Loading...
Logo TinLit
Read Story - The First 6, 810 Day
MENU
About Us  

Bi Gum-gum datang pagi-pagi sekali ke rumah, membuatku tak bisa 'bangkong'—begitu istilah lokal yang berarti bangun kesiangan. Aku baru tahu arti kata itu ketika Bi Gum-gum mengucapkannya sambil mengguncang pundakku di pagi yang seharusnya damai ini.

Semalam aku begadang. Ternyata ayahku baru saja memasang Wi-Fi, dan itu sukses menyelamatkanku dari kehidupan primitifku. Semalam kuhabiskan menonton vlog wisata kuliner di YouTube. Saking asyiknya, aku bahkan tidak memikirkan siapa pun—bukan Noah, bukan Kenan—padahal mereka baru saja mengantarku pulang semalam.

Ayah hari ini libur kerja. Tapi katanya, ia akan pergi memancing dengan Paman Hendra entah ke mana. Aku tidak bertanya lebih lanjut, karena memang tak terlalu peduli. Begitulah kami biasanya.

Tepat pukul delapan pagi, aku dibonceng Bi Gum-gum dengan motor bebek tuanya. Kami menuju tempat yang asing—terlalu ramai untuk ukuran seleraku. Keramaian membuatku gelisah. Kanan-kiri dipenuhi orang. Tujuan kami: sebuah tarup—tenda acara yang biasa dipakai untuk resepsi di ruang terbuka. Banyak istilah baru kudengar hari ini.

Di sana, para perempuan sibuk menganyam pelepah kelapa, menjahit payet untuk pakaian adat, hingga menyiapkan bahan makanan pesta. Aku hanya mengikuti langkah Bi Gum-gum, tak punya pilihan selain menurut.

Kami berhenti di kerumunan perempuan yang sedang menyiapkan bahan masakan. Di sisi lain ada yang memotong daging, mengupas bawang, dan menyortir kentang dalam karung-karung besar. Kata baru hari ini: rewang. Ternyata itu istilah lokal untuk bantu-membantu urusan dapur menjelang pesta. Aku merasa benar-benar “anak kota yang kampungan”... atau justru “kekotaan” yang tidak peka budaya.

Aku memutuskan bergabung dengan kelompok pemotong kentang. Sepertinya itu pekerjaan paling ringan—dan... di sana ada Nube.

“Ku kira kau bakal kabur begitu lihat keramaian begini,” sambut Nube dengan senyum geli.

“Aku juga kira begitu,” jawabku sambil menerima alat pengupas dari seorang anak SMP berwajah manis. “Tapi apa boleh buat. Ayahku akan berkhotbah sebulan penuh kalau aku menolak. Lagipula... Bi Gum-gum ini manusia seribu cara. Tiba-tiba sudah sampai sini saja.”

Nube mengangguk-angguk sok bijak. “Kau cepat belajar tunduk, ya.”

Aku tersenyum tipis. “Daripada diceramahi tiap hari, kan.”

Mataku menatap langit dari kejauhan. “Ngomong-ngomong... itu awan kelabu. Sepertinya akan turun hujan deras.”

Nube menoleh sebentar lalu mengedikkan bahu. “Tarup-nya tahan air. Lagian... berpikir positif, oke? Jangan kalah duluan sama langit.”

Belum sempat membalas, seorang ibu bertubuh tambun memanggil kami.

“Nube! Eh, dek, kalian bisa bantu ya. Nube, ambil lima jare’ di rumah. Terus beliin lengkuas lima ons di pasar ya, sekalian.”

Aku menoleh bingung. “Jar... apa tadi?”

“Jare’. Itu jarik—kain batik. Sama lengkuas, itu semacam jahe. Tahu, kan?”

“Bahasa daerah sini?”

Nube langsung tergelak. “Bahasanya campur-campur. Di sini orangnya dari berbagai suku: Melayu, Bugis, Tidung, Dayak, Jawa, Batak... Jadi kadang bahasanya juga ngacak! Jarik itu bahasa Jawa. Lengkuas ya... bumbu dapur sejuta umat.”

Kami berjalan ke arah motornya.

“Jadi begini rencananya,” katanya sambil memasang helm. “Aku antar kau ke pasar, terus aku pulang cari jarik. Biar hemat waktu.” Sambil menyerahkan aku uang belanja yang ku terima dengan pasrah.

“Aku ditinggal sendirian di pasar? Kau serius?” Aku menatapnya panik.

Nube terkekeh. “Tenang. Ini pulau kecil. Aman. Motor aja ditaruh di jalan gak bakal dicuri, apalagi orang. Lagipula... cuma cari lengkuas lima ons, kan? Kau bisa.”

