Loading...
Logo TinLit
Read Story - The First 6, 810 Day
MENU
About Us  

Aku tidak tahu, ternyata acara kebudayaan itu dimulai dari malam ini. Bibi Gum-gum menjemputku untuk ikut ke acara terbesar tahunan di pulau ini. Ya, niat hati hanya ikut untuk makan-makan saja.

Acara malam ini adalah doa bersama dan acara adat. Sebelum memulai acara adat, seluruh pengunjung dikumpulkan di lapangan terbuka dan duduk bersama. Saat ingin mencari tempat duduk, aku bertemu dengan Brian yang ternyata ikut dalam acara yang awalnya kupikir akan terasa asing bagiku. Kami mengambil tempat duduk bersebelahan. Aku berharap malam itu aku bisa bertemu juga dengan Nube. Tapi karena terlalu ramai, aku tidak bisa menemukannya di segala penjuru. Entahlah, aku juga tidak tahu di mana dia terselip di antara ratusan orang yang datang.

Kami duduk di tengah-tengah kerumunan. Beberapa pemimpin agama berdiri di atas panggung dan satu per satu secara bergantian memimpin doa. Ada sesi di mana kami berdoa secara pribadi. Semua orang menutup mata dan mengangkat tangan sesuai dengan keyakinan masing-masing. Sebenarnya aku tidak punya doa yang benar-benar ingin kupanjatkan. Tapi karena merasa aneh jika hanya diam, aku pun ikut menutup mata. Dalam hatiku, aku hanya berharap... semoga aku bisa sembuh. Bukan hanya luka yang terlihat, tapi juga yang tak kasatmata.

“Tiara...” suara Brian lirih menyusup di tengah keheningan. Seperti doa, tapi terasa menyentuh langsung ke arahku. Aku menoleh pelan, namun dia masih menatap ke depan, mata terpejam, tangan tertangkup.

Kupikir aku salah dengar. Saat aku hendak kembali memejamkan mata, dia berbisik lagi, “Apa doamu sudah terwujud?”

Keningku berkerut. “Hah?” gumamku pelan. Padahal aku belum sempat berdoa. Apa maksudnya?

“Tidakkah kau ingat kalau kita pernah berdoa bersama sebelumnya?”

Aku memandangnya lekat-lekat. “Kapan? Maksudmu... kita pernah?”

Brian membuka mata, lalu menoleh sambil tersenyum lembut. Saat itu, pemimpin agama mengakhiri sesi doa dan MC mulai memandu acara selanjutnya.

“Tidak ingat ya?” katanya pelan.

Aku hanya menatapnya, bingung. “Kita pernah ketemu sebelumnya?”

“Kita pernah dirawat di rumah sakit yang sama. Mungkin dua tahun lalu?”

Aku menggeleng, ragu. “Dua tahun lalu?” Yang aku ingat, aku hanya dirawat karena kecelakaan itu.

“Ya,” katanya, menyesuaikan duduknya. “Aku juga nggak menyangka kita bisa bertemu lagi, di pulau ini pula.”

Aku menggaruk pelipis, mencoba mengingat. “Aku nggak ingat sama sekali. Sungguh. Tapi... kok bisa kau yakin itu aku?”

“Aku baru sadar waktu lihat kamu pertama kali di kafe. Rasanya kayak pernah lihat, tapi aku nggak berani nanya langsung waktu itu.”

“Kau yakin?” tanyaku, setengah percaya.

“Yakin. Kamu dirawat di ruang 308, kan? Korban kecelakaan dari Bandung?”

Aku mengangguk pelan. “Iya... itu aku.”

“Kamu dirawat cukup lama. Aku ingat betul. Kondisimu waktu itu... parah. Tapi lihat kamu sekarang, luar biasa.”

Aku menatap Brian dengan rasa penasaran. “Jadi... kamu sakit apa waktu itu?”

Dia tertawa kecil, canggung. “Kamu benar-benar nggak ingat, ya? Jujur, awalnya aku takut kamu bakal nyebarin soal penyakitku.”

“Tenang saja. Aku bukan tipe orang seperti itu. Lagi pula, siapa sih yang suka penyakitnya dijadikan bahan omongan?”

Dia tersenyum lebar. “Apa aku kelihatan sehat sekarang?”

Aku mengangguk cepat. “Kelihatan. Tapi... apa kamu masih sakit?”

Dia hanya tersenyum tipis, tidak menjawab. Tapi dari sorot matanya, seolah ada kepasrahan yang tulus. Mungkin, sebagian luka hanya bisa disembuhkan oleh waktu dan keyakinan.

