Loading...
Logo TinLit
Read Story - The First 6, 810 Day
MENU
About Us  

Nube tidak pernah membawa kendaraan ke sekolah. Ia lebih senang menikmati harinya dengan berjalan kaki, baik saat pergi maupun pulang sekolah. Hari ini, sepulang sekolah, Nube mengajakku ke sebuah toko kue yang katanya sangat enak. Ia bahkan berjanji akan mentraktirku sebagai sambutan atas kedatanganku di pulau ini.

Kami berjalan kaki menuju ke sana. Letaknya tidak jauh dari rumahku, cukup strategis karena menawarkan pemandangan laut yang indah jika duduk di balkon. Aku tidak bisa mengatakan apakah tempat itu tergolong kafe atau bukan. Tapi bisa dibilang, ya, semacam itu.

Sesuai dengan namanya, toko itu hanya menjual kue dan beberapa minuman ringan, seperti susu Milo dan cappuccino sachet-an. Di pulau ini memang tidak ada yang bisa dibanggakan. Aku juga tidak bisa membanggakan bahwa aku sedang berada di toko kue terkenal.

Aku memilih duduk di dalam, tak jauh dari etalase kue. Langit tampak mendung. Kupikir sebentar lagi hujan lebat akan turun. Jika kami memilih duduk di balkon, itu jelas pilihan yang buruk.

Seorang anak laki-laki masuk ke dalam toko.

"Oh Tuhan..." bisikku dalam hati. Aku menunduk, menutup wajahku dengan kedua telapak tangan. "Sepertinya aku akan gila kalau terus berada di pulau ini." Kenapa aku harus bertemu dengannya lagi? Boom?! Apakah pulau ini sekecil itu sampai-sampai aku harus terus bertemu dengannya?

“Kenapa? Apa aku salah membawamu ke sini?” tanya Nube pelan, penuh keraguan. Ekspresinya terlihat khawatir dan bersalah.

Aku ingin menjawab, Iya!, tapi bagaimana bisa aku menyakiti hati orang sebaik dia?

Saat aku perlahan membuka wajahku, Boom sudah berdiri di samping meja, di antara aku dan Nube yang duduk berhadapan.

“Belum pesan?” tanyanya santai, menatap kami bergantian.

“Ini, mau pesan. Jadi... apa menu spesial hari ini?” sahut Nube dengan semangat.

“Emm...” Boom berpikir sambil melepas tas dan menggantungkannya di bahu. “Mau langsung aku pesankan saja?”

“Tentu! Tentu!” seru Nube antusias.

Aku memelototinya. “Kau tidak bilang padaku kalau dia akan ikut bersama kita.”

“Oh iya, aku belum sempat memberitahumu, ya. Toko ini milik orang tuanya,” jawabnya cepat, sesaat sebelum Boom pergi ke balik etalase untuk memesankan beberapa potong kue.

Aku mendesah. Sial. Sepertinya aku akan mencatat hari ini sebagai salah satu hari paling menyebalkan dalam hidupku, setelah kecelakaan beberapa tahun lalu yang nyaris merenggut nyawaku. Bertemu dengan orang asing yang selalu muncul entah dari mana—itu sama menegangkannya seperti maut yang mengejarmu.

Terlebih lagi jika ternyata orang itu adalah... psikopat.

“Tarrraaa!” Boom tiba-tiba muncul di sampingku dengan senyum lebar. Ia menaruh potongan kue tiramisu di hadapan kami, lengkap dengan dua gelas cappuccino di atas nampan. Lalu, tanpa diminta, ia menyeret kursi dan duduk di samping kami, menghadap kami berdua.

Aku dan Nube saling berpandangan, bingung.

Nube memiringkan kepalanya, menatap Boom dengan alis terangkat. “Kau nggak sakit hari ini, kan?”

Boom hanya tersenyum lalu meletakkan kedua tangannya di atas meja, menangkupkannya di depan bibirnya seakan sedang memindai kami.

Aku merasa tidak nyaman. Perutku lapar, tapi keberadaannya membuat selera makanku hilang.

“Bagaimana?” tanyanya sambil menatapku.

Aku menegang. “Apa? Yang bagaimana?”

“Kuenya,” jawabnya tenang, tapi matanya menusuk.

Aku bahkan belum menyentuhnya. Bagaimana bisa aku menilainya hanya dari melihat?