“Baiklah, nyonya...” gumamku malas, memengang ujung bajunya dari belakang. “Omong-omong, ibu tadi itu... ibumu?”

Dia menggeleng pelan. “Pengurusku sejak kecil. Kayak ibu angkat. Kami datang ke sini bareng.”

Pasar ternyata tak jauh. Tapi baunya... ugh. Tak jauh beda dari tempat rewang tadi.

Sebelum turun, Nube menepuk bahuku.

“Semangat, ya. Anggap ini petualangan. Supermarket versi lokal!”

Ia tersenyum, lalu pergi. Dan aku pun berpetualang mencari lengkuas bak sedang berburu Snitch.

Toko demi toko kulewati, hasilnya nihil. Bahkan aku disarankan pergi ke toko lain. Lengkuas seperti menghilang dari peradaban. Hingga seorang nenek berkebaya menghampiriku dengan senyum lembut menanyakan apa yang membuatku terlihat kebinggungan.

“Nak, tunggu sebentar ya. Nenek ambil dari kebun. Dekat saja, kok.”

Aku hanya bisa mengangguk penuh haru.

Dan akhirnya... aku berhasil!

Namun langit tak semurah hati nenek tadi. Hujan mulai jatuh perlahan—seolah mengejekku. Aku berlari ke sebuah halte kecil di seberang pasar. Atau entah itu bisa disebut halte. Tak ada bus lewat di sini. Tapi setidaknya cukup untuk berteduh.

Tiba-tiba, seorang pria ikut berlari menghampiri tempat yang sama. Bau tubuhnya harum—seperti bunga kenangan yang entah kapan pernah kuhirup. Ia mengenakan kaos putih dan celana jeans cokelat. Dari sudut pandangku, wajahnya nyaris sempurna.

Kami diam. Suara hujan menjadi pengiring sunyi kami.

“Bukankah suara hujan itu indah?” katanya pelan, memecah keheningan.

Aku terkejut. Bahkan suaranya... hangat. Tenang.

“Aku justru tak suka suara hujan...” jawabku lirih. Dalam hati aku ingin berkata, bisakah aku hanya mendengar suaramu saja? Tapi tentu tak mungkin.

Dia menoleh sebentar. Senyumnya menenangkan.

Aku mengusap lengan, merasa dingin. Tapi dadaku lebih panas dari biasanya. Dan bukan karena cuaca.

“Noah...” aku memberanikan diri. Aku gugup hampir mati, karena hampir saja meledakkan dadaku.

Ia menoleh penuh. Lalu memiringkan badan menghadapku. Senyum itu lagi. Astaga.

“Kau tahu namaku dari mana?” tanyanya.

Jantungku seketika seperti palu godam.

“A-Aku dengar dari anak-anak di kelas. Mereka sering menyebutmu,” jawabku gugup.

Dia terkekeh. “Benarkah?”

Lalu... dia melangkah mendekat. Satu langkah. Dekat sekali. Ia menatapku lekat.

Aku ingin pingsan. Rasanya dadaku meledak. Bisa jadi ia mendengar degup jantungku yang tak karuan.

Setelah dia melangkah mendekat, hanya satu langkah di depanku, ia menatapku tenang. Tak ada senyum genit, tak ada sorot mata yang menggoda—hanya keteduhan, seperti seseorang yang tahu arah, sementara aku masih bingung di persimpangan perasaan aneh ini.

“Matamu indah,” katanya perlahan. “Jaga baik-baik. Jangan biarkan ia terbiasa memandang hal yang membuatmu lupa arah.”

Ia tidak menungguku menjawab. Ia langsung memalingkan wajah dan kembali menatap hujan, seakan kata-katanya barusan bukan sekadar kalimat, tapi petuah yang mengandung jeda panjang untuk direnungi.

Aku mendesis pelan. “Dasar menyebalkan...”

Aku bergeser menjauh. Tapi senyumku tertahan.

“Tiara!”

Suara Nube menggema dari kejauhan. Ia datang mengenakan jas hujan, wajahnya basah kuyup.

“Pakai ini!” Ia melemparkan jas hujan ke arahku. “Gila, hujannya deras banget!”

“Apa kau dapat jariknya?” tanyaku cepat.

“Susah banget, disimpan di gudang,” gerutunya.

Aku naik ke boncengan, lalu menoleh ke arah Noah.

Ia masih berdiri di tempatnya, memandangiku. Masih tersenyum.

