Bi Gum-gum datang pagi-pagi sekali ke rumah, membuatku tak bisa 'bangkong'—begitu istilah lokal yang berarti bangun kesiangan. Aku baru tahu arti kata itu ketika Bi Gum-gum mengucapkannya sambil mengguncang pundakku di pagi yang seharusnya damai ini.
Semalam aku begadang. Ternyata ayahku baru saja memasang Wi-Fi, dan itu sukses menyelamatkanku dari kehidupan primitifku. Semalam kuhabiskan menonton vlog wisata kuliner di YouTube. Saking asyiknya, aku bahkan tidak memikirkan siapa pun—bukan Noah, bukan Kenan—padahal mereka baru saja mengantarku pulang semalam.
Ayah hari ini libur kerja. Tapi katanya, ia akan pergi memancing dengan Paman Hendra entah ke mana. Aku tidak bertanya lebih lanjut, karena memang tak terlalu peduli. Begitulah kami biasanya.
Tepat pukul delapan pagi, aku dibonceng Bi Gum-gum dengan motor bebek tuanya. Kami menuju tempat yang asing—terlalu ramai untuk ukuran seleraku. Keramaian membuatku gelisah. Kanan-kiri dipenuhi orang. Tujuan kami: sebuah tarup—tenda acara yang biasa dipakai untuk resepsi di ruang terbuka. Banyak istilah baru kudengar hari ini.
Di sana, para perempuan sibuk menganyam pelepah kelapa, menjahit payet untuk pakaian adat, hingga menyiapkan bahan makanan pesta. Aku hanya mengikuti langkah Bi Gum-gum, tak punya pilihan selain menurut.
Kami berhenti di kerumunan perempuan yang sedang menyiapkan bahan masakan. Di sisi lain ada yang memotong daging, mengupas bawang, dan menyortir kentang dalam karung-karung besar. Kata baru hari ini: rewang. Ternyata itu istilah lokal untuk bantu-membantu urusan dapur menjelang pesta. Aku merasa benar-benar “anak kota yang kampungan”... atau justru “kekotaan” yang tidak peka budaya.
Aku memutuskan bergabung dengan kelompok pemotong kentang. Sepertinya itu pekerjaan paling ringan—dan... di sana ada Nube.
“Ku kira kau bakal kabur begitu lihat keramaian begini,” sambut Nube dengan senyum geli.
“Aku juga kira begitu,” jawabku sambil menerima alat pengupas dari seorang anak SMP berwajah manis. “Tapi apa boleh buat. Ayahku akan berkhotbah sebulan penuh kalau aku menolak. Lagipula... Bi Gum-gum ini manusia seribu cara. Tiba-tiba sudah sampai sini saja.”
Nube mengangguk-angguk sok bijak. “Kau cepat belajar tunduk, ya.”
Aku tersenyum tipis. “Daripada diceramahi tiap hari, kan.”
Mataku menatap langit dari kejauhan. “Ngomong-ngomong... itu awan kelabu. Sepertinya akan turun hujan deras.”
Nube menoleh sebentar lalu mengedikkan bahu. “Tarup-nya tahan air. Lagian... berpikir positif, oke? Jangan kalah duluan sama langit.”
Belum sempat membalas, seorang ibu bertubuh tambun memanggil kami.
“Nube! Eh, dek, kalian bisa bantu ya. Nube, ambil lima jare’ di rumah. Terus beliin lengkuas lima ons di pasar ya, sekalian.”
Aku menoleh bingung. “Jar... apa tadi?”
“Jare’. Itu jarik—kain batik. Sama lengkuas, itu semacam jahe. Tahu, kan?”
“Bahasa daerah sini?”
Nube langsung tergelak. “Bahasanya campur-campur. Di sini orangnya dari berbagai suku: Melayu, Bugis, Tidung, Dayak, Jawa, Batak... Jadi kadang bahasanya juga ngacak! Jarik itu bahasa Jawa. Lengkuas ya... bumbu dapur sejuta umat.”
Kami berjalan ke arah motornya.
“Jadi begini rencananya,” katanya sambil memasang helm. “Aku antar kau ke pasar, terus aku pulang cari jarik. Biar hemat waktu.” Sambil menyerahkan aku uang belanja yang ku terima dengan pasrah.
“Aku ditinggal sendirian di pasar? Kau serius?” Aku menatapnya panik.
Nube terkekeh. “Tenang. Ini pulau kecil. Aman. Motor aja ditaruh di jalan gak bakal dicuri, apalagi orang. Lagipula... cuma cari lengkuas lima ons, kan? Kau bisa.”