“Brian...” gumamku di sela riuhnya pertunjukan adat di depan. “Aku sungguh tidak ingat. Ceritakan, ya?”

Dia menatap langit malam. “Sepertinya traumamu memang cukup dalam. Kita pertama kali ngobrol waktu kamu tanpa sengaja menabrakku di lorong rumah sakit. Dan sejak itu... kita sering duduk bareng, berdoa bareng. Kamu waktu itu sedang menanti seseorang...”

Aku tercekat. “Seseorang?”

Dia mengangguk pelan. “Kau ingin sekali bertemu dengannya. Tapi waktu itu kamu selalu gelisah... patah hati setiap kali menyebut namanya. Bahkan aku nggak bisa menenangkanmu.”

Aku menelan ludah. “Aku... nggak yakin. Tapi mungkin... aku bertemu dia sekarang.”

“Bagaimana dia sekarang?” tanya Brian.

“Sehat. Bahkan lebih sehat dari kita. Tapi... kayaknya kepalanya ada yang salah.”

Brian tertawa kecil. “Mungkin akibat kecelakaan itu?”

Aku mendecak sinis. “Kecelakaan? Dia itu seperti... psikopat.”

Brian terdiam sejenak. “Tunggu, apa kita bicara tentang orang yang sama?”

Aku menaikkan bahu. “Mungkin saja tidak.”

“Dia... orang yang karyanya akan dipamerkan. Kau bilang, kalau dia menang, dia akan dapat beasiswa, pelatihan, bahkan bisa masuk universitas di Bandung dengan mudah. Tapi kamu nggak sempat melihatnya tampil waktu itu.”

Mataku membesar. “Tunggu... maksudmu... Noah?”

“Noah, ya?” tanya Brian sambil mengamati reaksiku.

Aku menarik napas dalam. “Tapi... bagaimana bisa kamu tahu soal karyanya? Tentang dia datang?”

“Kamu waktu itu terus-terusan menggenggam surat darinya. Dan dia menulis, kalau pun kamu nggak datang, dia tetap ingin kamu tahu kalau dia menang. Bahwa semua itu karena kamu.”

Aku terdiam. Dada terasa sesak. Dunia rasanya mengecil. Aku bahkan sudah jauh dari rumah, menetap di pulau yang asing ini... tapi tetap saja, semesta membawaku bertemu Brian. Dan lebih dari itu, semua kepingan mulai menyatu. Tentang Noah. Tentang diriku. Tentang masa lalu yang ternyata belum selesai kutinggalkan.

Dan di tengah malam yang penuh doa ini, aku hanya bisa membisik dalam hati: Ya tuhan, kuatkan aku. Jika ini bagian dari penyembuhan, maka tuntun aku memahaminya.

 

***

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, pikiranku berkecamuk. Bagaimana bisa begitu banyak hal yang terlewati dan terlupakan? Bagaimana mungkin Noah bersikap seolah tak pernah mengenalku? Apakah ini caranya mengujiku? Dan... bagaimana jika teman-teman sekelas tahu ada sesuatu antara aku dan Noah? Tapi, ah—masa bodohlah. Lagi pula, anak itu juga jarang masuk kelas. Barangkali tak ada yang tahu seberapa sering kami sebenarnya pernah bersama.

Mungkin inilah bentuk nyata dari kenyataan yang menyakitkan sekaligus melelahkan. Perasaanku diaduk-aduk seperti ombak yang menabrak karang. Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap pada Noah setelah semua ini. Haruskah aku berpura-pura tak tahu? Menjalani hari seakan kehadirannya tidak berarti apa-apa? Tapi... bisakah aku mengingkari getaran itu?

Bukankah sikapnya yang seolah mengenal dan tak mengenalku sekaligus—menyiratkan bahwa dia pernah melihatku, jauh sebelum aku tiba di pulau ini?

Aku melewati taman bermain yang sepi. Dalam keremangan, aku berhenti dan berjalan pelan ke arah ayunan anak-anak. Angin malam menyapu lembut, membawa bau asin laut dan keheningan yang menenangkan sekaligus menyakitkan.

Noah... bagaimana dengan karyanya? Jika benar ia memenangkan seleksi itu, bukankah seharusnya kini ia tengah menjalani pelatihan? Atau bersiap tampil dalam pameran? Bukankah dulu dia pernah berkata ingin melangkah lebih jauh, membawa karya seninya ke dunia yang lebih luas? Dan jika benar ia datang menjengukku—mengapa aku menangis begitu hebat seperti yang dikisahkan Brian? Jika dia tak berarti, mengapa luka ini terasa begitu dalam?