Sesampainya di tempat rewang, lagu "Percaya Padaku" dari Ungu mengalun dari pengeras suara entah dari mana. Suasana jadi canggung.

Entah mengapa, lagu itu seperti mewakili isi hatiku. Dan itu... memalukan sekali.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Solita Residen
738      457     9     
Mystery
Kalau kamu bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa... bukan berarti kau harus menunjukkannya pada semua orang. Dunia ini belum tentu siap untuk itu. Rembulan tidak memilih untuk menjadi berbeda. Sejak kecil, ia bisa melihat yang tak kasatmata, mendengar yang tak bersuara, dan memahami sunyi lebih dari siapa pun. Dunia menolaknya, menertawakannya, menyebutnya aneh. Tapi semua berubah seja...
Reandra
1093      738     66     
Inspirational
Rendra Rangga Wirabhumi Terbuang. Tertolak. Terluka. Reandra tak pernah merasa benar-benar dimiliki oleh siapa pun. Tidak oleh sang Ayah, tidak juga oleh ibunya. Ketika keluarga mereka terpecah Cakka dan Cikka dibagi, namun Reandra dibiarkan seolah keberadaanya hanya membawa repot. Dipaksa dewasa terlalu cepat, Reandra menjalani hidup yang keras. Dari memikul beras demi biaya sekolah, hi...
Warisan Tak Ternilai
178      45     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
Andai Kita Bicara
411      332     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...
Monologue
328      172     1     
Romance
Anka dibuat kesal, hingga nyaris menyesal. Editor genre misteri-thriller dengan pengalaman lebih dari tiga tahun itu, tiba-tiba dipaksa menyunting genre yang paling ia hindari: romance remaja. Bukan hanya genre yang menjijikkan baginya, tapi juga kabar hilangnya editor sebelumnya. Tanpa alasan. Tanpa jejak. Lalu datanglah naskah dari genre menjijikkan itu, dengan nama penulis yang bahkan...
The Call(er)
735      371     9     
Fantasy
Dengan penuh tanda tanya, Freya Amethys mencoba menenangkan gejolak yang sedang bergemuruh dalam batinnya sendiri. Kenapa dia bisa melanggar aturannya sendiri? Dia ke sini hanya untuk menyelesaikan tugas dari Raja. Misinya hanya itu tidak lebih. Tapi semua itu berantakan akibat pertemuannya dengan Raka. Sebagai anggota pasukan khusus Freya seharusnya memainkan perannya sebagai The Match Breaker ...
Perjalanan yang Takkan Usai
194      161     1     
Romance
Untuk pertama kalinya Laila pergi mengikuti study tour. Di momen-momen yang menyenangkan itu, Laila sempat bertemu dengan teman masa kecil sekaligus orang yang ia sukai. Perasaan campur aduk tentulah ia rasakan saat menyemai cinta di tengah study tour. Apalagi ini adalah pengalaman pertama ia jatuh cinta pada seseorang. Akankah Laila dapat menyemai cinta dengan baik sembari mencari jati diri ...
Liontin Semanggi
741      433     3     
Inspirational
Binar dan Ersa sama-sama cowok most wanted di sekolah. Mereka terkenal selain karena good looking, juga karena persaingan prestasi merebutkan ranking 1 paralel. Binar itu ramah meski hidupnya tidak mudah. Ersa itu dingin, hatinya dipenuhi dengki pada Binar. Sampai Ersa tidak sengaja melihat kalung dengan liontin Semanggi yang dipakai oleh Binar, sama persis dengan miliknya. Sejak saat...
Manusia Air Mata
497      266     4     
Romance
Jika air mata berbentuk manusia, maka dia adalah Mawar Dwi Atmaja. Dan jika bahagia memang menjadi mimpinya, maka Arjun Febryan selalu berusaha mengupayakan untuknya. Pertemuan Mawar dan Arjun jauh dari kata romantis. Mawar sebagai mahasiswa semester tua yang sedang bimbingan skripsi dimarahi habis-habisan oleh Arjun selaku komisi disiplin karena salah mengira Mawar sebagai maba yang telat. ...
Sweet Punishment
104      52     9     
Mystery
Aku tak menyangka wanita yang ku cintai ternyata seorang wanita yang menganggap ku hanya pria yang di dapatkannya dari taruhan kecil bersama dengan kelima teman wanitanya. Setelah selesai mempermainkan ku, dia minta putus padaku terlebih dahulu. Aku sebenarnya juga sudah muak dengannya, apalagi Selama berpacaran dengan ku ternyata dia masih berhubungan dengan mantannya yaitu Jackson Wilder seo...