“Baiklah, nyonya...” gumamku malas, memengang ujung bajunya dari belakang. “Omong-omong, ibu tadi itu... ibumu?”
Dia menggeleng pelan. “Pengurusku sejak kecil. Kayak ibu angkat. Kami datang ke sini bareng.”
Pasar ternyata tak jauh. Tapi baunya... ugh. Tak jauh beda dari tempat rewang tadi.
Sebelum turun, Nube menepuk bahuku.
“Semangat, ya. Anggap ini petualangan. Supermarket versi lokal!”
Ia tersenyum, lalu pergi. Dan aku pun berpetualang mencari lengkuas bak sedang berburu Snitch.
Toko demi toko kulewati, hasilnya nihil. Bahkan aku disarankan pergi ke toko lain. Lengkuas seperti menghilang dari peradaban. Hingga seorang nenek berkebaya menghampiriku dengan senyum lembut menanyakan apa yang membuatku terlihat kebinggungan.
“Nak, tunggu sebentar ya. Nenek ambil dari kebun. Dekat saja, kok.”
Aku hanya bisa mengangguk penuh haru.
Dan akhirnya... aku berhasil!
Namun langit tak semurah hati nenek tadi. Hujan mulai jatuh perlahan—seolah mengejekku. Aku berlari ke sebuah halte kecil di seberang pasar. Atau entah itu bisa disebut halte. Tak ada bus lewat di sini. Tapi setidaknya cukup untuk berteduh.
Tiba-tiba, seorang pria ikut berlari menghampiri tempat yang sama. Bau tubuhnya harum—seperti bunga kenangan yang entah kapan pernah kuhirup. Ia mengenakan kaos putih dan celana jeans cokelat. Dari sudut pandangku, wajahnya nyaris sempurna.
Kami diam. Suara hujan menjadi pengiring sunyi kami.
“Bukankah suara hujan itu indah?” katanya pelan, memecah keheningan.
Aku terkejut. Bahkan suaranya... hangat. Tenang.
“Aku justru tak suka suara hujan...” jawabku lirih. Dalam hati aku ingin berkata, bisakah aku hanya mendengar suaramu saja? Tapi tentu tak mungkin.
Dia menoleh sebentar. Senyumnya menenangkan.
Aku mengusap lengan, merasa dingin. Tapi dadaku lebih panas dari biasanya. Dan bukan karena cuaca.
“Noah...” aku memberanikan diri. Aku gugup hampir mati, karena hampir saja meledakkan dadaku.
Ia menoleh penuh. Lalu memiringkan badan menghadapku. Senyum itu lagi. Astaga.
“Kau tahu namaku dari mana?” tanyanya.
Jantungku seketika seperti palu godam.
“A-Aku dengar dari anak-anak di kelas. Mereka sering menyebutmu,” jawabku gugup.
Dia terkekeh. “Benarkah?”
Lalu... dia melangkah mendekat. Satu langkah. Dekat sekali. Ia menatapku lekat.
Aku ingin pingsan. Rasanya dadaku meledak. Bisa jadi ia mendengar degup jantungku yang tak karuan.
Setelah dia melangkah mendekat, hanya satu langkah di depanku, ia menatapku tenang. Tak ada senyum genit, tak ada sorot mata yang menggoda—hanya keteduhan, seperti seseorang yang tahu arah, sementara aku masih bingung di persimpangan perasaan aneh ini.
“Matamu indah,” katanya perlahan. “Jaga baik-baik. Jangan biarkan ia terbiasa memandang hal yang membuatmu lupa arah.”
Ia tidak menungguku menjawab. Ia langsung memalingkan wajah dan kembali menatap hujan, seakan kata-katanya barusan bukan sekadar kalimat, tapi petuah yang mengandung jeda panjang untuk direnungi.
Aku mendesis pelan. “Dasar menyebalkan...”
Aku bergeser menjauh. Tapi senyumku tertahan.
“Tiara!”
Suara Nube menggema dari kejauhan. Ia datang mengenakan jas hujan, wajahnya basah kuyup.
“Pakai ini!” Ia melemparkan jas hujan ke arahku. “Gila, hujannya deras banget!”
“Apa kau dapat jariknya?” tanyaku cepat.
“Susah banget, disimpan di gudang,” gerutunya.
Aku naik ke boncengan, lalu menoleh ke arah Noah.
Ia masih berdiri di tempatnya, memandangiku. Masih tersenyum.
Sesampainya di tempat rewang, lagu "Percaya Padaku" dari Ungu mengalun dari pengeras suara entah dari mana. Suasana jadi canggung.
Entah mengapa, lagu itu seperti mewakili isi hatiku. Dan itu... memalukan sekali.