“Emm, enak! Sepertinya menu baru, ya? Aku belum pernah mencobanya,” jawab Nube sambil menggigit potongan kue, tak menyadari bahwa Boom terus memandangi wajahku dengan intens.

Aku hanya mengangkat bahu. “Aku tidak tahu.”

“Seseorang bilang, tiramisu paling enak dinikmati saat cuaca seperti ini. Aku minta ibuku membuatnya. Hari ini baru mulai dijual. Bukankah suasananya pas sekali?” katanya, menoleh ke luar jendela.

Dan memang, hujan mulai turun sejak beberapa menit lalu.

Aku tidak menjawab. Hanya memotong ujung kue tiramisuku dengan garpu, pelan.

“Apa kau menyukainya?” tanyanya lagi.

Nube tertegun, menatapku dan Boom bergantian.

Aku terdiam. Ada sesuatu dalam pertanyaan itu yang membuat napasku sesak. Seolah dia tahu terlalu banyak. Kucing. Piano. Tiramisu. Itu semua adalah hal-hal yang sangat kusukai. Tapi aku tidak pernah menceritakannya pada siapa pun sejak kecelakaan itu.

Apakah semua ini... sudah direncanakan?

“Kau Tiara, bukan?” tanyanya.

Jantungku berdegup kencang. Ingatanku meloncat ke masa lalu—ke saat dia terus-menerus menanyakan namaku, seakan itu hal terpenting di dunia.

Aku menatapnya, lalu berkata dengan suara pelan, “Kenapa kau ingin tahu apakah aku Tiara atau bukan?”

Nube membulatkan mata, hampir menjatuhkan sendoknya ke meja.

“Karena aku sedang menunggunya...” jawab Boom tanpa ragu.

“Huk... Huk... Huk!” Nube tiba-tiba tersedak. Wajahnya memerah. Ia buru-buru meneguk air. “Baiklah, aku pura-pura tidak dengar. Aku ke toilet dulu!” katanya cepat-cepat, pergi.

Aku membeku. Dunia mendadak sunyi.

Aku tidak mengenalmu. Kenapa kau... kenapa kau...?

Aku ingin bertanya, ingin marah, tapi lidahku kelu. Aku seperti kehilangan kemampuan berbicara.

Boom tersenyum samar. “Kalau kau memang Tiara... kau pasti lupa sedikit tentangku.” Nada suaranya rendah, seperti bisikan yang jatuh di tengah kesunyian. “Pelan-pelan saja. Tak perlu terburu-buru. Kalau memang kau Tiara... tidak akan sulit bagimu untuk mengingatku.”

Ia berdiri, mendorong kursinya pelan, lalu berjalan melewati belakangku. Entah ke dapur, entah ke mana.

Aku masih diam di tempat.

Beberapa menit kemudian, Nube keluar dari toilet dan kembali duduk. “Anak itu... aneh sekali. Apa dia termasuk daftar anak ter-playboy di sekolah?” tanyaku, mencoba terdengar santai meski jelas-jelas merasa risih.

“Sebenarnya... aku bingung. Dia tidak pernah bicara dengan siapa pun di kelas kecuali untuk urusan pelajaran atau tugas kelas. Tapi... tadi itu... aneh banget. Aku rasa dia suka padamu. Dia bukan seperti Boom yang kukenal.”

“Dan aku seharusnya tidak mengenalnya,” gumamku.

Sejak hari itu, Nube mulai menceritakan banyak hal tentang Boom. Sejujurnya, aku tidak ingin tahu. Tapi aku tidak bisa menahan rasa penasaranku. Dia bukan anak nakal. Bukan playboy. Bahkan dia tidak pernah membunuh semut atau merusak benda kecil. Tapi... siapa tahu? Kalau dia psikopat, mungkin dia memang pandai menyembunyikannya.

Kami pulang tidak lama setelah itu. Hujan mulai mereda. Penjaga toko meminjamkanku dan Nube payung, dan aku menerimanya dengan senang hati. Boom tidak muncul lagi setelah pergi dari meja kami.

Aku dan Nube berpisah di persimpangan. Ia berjalan lurus, sementara aku harus berbelok ke arah rumahku. Suasana desa begitu tenang. Hanya suara hujan yang sesekali terdengar jatuh di atap rumah-rumah.

Mengamati lingkungan baru adalah kebiasaanku. Sayangnya, aku tidak membawa kamera. Mungkin saja ada objek menarik untuk jadi koleksi gambarku.

Sial!

