Aku hanya bisa tertunduk, membelakangi pintu di dalam ruangan kepala sekolah. Setelah Guru yang tadi datang ke kelas membawaku dengan paksa ke ruangan ini. Beberapa anak perempuan, termasuk Mura, berdiri berjejer di samping meja, berusaha menjelaskan kronologi kejadian yang baru saja terjadi.
Kenan, sang ketua kelas, berdiri tegap tanpa sepatah kata pun di depan meja kepala sekolah, seolah-olah dialah yang sedang diadili. Kepala sekolah menatapku dari tempat duduknya, sesekali mengangguk mendengarkan penuturan para siswi itu.
“Kalian tahu berapa harga barang ini?” tanya kepala sekolah, suaranya datar namun penuh tekanan.
“Tidak, Pak...” jawab mereka hampir serempak, suaranya lirih dan gamang. Aku mendengar isakan samar dari salah satu dari mereka. Aku tidak tahu siapa yang menangis, dan aku juga tidak paham alasannya. Bukankah seharusnya aku yang menangis? Bukankah akulah yang disakiti? Akulah yang terintimidasi. Tapi kenapa justru mereka yang menangis?
“Maafkan saya, Pak... saya benar-benar tidak bermaksud seperti itu,” suara lirih Mura terdengar ragu.
Kepala sekolah menoleh tajam. “Minta maaflah kepada orang yang kau sakiti, bukan melalui saya. Orangnya ada di sini.”
“Tapi Pak…”
“Kenapa harus ada kata 'tapi'?”
“Kami akan patungan untuk menggantinya, Pak...” sahut Kenan pelan, seolah menahan beban berat.
“‘Kami’? Yang kamu maksud siapa saja?” Kepala sekolah menyipitkan matanya.
Aku pun menegakkan punggungku, mencoba melihat lebih jelas apa yang terjadi di depan sana. Kepala sekolah menatap anak-anak itu, lalu kembali padaku.
“Di satu sisi, ini juga salah kami. Kami satu kelas, tapi malah membiarkan insiden itu terjadi. Tentu saja saya ingin seluruh kelas bertanggung jawab,” jelas Kenan, suaranya tenang tapi penuh tekanan.
Kepala sekolah menyatukan kedua tangannya di depan wajah, lalu tersenyum miring. “Kamu tahu tugas ketua kelas? Seharusnya kamu bisa mencegah hal ini. Tapi sekarang kamu malah membagi tanggung jawab ke teman-temanmu.”
Kenan tertunduk, terdiam. “Jadi—”
Belum sempat kepala sekolah menyelesaikan kalimatnya, terdengar ketukan dari arah pintu.
Seorang guru perempuan masuk, menggandeng seorang wanita paruh baya yang belum pernah kulihat. Wanita itu tersenyum ramah padaku, tapi dari matanya terpancar kekhawatiran yang dalam.
“Ini Bibi Gum-gum,” ujar guru itu kepadaku, sebelum menghampiri kepala sekolah.
Ah, jadi inilah sosok Bibi Gum-gum. Istri dari paman yang membantu kami kemarin dan yang menyiapkan makan siang saat aku pertama kali tiba di pulau ini. Aku tidak terlalu fokus melihatnya kemarin.
“Kamu tidak apa-apa, kan?” suaranya lembut, sambil mengelus pipiku. Aku mengangguk pelan.
“Oh, Ibu wali Tiara?” Kepala sekolah tampak terkejut, berdiri dan menghampiri Bibi.
“Sebenarnya, apa yang terjadi, Pak?” tanya Bibi, wajahnya penuh kekhawatiran.
“Saya sungguh minta maaf atas insiden ini. Padahal ini baru hari pertama Tiara di sekolah.”
Ya, benar. Sepertinya aku mengulang kesalahan yang sama—kesan pertama yang selalu gagal.
“Anak saya dirugikan, ini bagaimana, Pak?” Nada suara Bibi mencoba tegas, tapi malah terdengar lucu. Mungkin karena dia memang tidak terbiasa marah.