Aku bahkan melupakan surat terakhir itu. Aku yang mengakhiri segalanya. Tapi kenapa... aku bahkan tak mengingat isi dan bentuknya?

“Ini sudah hampir jam sepuluh. Kau belum pulang?”

Suara itu menghentak lamunanku. Aku mendongak pelan, dan seperti yang sudah kuduga, suara itu datang dari orang yang tak kunjung menjauh.

Noah lagi.

Ada perasaan canggung, campur marah, campur tak ingin ditinggalkan. Aku menjadi serba salah. Ia benar-benar seperti bayangan yang menolak padam.

“Rumahku tidak jauh,” jawabku, mencoba bersikap biasa. “Lagipula, belum jam sepuluh, kan?” Aku mengayun pelan, seperti anak kecil yang tak ingin pulang.

Dia berjalan pelan, memasukkan kedua tangannya ke saku jaket. Embusan napasnya panjang, seolah mencoba membuang resah yang tak terlihat. Ia lalu duduk di pagar kayu di depanku.

“Kau pernah bertemu dengan Tiara sebelumnya?” tanyaku, nyaris tanpa sadar.

Dia tersenyum tipis. “Kalau aku pernah bertemu dengannya, kenapa aku harus bertanya apakah kau Tiara atau bukan?”

“Mungkin kau hanya sedang mengerjaiku,” balasku, mengalihkan pandang ke tanah.

Noah menarik jaketnya saat angin menyapu lehernya.

“Apa sebenarnya tujuanmu mendekatiku?” Aku menatapnya dalam. “Aku menemukan suratmu lagi... di kotak pos.”

Dia menatap kosong. “Hanya ingin memastikan,” jawabnya malas.

Aku berdiri. “Kalau begitu, aku pulang.”

“Baiklah... baiklah.” Ia berdiri. “Aku pernah bertemu Tiara sebelumnya.”

Aku terdiam. “Kalau begitu... kenapa aku tidak pernah melihatmu?”

“Hanya sekilas. Dan aku tak pernah yakin melihat wajahnya dengan jelas.”

“Kau yakin itu bukan hanya gambaran yang ada di kepalamu?”

Dia mengangkat alis. “Kenapa aku harus memberitahumu? Bukankah aku hanya menganggapmu seperti Tiara? Bukan berarti aku harus menceritakan semuanya.”

“Oh begitu? Kalau begitu, jangan samakan aku dengan Tiara yang ada dalam kepalamu.”

Dia tertawa kecil. “Tentu. Dia tetap istimewa untukku. Tapi kalau kau merasa terganggu karena aku terus muncul... mungkin sebenarnya kau juga yang tak sadar telah menungguku.”

“Dasar bocah satu ini,” gerutuku pelan, jengkel tapi tak bisa menyembunyikan senyum tipis.

“Aku tidak akan mengikutimu lagi,” katanya, kali ini dengan wajah serius, meski nadanya masih terasa ringan.

Aku mendesis pelan. “Akhirnya kau sadar juga. Kenapa tidak dari awal saja?”

“Karena kalau sejak awal aku yakin Tiara itu kau, mungkin aku tak akan bersikap seperti orang gila. Tapi kami punya janji... dan mungkin, jika pikiranku cukup waras, aku tidak akan lagi berharap pada janji itu.”

Dia tersenyum kecil. Tapi bukan senyum kemenangan. Itu senyum yang menyerupai perpisahan.

Ia pergi.

Aku menatap punggungnya yang menjauh. Ada sesak yang tak bisa kujelaskan. Bukan kehilangan... lebih tepatnya seperti ditinggalkan oleh bagian dari masa lalu yang tak sempat kutuntaskan.

Air mata itu turun tanpa permisi.

Aku menyeka pipi. "Kenapa aku menangis?" bisikku lirih.

Rasanya konyol. Tapi mungkin... di saat seperti ini, tak apa jika hati menjadi lebih rapuh dari biasanya. Mungkin kesedihan ini bukan untuk disangkal, melainkan untuk dimengerti. Karena setiap kehilangan mengajarkan kita bahwa harapan bukan untuk digenggam erat, tapi untuk dilepaskan—dengan ikhlas.

