Pagi menyambutku. Aku tahu ini bukanlah pagi yang mudah, apalagi setelah semalam mengingat kembali potongan masa lalu yang lama terkubur. Rasanya berat untuk berdamai dengan kenyataan hari ini. Ada pergolakan dalam batin yang sulit kutenangkan. Namun, waktu tidak menunggu. Detik terus berjalan dan aku harus bersiap untuk sekolah.
Ayah sudah duduk di meja makan dengan sarapan yang telah tertata rapi. Seperti biasa, ia sibuk dengan dunianya sendiri. Atau mungkin... dia hanya bingung bagaimana caranya menjangkau anaknya ini. Selama ini aku jarang—bahkan hampir tak pernah—berusaha memahami perasaannya. Betapa berat menjadi orang tua dari anak satu-satunya yang keras kepala, ambisius, dan terlalu asyik dengan dunia sendiri.
Aku duduk, mencoba menelan keheningan di antara kami.
"Yah..." panggilku perlahan, nyaris seperti bisikan. Kata-kataku menggantung di udara.
Ia menoleh, menatapku dengan lembut. "Iya, kenapa?"
Aku menunduk. "Aku belum menjawab telepon Ibu akhir-akhir ini. Apa Ibu menelepon Ayah?"
Ayah mengangguk pelan. "Dia menanyakanmu."
Aku menggigit bibir, lalu menarik napas dalam. "Maaf..." suaraku nyaris hilang, namun cukup terdengar. Ada semburat perasaan bersalah yang tiba-tiba menyergapku.
Ayah hanya tersenyum kecil, hangat dan tenang. "Ibu pasti mengerti. Makanlah. Bus Ayah sebentar lagi datang."
Ia berdiri, menutup bindernya, lalu menepuk kepalaku pelan dengan lembut, seolah menghapus sedikit beban yang kutanggung pagi ini. Dalam diam itu, ada kehadiran yang menenangkan. Mungkin kami belum sempurna, tapi setidaknya kami sedang belajar untuk saling mendekat lagi.
Setelah Ayah pergi, aku sempat termenung di ruang makan. Ruangan putih ini mengingatkanku pada kamar rawat inap di masa lalu. Aroma samar obat-obatan seolah menyusup ke hidung—padahal itu hanya ingatan. Aku memejamkan mata.
"Bangunlah..."
Suara itu. Bisikan yang entah berasal dari siapa, tapi kerap hadir di saat aku mulai terjebak dalam kesedihan. Suara yang bukan sekadar gema, tapi pengingat. Aku membuka mata. Aku tidak boleh tenggelam dalam trauma. Hari ini adalah langkah baru, dan aku memilih untuk menjalaninya.
***
Dalam perjalanan ke sekolah, aku melewati kebun di pinggir jalan. Ladangnya sedikit lebih rendah dari permukaan jalan. Meski pagi masih muda, semangat para petani sudah menyala.
Oh! Itu Misno. Teman sekelasku sekaligus anggota kelompok tugas seni yang sama dengan Brian dan Leo. Tapi... kenapa dia belum bersiap ke sekolah?
"Misno!" panggilku dari atas jalan.
Ia menoleh, sempat terlihat bingung. Dahi berkerut, matanya memicing. "Oh... iya, teman kelompok ya? Maaf, aku lupa namamu."
Aku hanya tersenyum kecil. Wajar, kami belum banyak bicara.
"Kau tidak sekolah?"
"Lagi bantu panen," jawabnya sambil berlari mengambil beberapa jagung dan menghampiriku. "Coba ini. Kukus saja, rasanya manis kayak ubi. Enak, kok."
Aku tertegun. Ini pertama kalinya Misno bicara panjang lebar. Tangannya menyodorkan jagung itu seperti menawarkan harta karun.
"Aku harus ke sekolah," jawabku pelan sambil mengangkat tasku.
"Bawa saja. Nggak ada plastik sih... tapi cari saja di pinggir jalan," ucapnya ringan, seolah itu hal paling wajar di dunia.
Aku mengangguk dan pamit. Tak kusangka pagi ini dimulai dengan begitu unik dan penuh warna.
***
Sampai di sekolah, aku berusaha menyembunyikan tas yang mengembung karena jagung. Tapi ternyata tak ada yang terlalu peduli. Mungkin hanya aku yang merasa aneh.
Pelajaran berlangsung biasa saja. Tapi pikiranku tak tenang. Jagung, kelompok seni, dan kemarin—semuanya menumpuk.
Aku menanti Noah, tapi dia hanya muncul sebentar di pintu kelas lalu menghilang lagi. Seperti bayangan yang hanya singgah sebentar lalu hilang dari pandangan.
Sepanjang waktu kosong, hanya ada aku dan Brian yang sibuk mencari inspirasi untuk tugas seni. Tapi apa pun yang kami buka di YouTube, tak ada yang terasa tepat. Origami? Drama? Musik? Rasanya semuanya tak mengena.
Masalahnya bukan hanya ide, tapi tim kami juga tak lengkap. Leo lebih memilih berkeringat di lapangan daripada berdiskusi. Misno entah kapan bisa bergabung.
Akhirnya, kami pulang tanpa solusi. Saking frustrasinya, aku meninggalkan dua jagung dari empat yang kubawa di meja Brian dengan secarik kertas bertuliskan: "Aku menyerah."
Namun, saat melangkah pulang, aku kembali teringat perbincangan singkat dengan Ayah. Sapaan hangatnya, ketenangan dalam caranya menatap, dan usapan di kepalaku—itu cukup untuk menyadarkanku: aku belum kalah.
Ini bukan sekadar tugas seni. Ini tentang diriku sendiri. Tentang bagaimana aku menyusun kembali jati diri yang sempat tercerai, tentang bagaimana aku mencoba berdamai dengan masa lalu yang samar. Ini adalah pelajaran baru: mengenali luka, namun tidak menjadikannya jurang.
Mungkin bukan tentang menjadi sempurna. Tapi cukup hadir. Cukup kuat untuk memilih berjalan meski pelan. Dan cukup sadar bahwa hari ini adalah anugerah.
Dan untuk itu, aku bersyukur.