“Bibi, aku tidak apa-apa,” kataku cepat, menggenggam tangannya.
“Masih bisa mendengar, Nak?” Aku mengangguk, tersenyum. Telinga kiriku masih berfungsi, walau tidak sebaik dulu.
“Betapa malangnya anakku ini. Pak, Bapak tahu harga alat itu, kan? Saya saja tidak sanggup membelinya,” Bibi mulai emosional.
“Tidak apa-apa, Bi. Nanti Tiara akan bicara dengan Ayah.”
“Ayahmu pasti kecewa pada Bibi. Aku benar-benar merasa gagal menjaga kamu...” keluhnya.
“Saya akan usahakan Tiara mendapat alat bantu dengarnya kembali,” ucap Kenan.
“Oh, jadi kamu penyebab anakku menderita, Kenan?! Bibi tidak menyangka... kamu lagi!” wajah Bibi memerah, nadanya naik. “Bisakah kamu berhenti menyakiti Bibi? Kamu tak pernah berubah!”
Tunggu. Bibi Gum-gum... kenal dengan Kenan?
“Bibi, kita pulang saja, ya?” pintaku, mencoba meredakan ketegangan yang makin memburuk.
“Lebih baik begitu.” Bibi menarik napas berat. “Dan jangan berteman dengan anak seperti dia!” serunya, setengah berteriak, menunjuk Kenan. Anak laki-laki itu hanya bisa menunduk.
“Pak, saya tidak mau tahu. Anda juga harus bertanggung jawab. Saya akan bicara langsung dengan Ayah Tiara. Untuk saat ini, saya akan membawa putri saya pulang.” Kata-kata Bibi tegas saat menarikku keluar dari ruangan.
Aku bahkan tidak sempat mengambil tasku yang masih berantakan di kelas. Pagi itu masih terlalu awal untuk pulang, tapi aku sudah berada di atas motor bebek milik Bibi, melintasi jalanan pulau yang bergelombang.
“Bibi...” panggilku pelan saat motor melaju di jalanan beraspal yang sedikit bergelombang, mungkin karena sering dilewati truk-truk berat.
“Maaf ya, Bibi dari tadi diam terus. Bibi jadi gak enak hati,” jawabnya, suaranya samar terbawa angin. “Bibi sampai bingung mau ngobrol apa.”
“Tidak apa-apa, Bi. Maaf sudah merepotkan.”
“Tidak merepotkan. Ayahmu sudah banyak membantu keluarga Bibi. Seharusnya Bibi membalas budi... eh, tapi ini malah bikin tambah repot, ya,” katanya dengan tawa hambar.
“Justru aku yang berterima kasih. Ngomong-ngomong... Bibi kenal Kenan?”
Bibi hanya bergumam panjang, nadanya berat dan terdengar kesal.
“Anak itu... lebih baik kamu jangan dekat-dekat dengannya. Dia bukan teman yang baik, Nak. Bibi kasih tahu ya, jauhi dia.”
“Kenapa memangnya, Bi?”
“Panjang ceritanya. Maaf ya, Bibi belum siap cerita. Jujur saja, Bibi masih sakit hati sama anak itu.”
Aku hanya bisa menggumam pelan, tidak tahu harus menjawab apa. Keheningan di antara kami begitu terasa hingga akhirnya aku terperanjat.
“Ya ampun, Bi!” seruku panik. “Tiara lupa! Kunci rumah ada di tas Tiara—ketinggalan di kelas!”
“Tenang,” jawab Bibi sambil nyengir kecil. “Bibi punya kunci rumahmu. Lagian, Bibi kan yang urus rumahmu tiap hari.”
“Urus rumah?” Aku mengerutkan dahi. “Tapi kemarin Ayah nyuruh aku yang urus sendiri…”
“Oh...” Bibi tampak agak canggung. “Ayahmu minta Bibi berhenti bantu-bantu rumah sejak tahu kamu mau datang. Tapi kalau kamu mau, Bibi siap bantu kapan aja.”