Aku kaget saat hampir sampai di depan rumah. Ingin rasanya aku berbalik arah, tapi tubuhku terlalu lelah untuk melawan. Dan tentu saja—Boom. Lagi-lagi dia, sedang duduk di sepedanya, menyamping, tersenyum, lalu melambaikan tangan.

“Suratnya belum datang, ya…” katanya ringan saat aku lewat di depannya, masuk ke pekarangan rumah.

“Kalau begitu, payungnya bisa kubawa pulang kembali?”

Aku mendesah kesal. Memangnya dia bisa pakai payung sambil naik sepeda?

Aku menutup payung, lalu berjalan ke arahnya dan menyerahkannya.

“Thanks!” ucapku cepat. Aku berniat mempercepat langkah...

Tapi dia berkata dengan suara pelan, “Senang bisa bertemu denganmu…”

Aku berbalik. Dia sudah mengayuh sepedanya, menjauh tanpa payung.

Rasa penasaranku membuncah. Ratusan pertanyaan menari di pikiranku.

Aku berjalan ke arah kotak pos di depan pagar. Membukanya perlahan. Terlihat seperti belum pernah disentuh. Di dalamnya ada sarang laba-laba.

Sebuah amplop kecil tergeletak.

Tanpa nama pengirim. Tanpa tujuan. Kosong. Bersih.

Aku membukanya.

Sebuah foto polaroid. Sepiring tiramisu. Latar jendela. Langit biru dengan hujan tipis.

Tanganku bergetar.

Ada sesuatu yang menyentak dari dalam. Suatu sensasi yang familiar—tapi menakutkan. Jantungku berdetak lebih cepat. Nafasku mulai berat. Kepalaku ringan. Dunia sekitar tiba-tiba terasa jauh.

Aku menggenggam dadaku. Suara hujan berubah—kadang senyap, kadang menggelegar di telinga. Pandanganku kabur. Foto itu... tulisan di baliknya…

“Hujan memberi aba-aba lewat mendungnya...”

Tanganku gemetar. Dada sesak. Aku mencoba bernapas, tapi paru-paruku seperti terkunci. Tubuhku membeku. Aku merosot ke sofa, menggenggam foto itu erat-erat.

Sebuah panic attack.

Dan aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa... aku pernah berada di tempat itu.

Aku memejamkan mata, mencoba menarik napas perlahan. Tanganku masih gemetar, telapak dingin, dan tenggorokanku terasa kering. Foto polaroid itu tergeletak di pangkuan, masih menampakkan sepotong tiramisu dengan hujan yang turun di balik jendela. Ada sesuatu dari gambar itu—dari tulisan di baliknya—yang menyentuh sesuatu dalam diriku, sesuatu yang belum kukenal sepenuhnya… tapi sangat dalam.

Beberapa menit kemudian, ketika dadaku mulai terasa lega dan napasku mulai normal kembali, aku memasukkan kembali foto itu ke dalam amplop. Aku meletakkannya di atas meja, berusaha menenangkan diri, tapi pikiranku masih berputar-putar, kacau dan tidak berpola.

Aku terduduk diam, memandangi kotak pos dari balik jendela.

Saat itulah suara familiar memanggilku.

“Kau sudah pulang?”

Aku menoleh. Bibi Gum-gum masuk ke ruang tamu sambil melepas sandalnya. Aku tidak tahu pasti kapan dia melintasi halaman. Sepertinya aku terlalu tenggelam dalam pikiranku sendiri untuk menyadarinya.

“Oh… Bibi. Iya, baru saja,” jawabku sambil berusaha tersenyum meski wajahku masih pucat.

Bibi menatapku sejenak, keningnya berkerut. “Kau nggak bawa payung, ya? Bajumu basah. Ayo, cepat mandi air hangat dan ganti baju. Bibi buatkan makanan sore.”

Aku mengangguk, bangkit dengan lemas dan berkata pelan, “Terima kasih, Bi…”

Saat naik ke kamar, aku masih membawa amplop itu, menyelipkannya di dalam laci meja belajar. Lalu aku mandi air hangat seperti yang Bibi sarankan, tapi air yang mengalir tidak sepenuhnya mengusir dingin dari tubuhku. Yang membekukan bukan cuaca—melainkan rasa tidak tahu dan rasa takut akan sesuatu yang belum bisa kujelaskan.

Aku terus bertanya dalam hati—siapa Boom? Kenapa dia tahu begitu banyak tentang hal-hal yang kusukai? Dan kenapa semua ini terasa seperti… mimpi yang pernah terjadi sebelumnya?

