adalah anugerah.

Dan untuk itu, aku bersyukur.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Best Gift
33      31     1     
Inspirational
Tidak ada cinta, tidak ada keluarga yang selalu ada, tidak ada pekerjaan yang pasti, dan juga teman dekat. Nada Naira, gadis 20 tahun yang merasa tidak pernah beruntung dalam hal apapun. Hidupnya hanya dipenuhi dengan tokoh-tokoh fiksi dalam  novel-novel dan drama  kesukaannya. Tak seperti manusia yang lain, hidup Ara sangat monoton seakan tak punya mimpi dan ambisi. Hingga pertemuan dengan ...
Sweet Like Bubble Gum
693      480     2     
Romance
Selama ini Sora tahu Rai bermain kucing-kucingan dengannya. Dengan Sora sebagai si pengejar dan Rai yang bersembunyi. Alasan Rai yang menjauh dan bersembunyi darinya adalah teka-teki yang harus segera dia pecahkan. Mendekati Rai adalah misinya agar Rai membuka mulut dan memberikan alasan mengapa bersembunyi dan menjauhinya. Rai begitu percaya diri bahwa dirinya tak akan pernah tertangkap oleh ...
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
89      79     1     
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan. Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T. Akan tetapi, ...
Kertas Remuk
71      55     0     
Non Fiction
Tata bukan perempuan istimewa. Tata nya manusia biasa yang banyak salah dalam langkah dan tindakannya. Tata hanya perempuan berjiwa rapuh yang seringkali digoda oleh bencana. Dia bernama Tata, yang tidak ingin diperjelas siapa nama lengkapnya. Dia hanya ingin kehidupan yang seimbang dan selaras sebagaimana mestinya. Tata bukan tak mampu untuk melangkah lebih maju, namun alur cerita itulah yang me...
Bunga Hortensia
187      31     0     
Mystery
Nathaniel adalah laki-laki penyendiri. Ia lebih suka aroma buku di perpustakaan ketimbang teman perempuan di sekolahnya. Tapi suatu waktu, ada gadis aneh masuk ke dalam lingkarannya yang tenang itu. Gadis yang sulit dikendalikan, memaksanya ini dan itu, maniak misteri dan teka-teki, yang menurut Nate itu tidak penting. Namun kemudian, ketika mereka sudah bisa menerima satu sama lain dan mulai m...
Ada Apa Esok Hari
179      134     0     
Romance
Tarissa tak pernah benar-benar tahu ke mana hidup akan membawanya. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sering kali tak ramah, ia hanya punya satu pegangan: harapan yang tak pernah ia lepaskan, meski pelan-pelan mulai retak. Di balik wajah yang tampak kuat, bersembunyi luka yang belum sembuh, rindu yang tak sempat disampaikan, dan cinta yang tumbuh diam-diamtenang, tapi menggema dalam diam. Ada Apa E...
RUANGKASA
32      29     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...
Monokrom
71      61     1     
Science Fiction
Tergerogoti wabah yang mendekonstruksi tubuh menjadi serpihan tak terpulihkan, Ra hanya ingin menjalani kehidupan rapuh bersama keluarganya tanpa memikirkan masa depan. Namun, saat sosok misterius bertopeng burung muncul dan mengaku mampu menyembuhkan penyakitnya, dunia yang Ra kenal mendadak memudar. Tidak banyak yang Ra tahu tentang sosok di balik kedok berparuh panjang itu, tidak banyak ju...
Sweet Punishment
104      52     9     
Mystery
Aku tak menyangka wanita yang ku cintai ternyata seorang wanita yang menganggap ku hanya pria yang di dapatkannya dari taruhan kecil bersama dengan kelima teman wanitanya. Setelah selesai mempermainkan ku, dia minta putus padaku terlebih dahulu. Aku sebenarnya juga sudah muak dengannya, apalagi Selama berpacaran dengan ku ternyata dia masih berhubungan dengan mantannya yaitu Jackson Wilder seo...
HABLUR
36      17     1     
Romance
Keinginan Ruby sederhana. Sesederhana bisa belajar dengan tenang tanpa pikiran yang mendadak berbisik atau sekitar yang berisik agar tidak ada pelajaran yang remedial. Papanya tidak pernah menuntut itu, tetapi Ruby ingin menunjukkan kalau dirinya bisa fokus belajar walaupun masih bersedih karena kehilangan mama. Namun, di tengah usaha itu, Ruby malah harus berurusan dengan Rimba dan menjadi bu...