Aku mengangguk kecil. “Terima kasih, Bi.”
“Dan tenang saja, Bibi gak akan lapor ke Ayahmu. Bibi ngerti, kok…” katanya sambil tersenyum lembut dan memutar knop pintu, membuka rumah.
Aku mengurung diri di kamar. Bibi bahkan datang hanya untuk memastikan aku baik-baik saja setelah pihak sekolah menelepon tentang keributan pagi tadi. Sejak alat bantu dengarku rusak, aku hanya bisa mendengar samar dengan telinga kiri. Level pendengaranku seperti turun ke angka tiga—suara hanya bergema pelan tanpa jelas.
Tak ada yang bisa kulakukan sore itu, selain duduk memandangi lautan dari balkon kamarku.
Beberapa anak berseragam mulai berdatangan. Mereka tampak saling dorong-dorongan di halaman depan rumahku. Dari atas, aku bisa melihat Mura berdiri ragu-ragu. Kenan berjalan paling belakang, kedua tangannya masuk dalam saku celana, wajahnya datar. Ada beberapa anak lain yang tak kukenal.
Mereka masuk ke halaman rumah dengan langkah kikuk. Tak satu pun dari mereka berani mengetuk pintu. Mereka saling mendorong, berharap ada yang cukup berani mengambil langkah pertama.
Akhirnya, Kenan maju dan mengetuk pintu.
Tak lama kemudian, Bibi Gum-gum membukakan pintu. Tapi bukan sambutan hangat yang mereka dapat. Bibi malah memarahi mereka, menyuruh pulang. Aku tidak bisa mendengar isi pembicaraannya, tapi bahasa tubuhnya jelas menunjukkan ketegasan. Namun mereka bersikeras. Tak mau pulang.
Bibi membuka pintu kamarku yang sengaja tidak kukunci—aku memang sedang tidak memakai alat bantu dengar.
“Ada teman-teman kamu di luar. Mereka gak mau pulang meski Bibi suruh,” ujarnya mendadak—mungkin tadi sudah mengetuk, tapi aku tidak mendengar.
“Oh, Bibi… aku gak mau ketemu mereka,” ujarku, kaget.
“Bibi udah coba usir, tapi mereka kekeh. Ingin rasanya Bibi siram air satu ember, tapi takut Ayahmu marah,” gumamnya sebal tapi lucu.
Aku tersenyum. “Mereka mau apa, sih?”
“Katanya sih mau minta maaf. Tapi anak-anak zaman sekarang… bisa saja besok mereka bikin ulah lagi.”
“Lalu sekarang mereka ngapain, Bi?”
“Ya itu, seperti yang kamu lihat. Mereka kayak numpuk di halaman. Jadi, kamu mau ngapain?”
Aku menarik napas dalam. “Baiklah, Tiara temui mereka. Tapi Tiara ganti baju dulu, ya. Ini bajunya nggak pantas dipakai keluar.”
“Bibi tungguin di bawah, ya.”
***
Sesampainya di ruang tamu, aku melihat mereka duduk kaku, memasang wajah yang entah penyesalan atau ketakutan. Aku tak yakin, mungkin mereka takut masalah ini akan sampai ke kepala sekolah.
“Tiara, ini tas kamu,” kata Santi, yang tadi pagi menarik rambutku. “Coba dicek, siapa tahu ada yang hilang…”
Aku tidak segera memeriksa isi tasku. Aku hanya menatap mereka lalu berkata datar:
“Tentu saja ada yang hilang. Mana Dextro-ku? Atau... jangan-jangan ganja? Sabu-sabu? Atau pistol, ya? Apa kalian juga ambil itu?” ucapku dingin, menyindir.
“Maaf… aku gak bermaksud nuduh kamu... dan maaf juga karena sudah kasar,” Santi menjawab canggung.