Aku tidak punya catatan amnesia setelah kecelakaan itu. Hanya alat bantu dengar yang menjadi saksi luka fisikku. Tapi sekarang… ada sesuatu yang membuatku meragukan itu semua.

Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, aku turun ke dapur. Bibi sedang memotong sayur dan memasukkan beberapa ke dalam panci yang airnya tampak sudah mendidih.

“Bibi akan temani kamu malam ini. Tidak apa-apa, kan?” tanyanya sambil terus mengaduk masakan.

Aku duduk di kursi makan yang menghadapnya. “Tidak apa-apa… kalau Bibi juga nggak keberatan.”

“Tentu saja nggak. Kamu itu sudah Bibi anggap seperti anak sendiri. Jadi kalau ada apa-apa, jangan malu-malu minta bantuan, ya.” Ia tertawa kecil. “Kalau mau curhat juga boleh. Begini-gini Bibi juga pernah muda.”

Aku tersenyum tipis, mengangguk pelan.

“Dulu, ayah dan ibumu itu… Bibi yang comblangin, loh.”

Aku menatapnya, kaget bercampur penasaran. “Oh ya? Serius, Bi?” tanyaku sambil menaikkan kaki ke kursi dan memeluknya, posisi duduk kesukaanku saat sedang mendengarkan cerita.

Bibi tertawa kecil. “Ayahmu itu pemalu banget. Ibumu cinta pertamanya sejak SMP. Tapi mereka baru bisa bersatu setelah berpisah jauh. Untung ada Paman Hendra dan Bibi yang bantu supaya mereka ketemu lagi. Syukurnya, ibumu masih berhubungan baik dengan Bibi. Kalau nggak, mungkin kamu nggak akan lahir, dan ibumu malah nikah sama seorang pilot.”

Aku tertawa, “Kalau gitu, ayahku nggak akan pulang-pulang ke rumah.”

“Nah, untung bukan si pilot itu, kan.” Bibi mengedipkan mata.

Aku tertawa pelan.

Lalu ia menoleh sambil berkata, “Ngomong-ngomong, bagaimana sekolah dan teman-temanmu? Apa mereka sudah mengganti alat bantu dengarmu?”

Aku menggeleng pelan. “Nggak ada yang istimewa di sekolah. Soal alat bantu dengar... ya, mereka nggak bahas soal itu. Ayah juga sudah wanti-wanti supaya aku nggak menyinggungnya lagi.”

Bibi mengangguk pelan. “Kalau ayahmu sudah bilang begitu, ya sudah. Bibi ikut saja.”

Aku menggigit bibir, ragu untuk melanjutkan pertanyaanku. Tapi akhirnya, aku bertanya juga.

“Bibi... sering lihat anak laki-laki yang suka mampir ke rumah ini?”

Bibi mengangkat alis. “Anak sekolahan?”

Aku hanya menggumam pelan, “Iya…”

“Hmm… ada beberapa yang pernah Bibi lihat. Tapi mereka nggak mampir. Cuma berhenti sebentar, lihat-lihat, terus pergi lagi. Seperti... sedang mengamati.”

“Ya... aku juga merasa begitu,” jawabku lirih.

“Anak itu ganggu kamu?” tanya Bibi serius. Tatapannya berubah tajam.

Aku menggeleng cepat. Sebenarnya ingin mengangguk, tapi... entahlah.

“Kalau ganggu, bilang ke Bibi. Biar Bibi yang urus.”