Dan dalam diamku, aku belajar percaya, bahwa Tuhan tidak pernah menjauh. Kadang, Ia hanya menunggu sampai kita bersedia menengadah dan berkata, "Aku lelah... tuntun aku pulang."

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Da Capo al Fine
381      310     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir
Ada Apa Esok Hari
235      182     0     
Romance
Tarissa tak pernah benar-benar tahu ke mana hidup akan membawanya. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sering kali tak ramah, ia hanya punya satu pegangan: harapan yang tak pernah ia lepaskan, meski pelan-pelan mulai retak. Di balik wajah yang tampak kuat, bersembunyi luka yang belum sembuh, rindu yang tak sempat disampaikan, dan cinta yang tumbuh diam-diamtenang, tapi menggema dalam diam. Ada Apa E...
Wilted Flower
399      302     3     
Romance
Antara luka, salah paham, dan kehilangan yang sunyi, seorang gadis remaja bernama Adhira berjuang memahami arti persahabatan, cinta, dan menerima dirinya yang sebenarnya. Memiliki latar belakang keluarga miskin dengan ayah penjudi menjadikan Adhira berjuang keras untuk pendidikannya. Di sisi lain, pertemuannya dengan Bimantara membawa sesuatu hal yang tidak pernah dia kira terjadi di hidupnya...
Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa!
670      314     11     
Humor
Didaftarkan paksa ke Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa oleh ayahnya, Kaur Majalengka--si OCD berjiwa sedikit feminim, harus rela digembleng dengan segala keanehan bin ajaib di asrama Kursus Kilat selama 30 hari! Catat, tiga.puluh.hari! Bertemu puding hidup peliharaan Inspektur Kejam, dan Wilona Kaliyara--si gadis berponi sepanjang dagu dengan boneka bermuka jelek sebagai temannya, Kaur menjalani ...
7°49′S 112°0′E: Titik Nol dari Sebuah Awal yang Besar
556      376     0     
Inspirational
Di masa depan ketika umat manusia menjelajah waktu dan ruang, seorang pemuda terbangun di dalam sebuah kapsul ruang-waktu yang terdampar di koordinat 7°49′S 112°0′E, sebuah titik di Bumi yang tampaknya berasal dari Kota Kediri, Indonesia. Tanpa ingatan tentang siapa dirinya, tapi dengan suara dalam sistem kapal bernama "ORIGIN" yang terus membisikkan satu misi: "Temukan alasan kamu dikirim ...
Tanpo Arang
68      58     1     
Fantasy
Roni mengira liburannya di desa Tanpo Arang bakal penuh dengan suara jangkrik, sinyal HP yang lemot, dan makanan santan yang bikin perut “melayang”. Tapi ternyata, yang lebih lemot justru dia sendiri — terutama dalam memahami apa yang sebenarnya terjadi di sekitar villa keluarga yang sudah mereka tinggali sejak kecil. Di desa yang terkenal dengan cahaya misterius dari sebuah tebing sunyi, ...
Imperfect Rotation
215      188     0     
Inspirational
Entah berapa kali Sheina merasa bahwa pilihannya menggeluti bidang fisika itu salah, dia selalu mencapai titik lelahnya. Padahal kata orang, saat kamu melakukan sesuatu yang kamu sukai, kamu enggak akan pernah merasa lelah akan hal itu. Tapi Sheina tidak, dia bilang 'aku suka fisika' hanya berkali-kali dia sering merasa lelah saat mengerjakan apapun yang berhubungan dengan hal itu. Berkali-ka...
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
284      231     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...
Nemeea Finch dan Misteri Hutan Annora
314      200     0     
Fantasy
Nemeea Finch seorang huma penyembuh, hidup sederhana mengelola toko ramuan penyembuh bersama adik kandungnya Pafeta Finch di dalam lingkungan negeri Stredelon pasca invasi negeri Obedient. Peraturan pajak yang mencekik, membuat huma penyembuh harus menyerahkan anggota keluarga sebagai jaminan! Nemeea Finch bersedia menjadi jaminan desanya. Akan tetapi, Pafeta dengan keinginannya sendiri mencari I...
Finding My Way
981      587     3     
Inspirational
Medina benci Mama! Padahal Mama tunawicara, tapi sikapnya yang otoriter seolah mampu menghancurkan dunia. Mama juga membuat Papa pergi, menjadikan rumah tidak lagi pantas disebut tempat berpulang melainkan neraka. Belum lagi aturan-aturan konyol yang Mama terapkan, entah apa ada yang lebih buruk darinya. Benarkah demikian?