Aku menarik napas dalam. “Hanya balikin tas aja, kenapa harus bawa satu rombongan segala?”
Tak ada yang menjawab. Mereka saling melirik, gugup.
“Takut aku bunuh salah satu dari kalian?” sindirku dingin.
“Bukan begitu,” jawab Mura cepat. “Kami bener-bener mau minta maaf. Hari pertama kamu malah kami sambut seperti itu… aku nyesel.”
“Sebenarnya... itu alat bantu dengar, ya?” celetuk salah satu anak. Tapi segera disikut oleh John agar diam.
“Kalian datang karena takut dituntut buat ganti alat itu?”
“Aku bener-bener gak tahu itu penting. Maaf banget… kampungan banget, ya aku,” Mura menunduk dalam.
“Kalian pulang aja, deh,” ujarku datar.
“Kamu gak mau maafin kami?” suara mereka mulai lirih.
“Itu urusan aku dan Tuhan. Maafku gak jamin kalian bakal berubah. Hidup dalam penyesalan kayaknya lebih baik.” Senyumku sinis. Aku pun membalikkan badan dan naik ke kamar.
Aku tidak peduli lagi dengan mereka. Tidak peduli dengan sekolah ini. Mungkin aku memang tidak cocok tinggal di pulau ini.
***
Tak lama setelah aku mengunci diri di kamar, ponselku bergetar. Panggilan masuk dari Ibu.
“Kenapa, Bu?”
“Bagaimana sekolah barunya?” tanyanya lembut.
Aku terdiam sejenak, menggigit bibir, lalu bergumam dalam hati, Pertanyaan yang buruk di hari yang buruk.
“Tidak ada yang spesial. Sepertinya penghuni sekolah itu tidak menyambut anak tuli sepertiku.”
“Kamu kenapa bicara begitu?”
“Kesan pertama di sekolah baruku... begitu mengerikan. Bukankah itu sekolah yang Ibu banggakan? Tempat itu lebih menyeramkan dari neraka.”
“Ada apa, Tiara? Cerita dong ke Ibu.”
“Tunggu saja kabarnya. Aku tidak ingin membahasnya sekarang. Bu, boleh aku tidur?”
“…Baiklah. Sampaikan salam Ibu untuk Bibi Gum-gum dan Paman Hendra, ya.”
“Emm…” gumamku, malas.
Tapi setelah telepon itu berakhir, aku tidak langsung tidur seperti yang kukatakan. Aku memang bukan tipe yang suka tidur siang. Aku justru menghabiskan waktu membaca novel terbaru yang sudah lama kutimbun sebagai teman selama tinggal di pulau ini.
Pulau ini benar-benar seperti hukuman. Tidak ada toko buku, apalagi perpustakaan. Rasanya seperti hidup dalam bunker—hanya bisa memandangi langit-langit kamar, dan berharap ada keajaiban.
Setengah jam berlalu. Bibi masuk membawa sepiring roti yang masih hangat. Ia tersenyum manis—senyum yang entah kenapa mengingatkanku pada rasa roti itu.
“Mereka sudah pulang, tenang saja.” Ia meletakkan roti di meja belajarku. “Mau Bibi bawain minum juga?”
“Enggak usah, Bi. Nanti Tiara ambil sendiri ke bawah. Ngomong-ngomong, tadi Ibu kirim salam buat Bibi dan Paman.”
“Oh ya? Salam balik, ya. Kapan dia ke sini?” Aku hanya mengangkat bahu.
“Bi, di sini ada tempat hiburan nggak, sih?”
Bibi berpikir keras. Dahinya mengerut.
“Bibi cuma tahu... pasar. Hehehe...” tawanya canggung.
“Kapan Bibi ke pasar lagi? Tiara ikut, ya?”
“Ada yang mau dibeli? Biar Bibi aja yang beliin.”
“Enggak. Aku sekalian pengen jalan-jalan aja.”
“Besok aja, gimana? Setelah pulang sekolah.”