Aku tersenyum samar. “Nggak, Bi… mungkin dia cuma... nggak ada kerjaan.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
FAYENA (Menentukan Takdir)
113      98     2     
Inspirational
Hidupnya tak lagi berharga setelah kepergian orang tua angkatnya. Fayena yang merupakan anak angkat dari Pak Lusman dan Bu Iriyani itu harus mengecap pahitnya takdir dianggap sebagai pembawa sial keluarga. Semenjak Fayena diangkat menjadi anak oleh Pak Lusman lima belas tahun yang lalu, ada saja kejadian sial yang menimpa keluarga itu. Hingga di akhir hidupnya, Pak Lusman meninggal karena menyela...
Winter Elegy
462      322     4     
Romance
Kayra Vidjaya kesuma merasa hidupnya biasa-biasa saja. Dia tidak punya ambisi dalam hal apapun dan hanya menjalani hidupnya selayaknya orang-orang. Di tengah kesibukannya bekerja, dia mendadak ingin pergi ke suatu tempat agar menemukan gairah hidup kembali. Dia memutuskan untuk merealisasikan mimpi masa kecilnya untuk bermain salju dan dia memilih Jepang karena tiket pesawatnya lebih terjangkau. ...
Tanda Tangan Takdir
102      89     1     
Inspirational
Arzul Sakarama, si bungsu dalam keluarga yang menganggap status Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai simbol keberhasilan tertinggi, selalu berjuang untuk memenuhi ekspektasi keluarganya. Kakak-kakaknya sudah lebih dulu lulus CPNS: yang pertama menjadi dosen negeri, dan yang kedua bekerja di kantor pajak. Arzul, dengan harapan besar, mencoba tes CPNS selama tujuh tahun berturut-turut. Namun, kegagal...
MANITO
554      412     14     
Romance
Dalam hidup, terkadang kita mempunyai rahasia yang perlu disembunyikan. Akan tetapi, kita juga butuh tempat untuk menampung serta mencurahkan hal itu. Agar, tidak terlalu menjadi beban pikiran. Hidup Libby tidaklah seindah kisah dalam dongeng. Bahkan, banyak beban yang harus dirasakan. Itu menyebabkan dirinya tidak mudah berbagi kisah dengan orang lain. Namun, ia akan berusaha untuk bertahan....
Sebelah Hati
416      333     0     
Romance
Sudah bertahun-tahun Kanaya memendam perasaan pada Praja. Sejak masih berseragam biru-putih, hingga kini, yah sudah terlalu lama berkubang dengan penantian yang tak tentu. Kini saat Praja tiba-tiba muncul, membutuhkan bantuan Kanaya, akankah Kanaya kembali membuka hatinya yang sudah babak belur oleh perasaan bertepuk sebelah tangannya pada Praja?
Semesta Berbicara
556      319     10     
Romance
Suci adalah wanita sederhana yang bekerja sebagai office girl di PT RumahWaktu, perusahaan di bidang restorasi gedung tua. Karena suatu kejadian, ia menjauh dari Tougo, calon tunangannya sejak kecil. Pada suatu malam Suci memergoki Tougo berselingkuh dengan Anya di suatu klub malam. Secara kebetulan Fabian, arsitek asal Belanda yang juga bekerja di RumahWaktu, ada di tempat yang sama. Ia bersedia...
FINDING THE SUN
358      113     14     
Action
Orang-orang memanggilku Affa. Aku cewek normal biasa. Seperti kebanyakan orang aku juga punya mimpi. Mimpiku pun juga biasa. Ingin menjadi seorang mahasiswi di universitas nomor satu di negeri ini. Biasa kan? Tapi kok banyak banget rintangannya. Tidak cukupkah dengan berhenti dua tahun hanya demi lolos seleksi ketat hingga menghabiskan banyak uang dan waktu? Justru saat akhirnya aku diterima di k...
Sweet Punishment
104      52     9     
Mystery
Aku tak menyangka wanita yang ku cintai ternyata seorang wanita yang menganggap ku hanya pria yang di dapatkannya dari taruhan kecil bersama dengan kelima teman wanitanya. Setelah selesai mempermainkan ku, dia minta putus padaku terlebih dahulu. Aku sebenarnya juga sudah muak dengannya, apalagi Selama berpacaran dengan ku ternyata dia masih berhubungan dengan mantannya yaitu Jackson Wilder seo...
No Life, No Love
578      466     2     
True Story
Erilya memiliki cita-cita sebagai editor buku. Dia ingin membantu mengembangkan karya-karya penulis hebat di masa depan. Alhasil dia mengambil juruan Sastra Indonesia untuk melancarkan mimpinya. Sayangnya, zaman semakin berubah. Overpopulasi membuat Erilya mulai goyah dengan mimpi-mimpi yang pernah dia harapkan. Banyak saingan untuk masuk di dunia tersebut. Gelar sarjana pun menjadi tidak berguna...
Nuraga Kika
30      28     0     
Inspirational
Seorang idola sekolah menembak fangirlnya. Tazkia awalnya tidak ingin melibatkan diri dengan kasus semacam itu. Namun, karena fangirl kali ini adalah Trika—sahabatnya, dan si idola adalah Harsa—orang dari masa lalunya, Tazkia merasa harus menyelamatkan Trika. Dalam usaha penyelamatan itu, Tazkia menemukan fakta tentang luka-luka yang ditelan Harsa, yang salah satunya adalah karena dia. Taz...