“Tiara nggak sekolah besok, Bi.”
“Lho? Kenapa? Nanti Ayahmu marah kalau kamu bolos, lho.”
“Tenang aja, Bi. Lagian gimana mau sekolah kalau alat bantu dengar aja rusak? Anggap aja Tiara liburan dulu.”
“Ya sudah, besok Bibi jemput, ya. Jangan lupa siap-siap.”
Setelah Bibi keluar, aku sendirian lagi. Dua hari yang membosankan, seandainya kejadian pagi tadi tidak terjadi, mungkin aku akan tetap menganggap hidupku benar-benar monoton.
Aku mengambil walkman dari dalam laci meja. Ya, walkman. Di zaman segini siapa yang masih pakai benda itu? Tapi hanya itu yang bisa menemani waktu-waktu kosongku di sini. Hanya satu lagu dan satu instrumental yang kusimpan, direkam secara manual, bukan dari studio. Tapi setidaknya, itu memberiku rasa "hidup".
Kalau saja hujan turun, mungkin suasananya tidak akan seburuk ini. Bahkan jatah roti untuk Ayah pun habis kulahap.
Tidur di udara panas seperti ini benar-benar menyiksa. Ayah belum juga membelikanku kipas angin, apalagi AC. Kapan teknisi dari kota seberang datang? Aku benar-benar tak tahu. Bahkan aku tidak tahu kapan ayah punya waktu luang.
Kepalaku mulai berdenyut. Frustrasi. Bahkan novel pun tak lagi ampuh membunuh waktu.
Ponselku? Jangan harap. Di pulau ini sinyal hanya cukup untuk menelepon dan mengirim SMS. Internet? Percuma beli paket. Aku bahkan tidak tahu bagaimana ayah bisa betah hidup seperti ini. Pantas saja, dulu setiap aku kirim email, tak pernah ada balasan. Mungkin dia memang tidak pernah baca.
Ayah seorang peneliti. Tapi bahkan internet pun tidak dipasang di rumah ini. Apa dia masih hidup dengan referensi cetak? Di mana? Toko buku saja tak ada.
Ayah memang luar biasa... hidup di zaman modern, tapi seperti di abad lalu.
Tapi apa bedanya denganku? Aku masih bertahan dengan walkman. Dengan lagu lama yang tidak pernah diganti. Mungkin... beginilah caraku bertahan, seperti ayah.
Pukul lima sore, Ayah pulang.
Saat itu aku duduk di beranda. Dari kejauhan, kulihat sosoknya turun dari bus dengan baju yang lusuh dan wajah dipenuhi noda oli.
Peneliti? Kupikir pekerjaan lapangan tidak akan seberantakan itu.
Tapi bukannya mandi, Ayah malah langsung menuju kamarku. Bau oli tajam menyergap hidungku.
“Kepala sekolah menelepon Ayah,” katanya dari belakang, saat aku sedang membaca buku dan memandangi kejauhan.
Aku hanya menoleh sekilas. “Emm… Seharusnya aku nggak usah sekolah tadi pagi.”
“Ayah sudah sering bilang, bersikaplah baik pada orang lain.”
“Aku bahkan tidak bicara dengan mereka, Ayah. Anak-anak di sana... keterlaluan. Dan anak tuli sepertiku nggak cocok sekolah di tempat seperti itu.”
“Kenapa kamu bicara begitu?”
“Aku nggak akan bilang kayak gini kalau memang nggak terjadi apa-apa.”
Ayah menatapku lama. “Bagaimana kondisimu sekarang?”
“Seperti yang ayah lihat sendiri...”
Sepertinya Ayah kehabisan kata. Ia hanya menarik napas, lalu bertanya:
“Sudah makan?”
“Tentu.”
“Kalau begitu, Ayah mandi dulu. Kepala sekolah mau ke sini nanti malam. Jaga sikapmu, ya.”
Aku hanya menggumam pelan, tetap menatap bukuku, pura-pura acuh.